Mongabay.co.id

Sulitnya Penuhi Target Ruang Terbuka Hijau di Denpasar

 

 

 

 

Lahan hijau yang jadi ruang terbuka hijau di Bali terbilang minim. Kota Denpasar, Bali, misal, menargetkan ruang terbuka hijau (RTH) 20%, baru terealisasi 3,2%. Ia terdiri dari kawasan perlindungan, taman kota, rimba kota, pemakaman, dan jalur hijau. Lokasi RTH terbanyak di Denpasar Selatan hampir 300 hektar.

Rencana Pemerintah Kota Denpasar, penuhi target itu dengan memasukkan lahan pertanian atau sawah bisa jadi RTH publik.  Dengan ketentuan ada perjanjian dengan pemerintah kota untuk mempertahankan kondisinya selama 20 tahun. Selain itu harus bisa diakses publik. Lahan mangrove juga bisa masuk asal ada kesepakatan dengan Dinas Kehutanan.

Dengan skenario berhasil, RTH baru mencapai 14%. Berdasarkan analisis penyusunan RTRW Kota Denpasar 2021 oleh WRI Indonesia, 15% target tercapai pada 2025, sedangkan 20% diperkirakan pada 2041.

Analisis awal WRI Indonesia, potensi RTH Denpasar bisa ditambah dari badan air, lahan kosong, lahan terbangun, dan pohon. Terbanyak, lahan terbangun hampir 60%. Saat ini, dari analisis Google Earth, area dengan penutup pohon hanya 10%.

UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan, proporsi RTH wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah, dan proporsi RTH publik 20%. RT menurut Permen ATR/BPN No 14/2021 adalah area memanjang dan atau mengelompok, yang penggunaan lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh alamiah maupun sengaja ditanam.

 

Sempadan sungai juga bisa jadi RTH jika bisa diakses publik. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Gede Sugiarta dari Komunitas Kembali Berdaya mengatakan, setelah dihitung lagi, RTH ditambah dari kawasan pertanian pangan berlanjutan baru 14%. Pemerintah Denpasar komitmen meningkatkan RTH publik sampai 20% dalam jangka tertentu.

Apakah Denpasar bisa menambah RTH dan apa siasatnya ini dibahas dalam diskusi terfokus pada Juli lalu di balai Banjar Tegeh Sari, Denpasar. Banjar adalah komunitas masyarakat seperti dusun di Bali. Banjar ini memiliki ide manarik untuk menghijaukan lahan telantarnya. Program Kebun Berdaya ini dimulai saat pandemi COVID-19 lalu.

Banjar Tegeh Sari ketika itu membuat kesepakatan adat tertulis atau perarem. Kalau ada tanah yang tidak terkelola atau telantar bisa diambil alih dan difungsikan sebagai lahan hijau karena banyak jadi tempat pembuangan sampah (TPS). Warga bahkan seringkali tidak tahu pemilik lahannya. Setelah lahan dibersihkan dan ditanami berbagai tanaman pangan yang senang bahkan mau dijual.

Putu Harry Suandana, pengelola Banjar Tegeh Sari mengatakan, lahan telantar sangat mengganggu. Karena itu banjar membuat kesepakatan tertulis untuk menjadikan kebun.

Upaya swadaya lain hadir dari warga di Denpasar. Made Nuratini dari Kebun Tali Kasih memaparkan upaya mengubah lahan telantar dengan tanaman apotek hidup. Prosesnya tak mudah. “Sulit air untuk menyiram dan harus menggunakan air PDAM.”

Demikian juga Ketut Sudarmawan dari Komunitas Kali Bersih di sekitar Jl Hayam Wuruk. Dia membersihkan sempadan sungai yang kotor dengan tanaman. Tantangannya, ada bantuan bertani namun media tanah kurang subur, dan kesulitan pemasaran hasil panen.

“Kami tidak tahu penting atau tidak, tapi sudah merasakan buat RTH, menghijaukan lahan kering dan dapat hasil untuk kelompok,” katanya.

Untuk menambah RTH, katanya, pemerintah harus menganggarkan beli lahan. “Pastikan anggaran dana untuk kawasan hijau baru,” katanya.

Upaya menahan laju perubahan lahan tak mudah di tengah perkotaan. “Masyarakat yang dirugikan jika kualitas udara buruk bisa menuntut class action,” katanya.

Dia bilang, alih fungsi tak terbendung, kalah dengan kecepatan regulasi RTH. Jalur hijau sudah banyak terbangun. Kalau pemerintah ingin mengamankan harus ada kompensasi. “Mungkin 2041 sudah habis lahannya,” katanya.

Tak hanya memastikan RTH, hal penting lain adalah mengukur kualitas udara dan menambah tegakan pohon di perkotaan.

 

Persawahan di Kota Denpasar makin berkurang. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Menurut IQair, platform pengukur kualitas udara, indeks kualitas udara (AQI) dan polusi udara PM2.5 di Kota Denpasar selama beberapa hari terakhir mulai 13-16 Agustus bervariasi dari sedang dan baik. Pada 16 Agustus 2023, disebut baik namun konsentrasi PM2.5 di Kota Denpasar saat ini dua kali nilai panduan kualitas udara tahunan WHO.

Yudi Arimbawa, ahli planologi dari UNHI Bali mengatakan, kalau dilihat dari kuantitas, target 20% RTH akan sulit tercapai. Dia bilang, perlu mengukur kualitas, misal kemampuan pohon memproduksi oksigen dan menyerap karbondioksida.

Kalau dilihat dari fungsi ekologis penyerap CO2 daya serap karbon sawah rendah. “Berdasarkan nilai konstanta setok karbon, sawah itu hanya 12 ton per hektar. Bandingkan dengan pohon 569 ton per hektar. Menurut saya,  sawah itu tidak pas dijadikan sebagai RTH.”

Dalam hal perlindungan alih fungsi lahan, katanya, juga ada ketetapan tertulis bahwa sawah masuk penetapan lahan pertanian berkelanjutan di mana lokasi dan luasan sudah ada di RTRW Kota Denpasar.

Menurut Yudi, untuk memastikan RTH kebijakan progresif adalah land banking. Pemerintah harus berani mengalokasikan anggaran untuk pembelian lahan terutama penyediaan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) termasuk RTH. Karena syarat RTH publik adalah dimiliki dan dikuasai negara hingga bisa terakses masyarakat umum.

Mengenai upaya menambah luasan RTH dengan mengadopsi sawah, perlu disikapi hati-hati karena lahan milik warga. Selain itu,  perlu didorong inisiasi penyediaan RTH dari masyarakat, seperti program Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, mendorong buat RTH di rumah-rumah. Ada juga sayembara Kampung Hijau di Surabaya, pemukiman terintegrasi pengelolaan sampah dan atap hijau.

Syarat RTH tak hanya terbuka, juga menyerap limpasan air, rumah bagi satwa, dan memproduksi cukup oksigen. Di masa lalu, Bali memiliki kearifan lokal dan desain arsitektur yang mendukung RTH,  misal, membuat telajakan atau halaman depan hijau di tiap rumah.

Sejumlah taman kota di Denpasar berfungsi jadi RTH, termasuk kuburan. Kuburan dikelola desa adat dan berangsur jadi ruang publik yang ramai karena rindang dengan pohon-pohon besar.

Salah satu kuburan (sema) Desa Adat Kesiman terlihat seperti hutan mini karena tanaman besar menghasilkan udara segar hingga di sekitarnya jadi pusat perdagangan dan pasar. Bahkan di bagian dalam ada sekolah dasar. Kuburan di Bali tak luas, tak banyak makam dengan nisan karena tradisinya Ngaben, pengembalian wujud kasar tubuh kembali ke pertiwi dengan dikremasi lalu disucikan dengan prosesi lanjutan.

Sedangkan lahan-lahan sawah tersisa yang direncanakan bisa diadopsi sebagai RTH sangat mudah berubah fungsi, seperti persawahan di Kesiman Kertalangu kini sebagian sudah jadi tempat usaha termasuk pelatihan golf. Hanya menunggu waktu jika tak ada upaya proteksi dan insentif bagi petani atau pemilik lahan.

 

Salah satu RTH kuburan di Bali. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

******

 

Exit mobile version