Mongabay.co.id

Kasuari, Burung Purba Penjaga Hutan Papua

 

 

Tersembunyi di antara lebatnya hutan hujan Papua, ada burung yang masuk dalam deretan 10 burung terbesar di dunia. Tingginya bisa mencapai 1,8 meter, dengan berat mencapai 76 kg. Ini setara dua kali berat kambing.

Warna bulunya hitam, yang bisa menyamarkan badannya yang besar dalam keremangan hutan hujan tropis yang tidak tertembus sinar matahari. Tatapan matanya tajam sigap mengamati gerak-gerik mencurigakan dari balik rerimbunan daun.

Burung itu diberi nama kasuari, dari bahasa Papua. Kasu, kasuari, atau kasavari berarti bertanduk. Sementara weri berarti kepala. Kasuari memang terlihat memiliki satu tanduk di atas kepala. Semakin besar tanduknya menandakan usianya yang semakin tua, sekaligus kedudukan yang tinggi dalam strata sosial kasuari.

Tanduk itu mengingatkan orang pada kebanyakan dinosaurus yang juga bertanduk. Itu sebabnya, kadang kasuari juga disebut burung dinosaurus. Begitupun dengan kakinya yang berjari tiga mirip kaki dinosaurus. Dalam teori evolusi, kerabat terdekat dinosaurus memang burung. Selain itu kasuari kadang juga disebut burung purba. Diketahui, sejak 60 juta tahun lalu diperkirakan morfologi kasuari tidak banyak berubah.

Ada tiga spesies kasuari di dunia, yaitu kasuari utara (Casuarius unappendiculatus), kasuari selatan (Casuarius casuarius), dan kasuari kerdil (Casuarius bennetti). Kasuari selatan adalah yang terbesar, dengan ciri-ciri memiliki tanduk besar, gelambir ganda berwarna merah dengan leher berwarna biru. Kasuari utara berukuran lebih kecil dengan gelambir tunggal berwarna merah dan leher juga berwarna biru. Sedangkan kasuari kerdil berukuran paling kecil, tanduk yang juga kecil berwarna gelap.

baca : Mengenal 10 Burung Terbesar, Tertinggi, dan Sayap Terlebar di Dunia

 

Burung Kasuari koleksi Gowa Discovery Park (GDP) Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Habitat kasuari meliputi pulau Seram (Maluku), seluruh Papua termasuk pulau Yapen dan pulau Aru, dan Australia Timur Laut. Kasuari menyukai hutan hujan tropis yang lebat, hutan mangrove, namun kadang juga terlihat di dekat lahan pertanian penduduk. Yang terakhir ini karena habitat aslinya menyusut dan terfragmentasi, juga karena sumber makanan yang menipis.

Burung yang tidak bisa terbang ini memakan bulat-bulat aneka buah yang jatuh di lantai hutan. Biji yang ikut tertelan kemudian keluar bersama kotoran dan menjauh dari asal pohonnya. Ini memberi kesempatan kepada aneka pohon untuk menyebar dan memenuhi seluruh pulau Papua dan sekitarnya. Tanpa kehadiran kasuari, hutan hujan Papua barangkali tidak selebat seperti sekarang. Kasuari telah membantu regenerasi pohon-pohon hutan Papua itu tetap terjaga.

Banyak penelitian yang telah mengungkap peran kasuari dalam menyebarkan tanaman hutan. Misalnya yang dilakukan Margaretha Pangau Adam dan rekannya, yang menemukan kasuari juga makan buah tumbuhan palem. Ada sepuluh jenis biji palem pada 147 kotoran kasuari yang ditemukan dalam penelitiannya.

Dalam kesempatan lain, dia juga menemukan korelasi positif antara banyaknya kasuari dengan tutupan kanopi serta tinggi dan diameter pohon. Selain menyediakan buah-buahan besar, hutan primer menyediakan air. Kasuari memerlukan akses teratur ke sumber air sehingga populasi kasuari lebih banyak ditemukan di hutan primer.

Di hutan sekunder, kanopi yang mulai terbuka telah membawa masuk sinar matahari ke lantai hutan yang menyebabkan sebagian tempat air hilang. Penelitian yang dilakukan di Nimbokrang, Jayapura itu juga menemukan aktivitas manusia ke dalam hutan turut menghilangkan sumber air alami bagi kasuari.

Sebuah penelitian pernah mengungkap dalam satu tumpukan kotoran kasuari terdapat hingga satu kilogram biji-bijian dari 78 jenis tumbuhan. Sebagian besar mampu berkecambah karena kotoran kasuari menjadi media sekaligus memberi nutrisi bagi tumbuhnya bakal pohon.

baca juga : Pensiunan TNI AL Piara Kasuari, Mau Disita, Satwa Raib dari Kandang

 

Burung kasuari. Foto: Wikimedia Commons/Cburnett/CC BY-SA 3.0

 

Penelitian lain yang dikerjakan La Hisa dari Balai Taman Nasional Wasur, Merauke mengungkap kasuari selatan menyukai buah tumbuhan pohon kenari (Endiandra fulva), pohon Pouteria sp, pandan duri (Pandanus tectorius), palem Albert (Caryota rumphiana), tumbuhan Uvaria sp. Kasuari selatan menjadi satwa yang dimandatkan untuk dilestarikan di kawasan itu.

Kelima jenis tumbuhan berbuah ini bijinya paling banyak ditemukan dalam feces kasuari di Taman Nasional Wasur. Umumnya buah yang disukai kasuari berwarna cerah, berukuran besar, dan berdaging tebal. Total ada 18 jenis biji-bijian yang ditemukan dari 25 sampel kotoran kasuari.

Meski kasuari dikenal sebagai satwa frugivora alias pemakan buah, namun satwa ini juga makan binatang kecil dan bagian tumbuhan lain. Terutama saat buah sulit didapat karena pergantian musim. Kasuari diketahui juga makan siput, serangga, jamur, juga bunga. La Hisa mengutip laporan dari warga lokal yang melihat kasuari makan rayap dan ikan kecil yang terperangkap dalam kolam yang mengering pada musim kemarau.

baca juga : Dijuluki Merpati Bermahkota, Burung Ini Hanya Ada di Papua

 

Burung kasuari koleksi TSTJ Solo, Jateng. Foto : Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Sayangnya keberadaan kasuari semakin terganggu oleh aktivitas manusia. Penelitian yang dilakukan Jedediah F Brodie dan rekan di Nimbokrang dan pegunungan Arfak membuktikan populasi kasuari sangat berkurang pada wilayah yang sering dikunjungi manusia. Perburuan yang berlebihan, pembukaan lahan, dan masuknya mamalia yang diintroduksi mungkin berpengaruh terhadap populasi kasuari.

Meski belum terbuktikan dalam penelitian mereka, krisis iklim juga menjadi ancaman potensial bagi kelestarian kasuari. Suhu yang meningkat bisa memaksa kasuari bermigrasi ke tempat yang lebih tinggi. Kasuari juga mungkin membatasi mencari makan hanya pada pagi dan sore hari karena menghindari suhu yang semakin panas. Akibatnya keanekaragaman hayati di dataran rendah bisa berkurang. Sebab tidak ada lagi yang membantu menyebarkan biji-biji tumbuhan itu ke setiap penjuru hutan. (***)

 

Kasuari, spesies endemik Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Exit mobile version