Mongabay.co.id

Para Perempuan Gersik Putih Tolak Pesisir jadi Tambak Garam

 

 

 

 

 

 

Para perempuan melawan pemodal yang akan mengubah pesisir jadi tambak garam di Desa Gersik Putih, Sumenep, Madura, Jawa Timur.  Popay, salah satu perempuan yang melawan.  Nama aslinya, Maimunah. Dia tak kenal takut demi mempertahankan ruang hidupnya.

“Pengusaha mendatangkan banyak preman, tetapi sedikit pun tidak takut,” katanya dalam Bahasa Madura.

Kabar pesisir Desa Gersik Putih akan jadi tambak itu muncul sejak Februari 2023. Sebelumnya, pernah ada kasus serupa tahun 2013 dan 2018 di tempat sama. Berkali-kali diadakan mediasi tetapi tak kunjung ada titik temu. Pengusaha dan kepala desa bersikukuh tetap melanjutkan alih fungsi lahan jadi tambak garam.

Muhab, Kepala Desa Gersik Putih, didampingi Kepala Dusun Gersik Putih Barat, As’ad, sosialisasi proyek pembangunan tambak garam itu di Mesjid Zainal Abidin, Kampung Tapakerbau 1 Maret lalu. Warga RT00/RW001 Kampung Tapakerbau hadir.

Warga menolak. Kepala desa tidak bisa menjawab pertanyaan warga tentang dokumen perizinan, analisa dampak kerusakan lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya tetapi dia bersikeras bikin tambak meski ditolak.

Dalam sosialisasi itu,  Muhab bilang akan berikan kompensasi kepada warga berupa lahan seluas  delapan hektar akan dikelola yayasan dan dua hektar untuk warga Kampung Tapakerbau. Pesisir seluas 41 hektar di Tapakerbau yang bersertifikat hak milik itu adalah laut.

 

Hasil tangkapan para perempuan pesisir di Sumenep. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Secara terpisah, Muhab menceritakan kepada Mongabay di Tapakerbau ada lahan 93 hektar, 73 hektar sudah bersertifikat dengan 52 hektar jadi tambak garam dan 21 hektar belum tergarap.  Sekitar 20 hektar sudah di-SPPT atas nama Muhab.  Dia mengaku akan menyerahkan lahan pesisir itu ke Pemerintah Gersik Putih seluas enam hektar, sisanya belum dikuasai masyarakat juga akan diatasnamakan pemerintah.

Lahan 20 hektar itu akan jadi tambak garam. Berhubung pemerintah desa tidak punya modal, dia menggandeng pemodal untuk garap pembagian 50:50, 10 hektar ke pemodal dan 10 hektar ke pemerintah desa.

Adapun pengelola masih belum ditentukan, bisa Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), yayasan, atau per rukun tetangga (RT).

“Karena kami punya program untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” kata Muhab. Juni lalu.

Terkait penolakan warga atas pembangunan tambak garam di Gersik Putih, katanya, ada kaitan dengan politik desa.

Dia bilang, lahan yang masih tidak tergarap itu berada di tengah-tengah, sisi kanan kiri sudah ada tambak garam. Sisi utara jalan juga sudah tergarap. Kondisi lahan sama dengan di sampingnya. Dia mengklaim, area penggarapan masih berjarak 100 meter dari bibir pantai.

“Itu kan bukan laut. itu pasang surut. Yang dikatakan laut itu terakhir air surut. Itu kan dikatakan laut. Itu bukan laut, pasang surut.”

Muhab katakan, SHM keluar sejak 2009, dia baru jadi kepala desa pada 2013.

“Itu sudah hak milik … Kalau produk itu gagal kan berarti produk pemerintah gagal semua, bukan cuma itu. Semuanya digagalkan,” kata Muhab.

Terkait banjir yang menimpa rumah warga di Kampung Tapakerbau, Muhab menilai itu biasa terjadi di tengah atau akhir tahun. “Itu pun hanya satu rumah. Nanti ketika sepadan pantai itu dibendung, dibuat tambak garam, pemukiman akan aman sebagai yang sudah terjadi sebelumnya.”

Dia bilang, nelayan yang mencari ikan dan berlabuh di sana pun, bukan berasal dari Gersik Putih.

“Kalau kasusnya sudah lama itu. Coba lokasi rumahnya ditimbun, gak mungkin masuk,” katanya.

 

Ilustrasi. Perempuan nelayan di Madura. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Penolakan

Pada 5 Maret lalu, warga aksi damai dengan mencari seafood bersama-sama dengan tagar #Aksi Bersama Cari Seafood dan Pesta Rakyat #Tolak Tambak. Aksi itu untuk menyampaikan pesan sempadan pantai bukanlah lahan tidur dan tidak bermanfaat.  Area itu, katanya, adalah ruang hidup warga, tempat sumber penghidupan dan kaya biota laut.

Memang mana ada laut di-sertifikat, itu laut memang sudah dari dulu, sejak kakek-nenek sampai pendahulunya tetap laut, bahkan dulu luas,” kata Popay.

Popay dan para perempuan Gersik Putih, terutama warga Tapakerbau, biasa mencari biota laut seperti kerang, teripang, kepiting, dan semacamnya. Dalam satu kali mencari ke laut, bisa dapat minimal kisaran Rp70.000  per hari. Kalau cuaca baik dan alam mendukung, mereka bisa turun ke laut dua kali dalam sehari, bahkan tiga kali,  siang dan malam dua kali. Bila tangkapan banyak, satu kali turun bisa menghasilkan uang Rp150.000.

Laut itu kaya. Laut benar-benar kaya. Alhamdulillah, mencari penghasilan selalu ada.”

Hafiya, warga lain juga sama. Dia biasa mencari biota laut untuk menambah penghasilan keluarga. Para laki-laki biasa jadi buruh garam atau pelaut. Buruh garam, katanya,  adalah pekerjaan musiman.

Bila lahan jadi tambak garam, katanya, pekerjaan warga saat tidak musim garam tidak ada. Pantai mereka sudah habis. Popay bilang, bila musim hujan, pantai sesak oleh pencari biota laut.

Dia bilang, semua lebih terasa bila suami sakit atau tidak bisa bekerja lagi. Saat itu, para perempuan bisa mencari rezeki di pesisir pantai. Bila pantai tak ada, tak ada pula sumber penghasilan mereka.

Kalau tidak punya lahan pertanian seperti saya, alhamdulillah diberi karunia Tuhan [ada laut], sudah jadi pekerjaan [cari biota laut],” kata Hafiya.

Belum lagi ancaman bahaya lingkungan kalau pesisir jadi tambak. Tambak garam dan pemukiman warga di Tapakerbau tidak ada jarak pembatas. Pemukiman dan tambak garam berdampingan  langsung. Bila air pasang, kadang sampai masuk ke halaman rumah warga.

Belum ada tambak garam saja, pasang air laut kadang sampai di pemukiman apalagi kalau sampai ada tambak.

Dua tahun lalu, air pasang karena tanggul laut sederhana di bagian selatan bocor hingga air sampai ke halaman mesjid dan rumah warga. Warga biasa menyebut air pasang laut yang masuk ke pemukiman itu sebagai aeng maleng (air maling, yang tiba-tiba datang tanpa warga tahu).

Dia meminta,  pengusaha tidak kembali lagi menggarap lahan dan makin banyak orang mendukung perjuangan mereka.

Setiap magrib warga Tapakerbau membaca istigasah bersama di mesjid untuk keselamatan warga serta keberhasilan perjuangan mereka. Bagi  warga, pesisir tidak untuk tambak selama-lamanya.

 

Dermaga Tapakerbau, Sumenep, Madura. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Tak ada kejelasan

Hingga kini warga masih bingung, tidak ada kepastian pemberhentian rencana pembuatan tambak garam itu.

Ahmad Shiddiq, Ketua RT Tapakerbau, bilang akan terus berjuang untuk kelestarian pantai mereka.

Awal tahun lalu ada empat warga dilaporkan oleh pengusaha, pengusutan sudah polisi hentikan. Warga dilaporkan karena dituduh penyanderaan alat berat.

Shiddiq mengatakan,  punya tumpuan regulasi yang jelas bahwa laut tidak boleh dialihfungsikan, apalagi sampai ada surat hak milik (SHM) untuk pantai. Dia juga punya dokumentasi foto Dusun Tapakerbau pada 1933 dari sisi atas yang dengan jelas menunjukkan sepanjang pantai Tapakerbau.

Khalisah Khalid, Public Engagement and Action Manager Greenpeace, mengatakan, pembangunan skala besar selalu berpotensi mendatangkan multi risiko dari ekologis, ekonomi, sosial atau budaya dan lain-lain.

Model ekonomi ekstraktif yang hanya mementingkan segelintir orang perlu dapat kritikan tajam. Ia menghancurkan alam, hancurkan sumber daya yang jadi sumber penghidupan warga.

Pengusaha ditempatkan sebagai pemilik kekayaan alam, mereka punya kontrol, sedang warga mayoritas hanya jadi buruh. Warga tidak punya pilihan lain karena sumber daya alam sudah tidak bisa mereka akses lagi.

Belum lagi, katanya, perempuan sering kali tidak dilibatkan dalam berbagai agenda pembangunan, padahal penguasa atau penguasa biasa pakai jargon “untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”

Satu sisi, katanya, jargon itu bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, sumber ekonomi mereka terampas.

“Model ekonomi yang digunakan justru makin memiskinkan perempuan. Kalau mereka keras mempertahankan ruang hidup karena itulah satu-satunya perempuan bisa survive menopang ekonomi keluarga,” kata Alin, sapaan akrabnya.

Secara perhitungan ekonomi saja, katanya, UMR Sumenep sekitar Rp2 juta, warga bisa dapatkan Rp4,5 juta per bulan dengan asumsi Rp150.000 per hari dari mencari biota laut di pesisir.

 

Pesisir Sumenep, yang sudah jadi tambak garam. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version