Mongabay.co.id

Kekeringan, Petani Lombok Dibayangi Gagal Panen

 

 

 

 

 

 

 

Saat Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian memimpin rapat koordinasi (rakor) dan gerakan nasional penanganan dampak El-nino di Mataram, Agustus lalu saat sama para petani di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat,  berjuang menyelamatkan tanaman padi mereka dari kekeringan. Saat Bupati Kabupaten Lombok Tengah menerima penghargaan dari Presiden sebagai daerah penyangga pangan, saat sama banyak lahan pertanian dibiarkan menganggur. Air irigasi tak cukup untuk mengairi lahan persawahan.

Jaswadi, petani di Mentokok, Desa Penujak, Kecamatan Praya Barat Daya, Lombok Tengah, cemas melihat kondisi irigasi persis di depan areal persawahannya. Ada dua saluran irigasi di persawahan yang tak jauh dari bandara internasional Lombok itu. Saluran irigasi lebih kecil disebut irigasi atas, biasa mengalir saat musim hujan. Irigasi bawah yang lebih besar bersumber dari jaringan irigasi Jurang Sate.

“Sudah dua bulan tak mengalir air di sini,” kata Jaswadi.

Hari itu,  saat pemerintah sibuk menggelar rapat koordinasi, Jaswadi berjuang menyelamatkan padi yang baru memasuki usia dua bulan. Dia sebenarnya tahu risiko menanam padi memasuki Agustus tetapi pengalaman sebelumnya, masih cukup air untuk mengairi sawah. Walaupun tak semua sawah ditanami padi, dia hanya menanam di petak yang paling dekat dengan saluran irigasi bawah.

“Sekitar 25 are yang saya tanami ini, lebih banyak nganggur,” katanya menunjuk petak sawah lain yang dibiarkan kosong.

Jaswadi terlanjur menanam padi, dia sudah menghitung berapa kebutuhan biaya tambahan. Membeli bahan bakar untuk menghidupkan mesin penyedot air. Kondisi seperti ini sudah sering dihadapi, tetapi tahun ini dia memprediksi lebih banyak biaya harus dikeluarkan.

“Empat atau lima kali naikkan air baru bisa panen,” katanya.

 

 

BMKG Stasiun Klimatologi NTB/Mongabay Indonesia
Peta analisis curah hujan di wilayah NTB menunjukkan bahwa curah hujan sangat rendah

 

Untuk sekali penyedotan air perlu Rp150.000. Dengan biaya itu dia tak mampu mengairi dengan sempurna seluruh sawahnya,  hanya 1/3 dari lahan yang dimiliki. Selain itu, tergantung kondisi air di irigasi bawah. Kalau air kering kerontang, petani terpaksa membeli, membawa tandon dengan mobil pikap.

Dari tandon air disedot untuk dialirkan ke sawah. Air dari tandon itu, katanya,  langkah terakhir kalau sudah tidak ada pilihan lain.

“Seharian kami tunggu baru cukup airnya,” kata Jaswadi merapikan batu untuk membendung saluran irigasi.

Air di irigasi tidak lagi terlihat mengalir. Di beberapa titik malahan sudah kering. Di lokasi yang masih mengalir itulah para petani membendung. Setelah permukaan air naik, barulah disedot. Para petani biasa berkelompok menyedot air. Satu mesin digunakan 2-3 petani, tergantung posisi sawah.

“Paling jauh 200 meter dari irigasi ini sawah yang bisa diairi,” katanya.

H Abdullah, petani lain,  hanya berani menanam 25 are, sebagian besar lahan tidak ditanami. Dia masih beruntung karena sebagian lahan dekat irigasi. Beberapa petani lain di Lombok Tengah bagian selatan tidak lagi menanam padi, dibiarkan menganggur. Biaya besar untuk mengalirkan air maupun membeli air menjadi alasan petani.

“Air yang mau dibagi itu yang tidak ada,” katanya.

Pantauan Mongabay, areal persawahan di Penujak menuju Mertak melalui jalur bypass Bandara Internasional Lombok–Sirkuit Mandalika sebagian menganggur. Terlihat sisa panen padi musim sebelumnya. Di persawahan lain, petani terlihat mengolah sawah tetapi tidak lanjut. Hanya sebagian kecil tanah sudah dibajak. Para petani masih melihat kondisi air.

Daerah selatan Lombok tengah yang meliputi Praya Barat Daya, Praya Timur, Praya Barat, memang langganan kekeringan. Petani sudah mengantisipasi dengan pola tanam. Saat kemarau,  mereka menanam kacang. Dengan syarat masih ada cadangan air untuk mengairi ketika proses awal penanam.

“Saya hanya tanam 10 are saja sekarang, tidak berani banyak karena air sulit,” kata Agus Alwi.

 

Lahan pertanian yang dibiarkan menganggur menjadi pemandangan biasa ketika musim kemarau di beberapa tempat di Lombok Tengah bagian selatan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Dampak ElNino

BMKG Stasiun Klimatologi Nusa Tenggara Barat sejak awal mengimbau semua pihak mewaspadai dampak kekeringan ekstrem dampak fenomena El Nino pada September hingga Oktober. Sejak awal 2023,  BMKG sudah memprediksi potensi El-Nino, termasuk yang berdampak ke NTB.

“Menuju periode puncak musim kemarau tahun ini, masyarakat diimbau dapat menggunakan air bijak, efektif dan efisien,” kata Cakra Mahasurya,  Prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi NTB.

Peringatan dini kekeringan meteorologis pada level awas antara lain terdapat di Lombok Timur di Kecamatan Sambelia, Lombok Utara di Kecamatan Bayan dan Sumbawa, Kecamatan Utan. Sedangkan level siaga terdapat di Dompu, Kecamatan Dompu, Huu, Kempo, Kilo, Manggalewa, Pajo, Woja. Kabupaten Bima di Kecamatan Belo, Bolo, Donggo, Lambitu, Lambu, Madapangga, Palibelo, Sanggar, Sape, Soromandi, Wawo dan Kota Bima di Kecamatan Raba Rasanae Timur.

Selain itu, Kota Mataram di Kecamatan Mataram, Kabupaten Lombok Barat di Kecamatan Batu Layar, Gerung, Kediri, Lembar, Lingsar, Narmada. Kabupaten Lombok Tengah di Kecamatan Janapria, Praya Barat, Praya Tengah, Pujut. Kabupaten Lombok Timur di Kecamatan Aikmel, Jerowaru, Keruak, Labuhan Haji, Montong Gading, Pringgabaya, Pringgasela, Sembalun, Swela, Sukamulia, Wanasaba.

Kabupaten Lombok Utara di Kecamatan Gangga, Kayangan, Pemenang, Tanjung. Kabupaten Sumbawa di Kecamatan Alas, Alas Barat, Batulanteh, Buer, Lape, Lenangguar, Moyo Utara, Orong Telu, Rhee, Sumbawa, Unter Iwes dan Kabupaten Sumbawa Barat di Kecamatan Brang Ene, Brang Rea, Jereweh, Maluk, Poto Tano, Seteluk, Taliwang.

“Level waspada terdapat di Kabupaten Lombok Tengah di Kecamatan Batukliang, Kabupaten Lombok Timur di Kecamatan Sikur dan Terara serta Kabupaten Sumbawa di Labangka, Moyo hulu,” kata Cakra.

 

Petani varietas lokal padi bulu yang ditanaman masyarakat adat Desa Beleq Gumantar Kabupaten Lombok Utara bisa tumbuh dengan baik di lahan kering. Sistem pertanian masyarakat adat terbukti lebih adaptif terhadap bencana kekeringan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

BMKG juga mengingatkan masyarakat perlu mewaspadai akan bencana kebakaran hutan dan lahan dan kekeringan yang terjadi pada kemarau ini.

Dalam pertemuan Syahrul Yasin dengan para kepala daerah dan jajaran Dinas Pertanian kabupaten/kota se-NTB, dia optimistis NTB bisa menjadi daerah penyangga pangan untuk Indonesia timur meski di tengah El-Nino.

NTB, katanya,  daerah subur dan produktivitas tinggi. Dia mewanti-wanti penanaman itu dipercepat ketika masih tersedia air.

“Ancaman El-Nino dalam peta kita sudah berwarna hitam, coklat dan merah. Di NTB kita masih ketemu air,” kata mantan Gubernur Sulawesi Selatan ini.

Kementerian Pertanian siap intervensi teknologi mekanisasi terhadap suatu daerah yang masuk pada zona kuning atau merah. Kementerian Pertanian juga menyediakan program kredit usaha rakyat (KUR) pertanian yang bisa membantu petani dalam mengembangkan usaha tani.

Suwandi, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian mengatakan, gerakan nasional penanganan El-Nino di NTB ini fokus pada lahan potensial untuk meningkatkan indek pertanaman dengan dengan padi genjah dan tahan kekeringan.

NTB merupakan daerah bumi gora atau bumi gogo rancah, dengan tanam padi di lahan kering. Pengalaman bertani di lahan kering itulah yang menjadi keyakinan Kementerian Pertanian bahwa NTB bisa menjadi penyangga pangan khusus beras di tengah ancaman El-Nino.

“Kami harapkan juga bisa sistem tumpangsari,” katanya.

 

Air bendungan Pengkemit di Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah sudah mulai menyusut. Kondisi serupa juga terjadi pada beberapa embung di Lombok Tengah dan Lombok Timur bagian selatan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version