Mongabay.co.id

Selamatkan Ekosistem dan Ekonomi, Desa Sinaka Terapkan Jeda Tangkap Gurita

 

 

 

 

Angin berhembus kencang di Desa Sinaka, sore itu. Badai membuat gelombang-gelombang tinggi dan menghempas ringan ke menara suar di depan dusun di Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Ombak kecil jatuh di pantai Pulau Simatapi, tempat 32 keluarga tinggal dan hidup dari biota-biota laut di bawah samudera yang sedang diamuk galoro beberapa bulan ini.

Desa ini berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sampan-sampan yang tertambat di pantai milik pengepul gurita dan teripang dipinjamkan pada para nelayan. Ada yang melaut pagi dan pulang sore. Ada pula melaut pukul 20.00, pulang antara pukul 2.00 atau 4.30 dini hari. Mereka menimbang hasil laut seperti gurita, lobster hingga teripang.

Gurita jadi primadona beberapa tahun belakangan. Sebutan sebagai sentra gurita bisa lebih tepat disematkan untuk wilayah ini. Salah satu pemburu adalah Sutrisno Madogaho. Pria 32 tahun ini seperti tak punya waktu libur sejak 2014.

“Kalau teman-teman yang Kristen Minggu libur karena mereka harus beribadah. Karena saya Muslim, setiap hari saya melaut,” katanya.

Dia mencari gurita sejak harga masih Rp4.000 per kilogram hingga kini Rp40.000 per kilo gram. “Sampai sekarang ini atau tahun kemarin sampai Rp65.000 satu kilogramnya. Sekarang Rp45.000,” kata pria beranak tiga ini.

Makin hari dia merasa tangkapan nelayan berkurang. Menurut dia, karena orang-orang tak ada berhenti-berhentinya mencari gurita sepanjang tahun.

“Kalau dulu di sini-sini aja dalam satu hari kita dapat 80 kg, itu satu hari aja, tapi dalam satu minggu rata-rata 70 kg.”

Tangkapan banyak itu saat harga masih Rp10.000. Ketika harga sudah Rp45.000 per kilogram tangkapan malah kurang. “Paling 40 kg ke bawah sehari-hari. Rata-rata 30 kg sehari. Apalagi saat harga Rp65.000, di Sikakap Rp85.000,” katanya.

Dua tahun belakangan tangkapan gurita agak kurang.

“Memang bulan satu, dua atau tiga itu lumayanlah pendapatan. Dalam satu hari 25 kg atau  paling sedikit 15 kg kalau saya. Kalau yang lain kadang 10 kadang lima kg, pokoknya nggak pulang dengan tangan kosong. Sekarang kadang dapat kita kadang nggak,” katanya.

 

Desa Sinaka, dari ketinggian. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, hasil tangkap mulai sedikit ini karena ketersediaan gurita yang berkurang. “Guritanya mulai berkurang. Apalagi sekarang gurita lagi musim bertelur jadi juga payah. Tahun kemarin yang bertelur juga dicari, jadi perkembangan kurang karena yang bertelur juga diambil,” katanya.

Lokasi pencarian pun makin jauh. Padahal, dulu di depan rumah saja, katanya, bisa dapat banyak gurita dan teripang sampai lobster. “Kalau sekarang ini tahun ini carinya di pulau. Kalau bagian sini sudah susah. Dulu sempat banyak disini, ada yang dapat 30 kg,” katanya.

Dia  nilai karena penangkapan tak henti. Pada musim galoro atau badai yang berlangsung Juni-September, nelayan tetap mencari dan menangkapi moluska dari kelas Cephalopoda ini.

Iwan, nelayan setempat juga mengatakan, beberapa tahun terakhir tangkapan gurita banyak-banyaknya, apalagi harga mulai naik.

Beberapa bulan terakhir tangkapan sangat sedikit. Gurita hanya dapat beberapa kilogram. Dia juga cari teripang dan membantu pengasapan. Setiap malam Iwan pergi melaut dan pulang sekitar pukul 3.00-4.00 pagi.

Anto, Kepala Dusun Sinaka mengatakan, beberapa tahun lalu tangkapan bisa sampai 20 kg sehari. Kini,  seminggu paling banyak hanya 10-16 kilogram dengan harga Rp40.000 per kg di pengepul.

 

Bendera tanda wilayah jeda tangkap di Pulau Beriulou Desa Sinaka Mentawai. Foto: Jaka HB/MOngabay Indonesia

 

Martinus, pengepul gurita di Dusun Korut Buah katakan, hasil gurita sedang sedikit. “Lagi galoro juga sejak bulan enam,” katanya.

Pada 2007,  para nelayan menangkap bisa dapat 200-400 kg dalam satu hari. Meskipun begitu, katanya, tidak setiap hari juga nelayan menangkap. Desa itu ada sekitar 15 nelayan. Ketika harga Rp50.000- Rp80.000 per kg,  tangkapan hanya 100 kg lebih.

“Dulu, seminggu bisa dapat satu ton dari 15 nelayan itu. Mereka menangkap pakai tombak, kemudian kait.”

Kini, Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), dampingi warga.  Berdasarkan asesmen YCMM,  setidaknya 8 ton gurita dalam musim tangkap setiap bulan. Saat musim badai,  tangkapan turun jadi 1-2 ton per bulan.

Desa ini di wilayah paling ujung Pulau Pagai Selatan, mencakup 32 pulau dan panjang garis pantai 406 km serta memiliki gugusan terumbu karang.

Spesies utama di wilayah ini ikan pelagis, udang, lobster, teripang sampai gurita. Desa ini terdiri dari 14 dusun dan 11 di pesisir.

Desa Sanaka ditempati 32 keluarga atau 126 jiwa. Tidak ada jaringan telpon dan internet di sana. Listrik berasal dari panel surya yang merupakan bantuan anggaran desa. Penerangan hanya ada di tiga sampai empat titik serta tidak bisa untuk alat elektronik.

 

Pulau Berilou, Desa Sinaka. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Peraturan tangkap Desa Sinaka

Melalui musyawarah Desa Sinaka, lewat peraturan sepakat menutup satu titik fishing ground di Pulau Beriulou. Penutupan mulai 17 Juni 2023 dan buka 26 Agustus 2023. Tujuannya,  ada jeda tangkap nelayan.

Tarsan Samaloisa,  Kepala Desa Sinaka mengatakan,  ada beberapa latar belakang kelahiran Peraturan Desa Nomor 2/2023 tentang Tata Kelola Wilayah Perikanan Tradisional Berkelanjutan ini.

Perdes itu lahir, katanya, ada beberapa alasan. Pertama, sudah sadari Sinaka ini salah satu wilayah di Pagai Selatan yang punya potensi perikanan tinggi.

Wilayah mereka juga jadi sasaran dari nelayan luar. “Kalau boleh jujur masyarakat Desa Sinaka ini baru 10 tahun ini memanfaatkan potensi perikanan yang sebenarnya, sebelumnya ada pemanfaatan sualo atau teripang.”

Pada 1995,  ramai lobster dengan harga tinggi hingga masyarakat Sinaka berbondong-bondong menangkap biota ini dengan putas.

“Sekarang, mencari satu kilogram saja sulit. Baik di sekitar pemukiman dan pulau-pulau terdekat, itu dampaknya.”

Banyak nelayan dari pulau lain tangkap ikan di sana, seperti Sibolga, Bengkulu maupun Sikakap. “Akhirnya potensi itu berkurang.”

Nelayan pernah menyetop nelayan dari luar namun karena tak ada aturan atau legalitas jelas, kata  Tarsan,  bisa terjadi kebrutalan dalam pengawasan dan memiliki konsekuensi hukum lain.

Tarsan berharap, dalam lima tahun ke depan kesadaran masyarakat Desa Sinaka tak hanya memanfaatkan wilayah tangkap tradisional juga melestarikan.

Menurut dia, mereka tak hidup sendiri dan bukan hanya untuk mereka.

 

Nelayan Sinaka tangkap gurita di Pulau Beriulou. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, ketika anak muda Sinaka mendapat kesempatan pulang, mereka bisa melihat peluang apa dari sektor perikanan.

“Kita lihat Sinaka ini darat dan laut sangat punya potensi.”

Iwan pun berharap, jeda tangkap ini dapat meningkatkan populasi gurita. Harapan serupa dari Anto. Jeda tangkap ini, katanya,  dapat membuat gurita lebih sehat dan populasi bertambah.

Lagipula,  penangkapan gurita memang tidak ada aturan. Seandainya gurita dewasa tak didapat, gurita kecil-kecil juga ditangkap.

Dia bilang, awalnya sempat ada pro dan kontra dengan aturan buka tutup ini. Dia meyakinkan nelayan bahwa penutupan hanya satu titik, masih ada 33 titik lain.

Dalam catatan YCMM,  nelayan gurita wilayah itu  tersebar di dusun-dusun pesisir seperti Dusun Sinaka, Korit Buah, Mangka Ulu, Mangka Baga, Matotonan, Boriai, Kosai Baru, Kosai Batsagai dan Mabolak. Mereka semua laki-laki, para perempuan biasa ke ladang atau kalau ke laut menangkap di dekat pemukiman dan untuk konsumsi keluarga. Sesekali juga mereka jual.

Bayu Sisyara,  Penyuluh perikanan KKP Kecamatan Pagai Selatan mengatakan,  puncak tangkapan dan kenaikan harga pada 2020. Penangkapan besar-besaran terus terjadi, katanya, dengan ada  jeda tangkap tiga bulan bisa berdampak baik.

“(Jeda tangkap) ini dapat memberikan kesempatan alam untuk memulihkan dirinya sendiri,” katanya.

Yuafriza, Program Manager Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan Berbasis Masyarakat YCMM mengatakan,  peraturan desa ini mulai dengan pendataan potensi perikanan di Sinaka. Mereka pendataan pada 70 nelayan dari Dusun Sinaka dan Koritbuah serta lima pengepul.

“Karena sistemnya nelayan di Sinaka bekerja dengan pengepul. Pengepul memberikan modal bahan bakar bensin, sampan dan ransum yang akan dibayar nelayan setelah ada tangkapan,” katanya.

Selanjutnya, YCMM bersama nelayan dan perangkat desa melakukan identifikasi dan pendataan lebih dari satu tahun. Mereka menemukan data bahwa ada penurunan hasil tangkap dan mendorong inisiasi pembentukan peraturan desa.

Dalam musyawarah ada banyak keluhan dari nelayan mulai penggunaan alat tangkap merusak, wilayah perikanan masuk kewenangan dusun, sampah laut, pelarangan penebangan mangrove untuk komersil maupun pelarangan penggunaan pasir laut untuk proyek-proyek besar.

“Itu yang kemudian diatur dalam perdes itu,” katanya.

Selain itu, ada identifikasi bersama terkait 34 titik wilayah tangkap atau fishing ground untuk gurita. Proses pemilihan titik yang akan ditutup harus melalui musyawarah desa atau musdes.

“Untuk penutupan ini tentu harus ada yang menjaga dan siapa yang mengawasi, maka dari itu ada sijago koat yang dalam bahasa Indonesianya berarti penjaga laut.”

Sijago Koat beranggotakan 10 yang yang mewakili nelayan di dusun-dusun dan dipilih desa. Setelah dipilih dan dikeluarkan surat keputusan desa. Selanjutnya, mereka patroli selama proses jeda tangkap.

 

 

*********

 

Exit mobile version