Mongabay.co.id

Kehadiran Perda Perkuat Masyarakat Adat di Mamasa

 

Pemerintah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, telah mengesahkan peraturan daerah No.10/2021 tentang masyarakat adat. Kehadiran perda ini diharapkan menjadi asa baru yang akan memperkuat posisi masyarakat adat Mamasa, dan diharapkan bisa dilanjutkan untuk perhutanan sosial melalui skema hutan adat.

“Sebelum adanya perda ini hutan adat sulit diusulkan karena terkendala pada ketiadaan perda, sehingga di awal itu kami kemudian fokus ke HKm. Meski demikian, beberapa komunitas tidak sepakat karena menurut mereka izin-izin yang ada sekarang adalah bagian dari hutan adat, sehingga buat apa meminta izin kalau untuk lokasi sendiri,” ungkap Semuel Toding, Sekretaris Aliansi Masyarakat adat Nasional (AMAN) Kondo Sapata Wai Sapalelean Kabupaten Mamasa, dalam diskusi bersama Yayasan Romang Celebes (YRC) di Mamasa, pertengahan Agustus silam.

Meski telah ditetapkan sejak 2018 silam, pada tahapan asistensi pada Biro Hukum Pemprov Sulawesi Barat, perda tersebut tertahan disebabkan adanya beberapa pertimbangan. Setelah melalui proses diskusi yang melibatkan Pemprov Sulbar, Pemkab Mamasa dan AMAN, perda tersebut diundangkan pada bulan Desember tahun 2021.

Di seluruh Kabupaten Mamasa sendiri terdata sekitar 33 komunitas adat yang telah terdaftar di AMAN, meski belum memiliki ketetapan hukum dari pemerintah.

Menurut Semuel, meski secara de facto masyarakat eksis dengan adanya sejarah, kelembagaan, tradisi dan wilayah adat, namun ketiadaan perda pengakuan menjadi tantangan tersendiri.

“Ketika muncul skema perhutanan sosial yang salah satunya berupa hutan adat, sulit diajukan masyarakat tanpa adanya perda masyarakat adat sebagai payung hukum daerah.”

baca : Tradisi Gotong Royong, Peran Perempuan dan Perhutanan Sosial di Desa Mesakada Mamasa

 

Diskusi pemetaan potensi konflik perhutanan sosial di kantor KPH Mamasa Tengah, Kabupaten Mamasa, Jumat (11/8/2023). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Perda No.10/2021 sendiri terdiri dari 14 Bab dan 51 Pasal. Perda ini masih bersifat mengatur keberadaan Masyarakat Adat di Kabupaten Mamasa secara genealogis “Pitu Ulunna Salu’ Kondosapata’ Wai Sapalelean”, belum pada penetapan unit sosial dari kesatuan genealogis Masyarakat Adat di Kabupaten Mamasa melalui perda tersebut.

Semuel berharap setelah adanya perda ini pengusulan hutan adat bisa segera dilakukan sebagai sebuah solusi konflik masyarakat adat, baik dengan Taman Nasional (TN) Gandang Dewata maupun dengan perusahaan.

“Yang sedang kita advokasi adalah TN Gandang Dewata. Meski kami setuju dengan keberadaan taman nasional namun kami berharap tidak mencaplok wilayah kelola masyarakat seperti sawah dan pemukiman, yang ketika masuk dalam kawasan maka tidak bisa lagi bikin apa-apa di sana. Ini yang ditakutkan masyarakat sehingga jadi masalah,” katanya.

Keberadaan PT. Kencana Hijau Bina Lestari (KHBL) juga membawa persoalan tersendiri. Melalui Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK), perusahaan pengolahan getah pinus ini menguasai puluhan ribu hektar kawasan hutan, termasuk 4,2 ribu hektar di wilayah KPH Mamasa tengah, yang di beberapa lokasi beririsan dengan wilayah masyarakat adat dan masyarakat lokal.

“Kehadiran KHBL memang bisa memberi dampak ekonomi tetapi juga banyak menimbulkan konflik di beberapa tempat, seperti adanya izin di atas izin. Selain itu, karena pohon pinus tak bertuan, banyak individu atau kelompok masyarakat masuk menyadap dalam kawasan tersebut.”

Semuel berharap ada upaya fasilitasi dari pemerintah agar konflik saling klaim antara masyarakat adat dengan perusahaan bisa diselesaikan, khususnya pada 7 komunitas adat yang berada dalam wilayah kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Mamasa Tengah, Mamasa.

baca juga : Perhutanan Sosial Berbasis Masyarakat atau Negara?

 

Tapal batas wilayah konsesi perusahaan yang kadang beririsan dengan wilayah masyarakat adat dan lokal menjadi potensi konflik. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Diskusi ini sendiri merupakan bagian dari kegiatan identifikasi potensi konflik kehutanan, untuk menemukenali masalah lebih dekat, termasuk terkait dengan masyarakat adat.

“Kegiatan ini juga dukungan atas upaya-upaya yang dilakukan oleh teman-teman di AMAN dalam mendorong pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya sebagai satu kesatuan yang utuh, sepanjang masyarakat adat masih memegang prinsip-prinsip dan norma-norma adat istiadatnya,” ungkap Awaluddin, Direktur YRC.

Apalagi, menurutnya, masyarakat adat di berbagai tempat terbukti berperan menjaga dan melindungi sumberdaya alam melalui praktek-praktek pengelolaan hutan berkearifan lokal, serta mampu melestarikan alam dan lingkungan dengan baik.

 

Makna Kehadiran Perda

Kehadiran perda masyarakat adat ini telah lama dinantikan masyarakat adat di Mamasa, tidak hanya sebagai solusi bagi konflik tenurial yang terjadi selama ini, namun juga untuk pemahaman generasi muda terkait falsafah hidup masyarakat adat Mamasa seperti pemahaman terkait ada’ tuo dan hukum adat Pemali Appa’ Randanna yang mencakup aspek Pa’tomatean, Pa’bannetauan, Pa’bissuan, Pa’totiboyongan.

Problem defenition tersebut merupakan salah satu hal mendasar yang mestinya dapat dijawab dengan kehadiran perda ini,” ungkap Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN.

Arman melanjutkan, konsep dasar dalam perda adalah menegaskan kembali pengakuan deklaratif keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya yang telah diatur dalam Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28i ayat (3) UUD 1945, dengan menyatakan bahwa Pemkab Mamasa mengakui keberadaan masyarakat adat sebagai subyek hukum yang memiliki sekumpulan hak.

“Hak-hak tersebut mencakup hak atas tanah, wilayah adat dan SDA, hak atas lingkungan hidup, hak atas pembangunan, hak untuk mengurus diri sendiri, hak untuk menjalankan peradilan adat.”

Tujuan kehadiran perda ini sendiri adalah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat dan hak tradisionalnya, memberikan kepastian hukum mengenai keberadaan, wilayah dan hak-hak masyarakat adat.

Tujuan lain adalah melindungi hak dan memperkuat akses masyarakat adat terhadap tanah dan kekayaan alam; mewujudkan perlindungan terhadap perempuan, anak-anak dan kelompok rentan lainnya di dalam masyarakat adat.

baca juga : Perhutanan Sosial Tak Sekadar Beri Hak Kelola Hutan

 

Sriyati, seorang warga Desa Mekada sedang petik kopi di kebun yang ada sekitar rumahnya yang berdekatan dengan kawasan hutan. Masyarakat Desa Mesakada, Kabupaten Mamasa, Sulbar  berupaya mengajukan HKm dalam skema perhutanan sosial. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

“Perda juga bertujuan mewujudkan kebijakan pembangunan daerah yang mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak tradisional dan hak lainnya masyarakat adat dan Mewujudkan penyelesaian sengketa yang berbasis masyarakat adat.”

Perda ini juga menghendaki adanya komisi masyarakat adat yang bersifat permanen dan independen. Hal ini berbeda dengan kebijakan masyarakat adat pada umumnya yang membentuk panitia masyarakat adat.

“Selain perbedaan bentuk kelembagaan, tugas dan fungsi yang diberikan juga berbeda. Salah satu yang paling mendasar adalah tugas komisi masyarakat adat dalam hal penyelesaian sengketa masyarakat adat,” ungkap Armansyah Dore dari Pusat Studi Kebijakan Publik Perkumpulan Kaluhara Indonesia.

Dalam hal prinsip partisipatif, komisi masyarakat adat membuka ruang pelibatan multistakeholders dalam kelembagaan. Prinsip partisipatif juga terlihat dalam metode identifikasi masyarakat adat yang menggunakan prinsip self identification.

Perda ini membuka ruang penetapan masyarakat adat selain melalui jalur perda ini sebagaimana dijelaskan pada pasal 8 bahwa penetapan masyarakat adat dapat berbentuk Desa Adat.

“Meskipun melalui jalur dan dasar hukum yang berbeda seperti UU Desa dan turunannya, perda ini secara tidak langsung mengedukasi para pihak dengan menunjukkan bahwa penetapan masyarakat adat dapat menempuh beberapa pilihan yang telah disediakan oleh kebijakan,” ujar Armansyah.

 

 

Exit mobile version