- Lima tahun ke depan, diperkirakan lahan basah Sungai Musi akan kehilangan beragam jenis ikan air tawar. Penyebabnya, selain habitat ikan air tawar yang terus berkurang, juga kehadiran ikan asing invasif, serta perilaku penangkapan ikan yang tidak lestari.
- Rawa gambut di Sumatera Selatan yang tersisa 1,123 juta hektare, diperkirakan akan terus berkurang akibat aktivitas perkebunan sawit, HTI [Hutan Tanaman Industri] dan infrastruktur, sehingga berbagai jenis ikan air tawar terus kehilangan habitatnya.
- Maraknya budidaya ikan asing invasif seperti ikan nila [Oreochromis niloticus] dan tradisi melebung atau mencari ikan di lebak lebung, turut menekan populasi ikan air tawar lokal di lahan basah Sungai Musi.
- Upaya restorasi gambut oleh BRGM [Badan Restorasi Gambut dan Mangrove] di Sumatera Selatan hendaknya mengembalikan lanskap lebak lebung, serta mendorong pembenihan dan penyebaran bibit ikan air tawar ke alam.
Baca sebelumnya:
“Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi
Perempuan-perempuan yang Kehilangan Ikan dan Pengetahuannya
Liputan ini didukung Pulitzer Center
**
Lima tahun ke depan, diperkirakan lahan basah Sungai Musi akan kehilangan beragam jenis ikan air tawar. Penyebabnya, selain habitat ikan air tawar yang terus berkurang, juga kehadiran ikan asing invasif, serta perilaku penangkapan ikan yang tidak lestari.
“Lahan basah Sungai Musi, seperti rawa gambut dan mangrove, ke depan mungkin akan terus berkurang. Dampak kian masifnya konversi lahan tersebut menjadi perkebunan sawit, HTI [Hutan Tanaman Industri], pembangunan infrastruktur seperti jalan dan permukiman baru, sehingga potensi-potensi ekonomi dan konservasi lahan basah juga berkurang bahkan hilang. Termasuk, keberadaan ikan air tawar,” kata Adios Syafri, dari HaKI [Hutan Kita Institute], organisasi peduli lingkungan hidup, pertengahan September 2023.
Dicontohkan Adios, dari 1,475 juta hektare luasan rawa gambut di Sumatera Selatan, selama delapan tahun [2011-2019] berkurang menjadi 1,123 juta hektare. Sekitar 352 ribu hektare yang hilang.
“Sangat mungkin hari ini dan esok, luasan rawa gambut terus berkurang,” kata Adios.
Selama 15 tahun terakhir, di sejumlah wilayah di Sumatera Selatan, seperti di Kabupaten Musi Rawas, marak budidaya ikan nila [Oreochromis niloticus], ikan lele dumbo [Clarias gariepinus], ikan patin [Pangasius sp], dan ikan gurami [Osphronemus goramy].
Awalnya, budidaya ikan air tawar tersebut untuk memenuhi kebutuhan rumah makan pecel lele. Pecel lele merupakan masakan siap saji ala Indonesia, yang kali pertama muncul di Kediri, Jawa Timur, tahun 1970-an. Masakan ini berkembang pesat di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan.
Selanjutnya, ikan air tawar budidaya mulai menjadi menu masakan rumah masyarakat di Sumatera Selatan. Di pasaran, harganya lebih murah dibandingkan ikan air tawar dari alam.
Tingginya permintaan ikan air tawar budidaya, serta kian sulitnya mencari ikan air tawar di alam, membuat sejumlah masyarakat di sekitar lahan basah turut membudidayakan ikan nila, ikan lele dumbo, ikan patin, dan ikan gurami. Bukan hanya di kolam, juga di danau dan di sepanjang tepian sungai.
Berdasarkan data BPS [Badan Pusat Statistik] selama tiga tahun [2019-2021], produksi ikan air tawar budidaya di Sumatera Selatan, lebih tinggi dibandingkan produksi ikan air tawar yang diambil dari alam. Pada 2021, produksi ikan air tawar budidaya mencapai 274.051 ton. Sementara produksi ikan air tawar dari alam [perairan umum] sebesar 117.737 ton.
Beberapa kabupaten di Sumatera Selatan yang memiliki lahan basah luas, yang selama ini dikenal sebagai sentra ikan air tawar dari alam, mulai bergeser menjadi sentra ikan air tawar budidaya.
Tahun 2021, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] yang memiliki lahan basah sekitar 1,42 juta hektare, menghasilkan 19.111 ton ikan air tawar dari alam. Sementara produksi ikan air tawar budidaya mencapai 19.120 ton. Kabupaten Musi Banyuasin [Muba] yang memiliki lahan basah sekitar 600 hektare, menghasilkan 25.120 ton ikan air tawar budidaya. Sementara ikan air tawar dari alam sebesar 23.015 ton.
Kabupaten Ogan Ilir yang memiliki lahan basah seluas 93.310 hektare, menghasilkan 8.510 ton ikan air tawar dari alam. Sementara produksi ikan air tawar budidaya sebesar 8.811 ton. Kabupaten Banyuasin yang luas lahan basahnya mencapai 946 ribu hektare, menghasilkan ikan air tawar budidaya sebesar 42.724 ton. Sementara ikan air tawar dari alam sebesar 55.373 ton.
“Beberapa jenis ikan yang dibudidayakan itu merupakan ikan invasif. Misalnya ikan nila. Jika terlepas ke perairan umum, sangat potensial menjadi spesies invasif. Selain predator dengan memakan larva dan telur ikan lain, reproduksinya juga sangat cepat dan tinggi, serta kemampuannya menguras sumber daya pakan alami di perairan,” kata Irkhamiawan Ma’ruf, peneliti ikan air tawar dari Universitas Muhammadiyah Palembang.
“Ikan nila yang dibudidayakan, banyak yang terlepas ke perairan umum, sehingga ikan-ikan lokal tersisih atau terganggu populasinya.”
Di sisi lain, menurunnya populasi ikan air tawar di alam, membuat masyarakat melakukan berbagai cara yang tidak lestari untuk mendapatkannya. Misalnya menyetrum, meracun, atau menggunakan pukat.
“Pelakunya adalah mereka yang menjadikan ikan sebagai sumber ekonomi. Kalau menangkap ikan untuk makan, jarang menggunakan cara yang tidak lestari tersebut,” ujar Irkhamiawan.
Tradisi yang berubah
Masyarakat Sumatera Selatan memahami lahan basah sebagai lebak lebung. Lanskap lebak lebung terdiri dari talang, rawang, lebak kumpai, dan batanghari. Talang adalah lahan kering. Rawang adalah lahan rendah, yang terendam air saat musim penghujan, kering saat musim kemarau. Lebak kumpai juga lahan rendah yang tergenang air, yang biasanya terdapat lebung atau lubuk [bagian terdalam lebak]. Serta, batanghari atau sungai.
Setiap kali musim kemarau, sebagian besar lahan basah Sungai Musi, mengering atau airnya menyusut. Kondisi tersebut dimanfaatkan masyarakat untuk mencari ikan, yang disebut melebung. Menangkap ikan menggunakan jala, jaring, tangkul, atau merogoh [menggunakan kedua tangan].
“Saat ini, tradisi melebung sangat mengancam keberadaan ikan air tawar lokal. Mereka yang melebung, bukan hanya di rawang yang airnya menyusut atau mengering, juga ke lebung yang masih digenangi air. Ikan yang ditangkap dalam ukuran apa pun, besar maupun kecil,” kata Irkhamiawan, kandidat doktoral di IPB [Institut Pertanian Bogor] University.
Lebung adalah habitat utama ikan air tawar di lebak lebung. Di lebung, beragam jenis ikan bertelur dan membesar. “Jika ikan-ikan di lebung dihabisi, maka berkuranglah induk dan anakan ikan. Pada saat musim penghujan, populasi ikan di rawang dan sungai pun berkurang. Jika perilaku tersebut terus dilakukan, maka kepunahan beragam jenis ikan air tawar lokal akan terjadi.”
Di masa lalu, pada setiap wilayah permukiman di lahan basah dikenal “lebung larangan”. Artinya, lebung yang tidak boleh diambil ikannya, baik di musim penghujan maupun kemarau. Aturan ini bagian dari hukum adat.
Lelang Lebak Lebung diatur dalam kitab “Simbur Cahaya”. Kitab yang dijadikan pranata hukum adat masyarakat Sumatera Selatan yang ditulis Ratu Sinuhun, isteri Pangeran Sido Ing Kenayan, yang berkuasa di Palembang pada 1636-1642.
“Aturan adat ini tetap berlaku saat dilakukan lelang lebak lebung di masa pemerintahan Hindia Belanda.”
Di masa Republik Indonesia, aturan adat tersebut tergerus. Tepatnya setelah Pemerintahan Orde Baru melahirkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang diganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang membubarkan pemerintahan marga [adat].
Hasil dari lelang lebak lebung yang sebelumnya menjadi pendapatan pemerintahan marga, beralih menjadi pendapatan pemerintahan kabupaten.
Menurut Dr. Muslim, peneliti ikan dari Universitas Sriwijaya, dalam penelitiannya berjudul “Perikanan Rawa Lebak Lebung Sumatera Selatan”, lelang lebak lebung saat ini sangat merugikan warga yang pendapatannya dari mencari ikan. Sebab, sebagian besar lebak lebung dikuasai pengemin atau pemenang lelang. Kemudian, terjadi konflik berkepanjangan antara pengemin dengan pemilik lahan, dikarenakan pemasukan pemilik lahan lebih kecil dibandingkan pengemin.
Bubarnya pemerintahan marga, juga menghilangkan hukum adat yang menjaga lebung. Dampaknya, kesadaran masyarakat untuk melindungi lebung perlahan terkikis.
Upaya melindungi sejumlah perairan sebagai habitat ikan air tawar lokal oleh sejumlah pemerintahan di Sumatera Selatan tahun 1980-an, melalui penetapan suaka perikanan, dampaknya tidak maksimal. Meskipun upaya tersebut berdasarkan UU No.9 Tahun 1985.
Saat ini, sejumlah suaka perikanan, seperti Lebung Karangan [Kabupaten OI], Sungai Teluk Kemang, Teluk Rasau dan Teluk Gelam [Kabupaten OKI], serta Danau Cala dan Danau Konger [Kabupaten Muba], sebagian besar bentang alamnya sudah rusak atau tidak terlindungi.
Restorasi rawa gambut
Rusaknya rawa gambut di lahan basah Sungai Musi, bukan hanya menyebabkan hilangnya kekayaan flora dan fauna, seperti ikan air tawar, juga menimbulkan bencana kebakaran setiap kali musim kemarau.
Bencana kebakaran rawa gambut ini mulai terjadi pada 1997-1998, pasca-aktivitas perusahaan HPH [Hak Pengusahaan Hutan] yang beroperasi di ratusan ribu hektare lahan basah Sungai Musi, dari tahun 1970-an hingga 1990-an. Jutaan pohon ditebang. Lahan basah yang terbuka tersebut dijadikan perkebunan sawit dan HTI, yang menyebabkan sebagian lahan menjadi kering, akibat dikanal.
Selanjutnya, hampir setiap kali musim kemarau terjadi kebakaran, seperti kemarau yang disertai El-Nino tahun 2023 ini.
Kebakaran rawa gambut yang menimbulkan bencana asap bukan hanya mencemari udara di Kalimantan, Sumatera, dan sebagian Jawa, juga di Singapura dan Malaysia, yang membuat pemerintahan Joko Widodo [Jokowi] membentuk Badan Restorasi Gambut [BRG] pada 6 Januari 2016. BRG dibentuk setelah kebakaran rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan seluas 2,6 juta hektare pada 2015.
Melalui skema 3R, yakni rewetting [pembasahan], revegetasi [penanaman kembali], dan revitalisasi [menghidupkan kembali] ekonomi, BRG menargetkan restorasi rawa gambut seluas 2,4 juta hektare, yang tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Hingga 2020, BRG mengklaim telah merestorasi rawa gambut seluas 835.288 hektar di luar konsesi perusahaan.
Pada 2020, BRG mengembangkan wilayah kerjanya ke ekosistem mangrove, sehingga namanya berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM]. Tugasnya merestorasi rawa gambut seluas 1,2 juta hektare dan 600 ribu mangrove. Wilayah kerjanya meluas ke Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Papua Barat.
Target restorasi rawa gambut di Sumatera Selatan seluas 656.884 hektare, dari luasan 1.206.195 hektare rawa gambut tersisa di lahan basah Sungai Musi. Hingga 2024, ditargetkan sekitar 142.060 hektar rawa gambut di Sumatera Selatan selesai direstorasi.
“Yang perlu dikritisi bahwa restorasi rawa gambut di Sumatera Selatan tidak terlalu memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat di sekitar rawa gambut. Saya melihat banyak kegiatan revitalisasi ekonomi didorong ke pertanian dan peternakan. Padahal, pertanian dan peternakan adalah pengetahuan baru buat sebagian masyarakat di sekitar rawa gambut,” kata Yusuf Bahtimi, peneliti lahan basah, dan kandidat doktoral di Oxford University.
Selain itu, tradisi pertanian dan peternakan juga membangun kesadaran masyarakat untuk mendapatkan lahan mineral. “Padahal kesadaran membutuhkan lahan mineral, salah satu faktor yang mengubah rawa gambut menjadi perkebunan sawit, HTI, dan infrastruktur.”
“BRGM harus lebih fokus pada pembasahan dan penanaman. Revitalisasi ekonominya diarahkan pada pengelolaan ikan air tawar, sebuah tradisi yang berkembang selama ratusan tahun di lahan basah Sungai Musi. Saya percaya, jika ini dijalankan, rawa gambut akan kembali seperti semula, dan masyarakat hidup sejahtera.”
Sebagian rawang di Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI, dijadikan demplot restorasi rawa gambut. Misalnya lahan seluas tiga hektare milik Haji Nungcik yang dijadikan demplot restorasi rawa gambut oleh CIFOR [Center for International Forestry Research] dan Universitas Sriwijaya.
Di demplot restorasi rawa gambut tersebut ditanami pohon bintaro [Cerbera manghas], pohon jeluntung [Dyera costulata], dan pohon nyamplung [Calophyllum inophyllum], serta beberapa lokasi dijadikan kolam.
“Saat musim kemarau seperti sekarang, demplot ini masih basah, meskipun ada yang terbakar karena api merayap dari luar demplot. Untung selalu dapat dipadamkan. Sementara kolam mulai didiami ikan air tawar yang datang saat banjir dan populasinya terus bertambah. Sudah terasa manfaatnya. Setidaknya sebagai sumber pangan [ikan],” kata Sumantri [26], pendamping demplot restorasi tersebut.
Tidak semua rawang di Desa Perigi, yang luasnya sekitar 2.000 hektare, direstorasi. Sebagian rawang dijadikan perkebunan sawit dan persawahan padi oleh masyarakat Desa Perigi.
“Sebagian besar rawang di Desa Perigi tidak seperti dulu, sehingga ikannya tidak banyak lagi. Dulunya, kata orang tua saya, ikan-ikan di sini menjadi sumber pangan dan ekonomi masyarakat Desa Perigi,” kata Sumantri.
BRGM memfasilitasi sejumlah kelompok masyarakat di Sumatera Selatan, yang melakukan kegiatan ekonomi terkait ikan air tawar. Kegiatan ekonominya berupa budidaya ikan air tawar. Misalnya, kelompok masyarakat di Desa Danau Cala [Kabupaten Musi Banyuasin] yang membudidayakan ikan tapah [Wallago leeri] dan di Desa Karangsari [Kabupaten Muba] yang membudidayakan ikan lele dumbo [Clarias gariepinus].
Kembalikan lebak lebung
Perlu upaya perlindungan dan intervensi untuk memulihkan sumber daya ikan di perairan umum atau alam. Caranya, dengan memberikan suaka atau tempat aman bagi ikan air tawar lokal untuk berlindung, bertelur, membesarkan larva, dan mencari makan.
“Suaka perikanan atau yang lebih dikenal dengan konservarsi adalah wilayah lindung ikan dari penangkapan, pencemaran, dan perubahan bentang alam,” kata Irkhamiawan.
“Wilayah lindung idealnya dilakukan dengan menetapkan suatu ekosistem yang terintegrasi antara wilayah perairan dan teresterial. Perlindungan berbasis lanskap ini ideal untuk memberikan fungsi maksimal bagi konservasi ikan air tawar lokal tersisa. Wilayah daratan merupakan barier alami dari pencemaran yang akan masuk ke perairan dan produsen bahan organik penting bagi perairan,” jelasnya.
Masifnya kondisi penurunan sumber daya ikan di perairan umum, tidak dapat lagi hanya mengandalkan rekrutmen alami ikan di alam. Perlu intervensi lebih lanjut dengan menebar bibit ikan asli ke lahan basah Sungai Musi.
“Perlu dilakukan restocking. Restocking bertujuan untuk memulihkan dan mengimbangi laju penurunan ikan di perairan. Kesadaran melakukan restocking di Sumatera Selatan sudah sangat baik, namun dalam praktiknya ditemukan sejumlah kendala. Terutama ketidaktersediaan benih ikan asli yang akan digunakan sebagai sumber benih sebar. Akibatnya, banyak kegiatan restocking menggunakan benih non-asli yang berpotensi menjadi kompetitor bagi ikan asli,” jelas Irkhamiawan.
Gagasan adanya wilayah suaka perikanan, mungkin dapat dipadukan dengan program restorasi rawa gambut yang dilakukan BRGM. Beberapa wilayah rawa gambut di Sumatera Selatan, yang ditargetkan akan direstorasi, dapat dijadikan wilayah suaka perikanan.
“Artinya, BRGM dapat mengembalikan rawa gambut bagian dari lebak lebung dalam pemahaman masyarakat lokal di Sumatera Selatan,” kata Yusuf Bahtimi.
Penting disepakati lebak lebung merupakan wilayah konservasi yang dapat diakses masyarakat. Misalnya, masyarakat boleh menangkap ikan di rawang atau rawa yang tidak dalam. Sementara, lebung tidak boleh diganggu.
Selanjutnya, aktivitas lelang lebak lebung yang diselenggarakan beberapa pemerintahan kabupaten di Sumatera Selatan, sejumlah aturannya harus diubah. Misalnya, pengemin atau pemenang lelang hanya berhak menampung ikan dari lokasi lelang, sehingga pemilik lahan atau warga setempat tetap sebagai pencari ikan. Kemudian, lebung dilarang untuk dilelang atau diambil ikannya.
“BRGM juga harus mendukung upaya pembenihan ikan air tawar sebagai penyedia restocking di lahan basah Sungai Musi,” ujar Yusuf, yang pernah melakukan penelitian lahan basah di Kabupaten OKI.
Sebuah usaha pembenihan ikan air tawar dilakukan UPR [Unit Pembenihan Rakyat] Ulak Kuto, yang dibentuk Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] dan Pemerintah Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI.
“Memproduksi benih ikan air tawar di Desa Bangsal yang berada di lahan basah memungkinkan benih yang dihasilkan memiliki daya adaptasi lebih baik, karena sumber indukan, air, dan sumber daya lainnya, berasal dari perairan setempat. Benih yang dihasilkan akan memiliki angka kelulusan hidup lebih baik, karena telah beradaptasi sebelumnya,” kata Irkhamiawan, sebagai pendamping UPR Ulak Kuto.
UPR Ulak Kuto telah membenihkan tiga jenis ikan air tawar yang hidup di lahan basah Sungai Musi, yakni ikan baung [Bagrus nemurus], tambakang [Helostoma temminckii], dan ikan betok [Anabas testudineus].
“Indukan berasal dari perairan setempat. Sumber indukan lokal merupakan kunci agar benih yang dihasilkan memiliki sifat genetik yang sesuai dengan lahan basah Sungai Musi. Penting didukung berbagai kegiatan produksi benih, sebelum kita kehilangan banyak jenis ikan air tawar.”
Sebuah model konservasi perikanan seluas 49,2 hektare seperti lebak lebung, yang dinamakan SPEECTRA [Special Area for Conservation and Fish Refugia], dikembangkan Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan – Kementerian Kelautan dan Perikanan [BRPPUPP-KKP] bekerja sama dengan SEAFDEC/Inland Fishery Resources Development and Management Department [IFRDMD] di Patratani, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan.
Lanskapnya berupa instalasi rawa. Pertama, rawa banjiran berupa kolam seluas 625 meter persegi dengan kedalaman lima meter, berfungsi sebagai penangkap ikan air tawar, yang dibawa air pasang Sungai Musi. Tujuannya, ikan air tawar yang terperangkap dapat berkembang biak.
Kedua, enam petak kolam seluas 10.000 meter persegi dengan kedalaman empat meter, sebagai suaka perikanan. Di lokasi ini, dipelihara indukan pembenihan ikan air tawar lokal.
Ikan yang dipelihara, antara lain ikan sepat siam [Trichopodus pectoralis], ikan sepat mata merah [Trichogaster trichopterus], ikan tembakang [Helostoma temminckii], ikan tempalo lebak [Betta sp.], ikan semuringan [Striped Barb Puntius Sp], ikan selincah [Belontia hasselti], ikan betok [Anabas testudineus], ikan gabus [Channa striata], ikan lele lokal [Clariidae], ikan belido [Chitala hypselonotus], ikan putak [Notopterus notopterus], ikan lundu [Mystus], ikan serandang [Channa pleurophthalma], dan ikan seluang [Rasbora caudimaculata].
Selanjutnya, ketiga, rawa seluas 20.000 meter persegi dengan kedalaman empat meter, berbentuk kolam keliling, mengurung sebuah daratan [area hijau]. Di tengah daratan terdapat empat kolam berukuran 400 meter persegi dengan kedalaman empat meter, terhubung dengan kolam keliling.
Ikan yang hidup di sini, ikan tembakang, ikan tangkeleso [Scleropages formosus], ikan sepat mata merah, ikan semuringan, ikan gabus, ikan serandang, ikan tempalo lebak, dan ikan seluang.
Keempat, kolam pembenihan ikan air tawar lokal seluas 80 meter persegi yang terdiri 12 petak. “Pembenihan ikan air tawar lokal yang dikembangkan yakni ikan baung, ikan belido, ikan gabus, ikan tembakang, dan ikan lele lokal,” kata Dr. Dina Muthmainnah, analis kebijakan madya di [BRPPUPP] Palembang, pertengahan September 2023.
Kelima, kolam pembesaran seluas 400 meter persegi dengan kedalaman empat meter yang terbagi enam petak. Ikan air tawar yang dibesarkan atau dibudidaya, seperti ikan patin, ikan lele lokal, ikan tembakang, ikan gabus, dan ikan-ikan-ikan rawa banjiran.
Terakhir, keenam, kolam pemancingan. Kolam seluas 1.152 meter persegi dengan kedalaman empat meter, berfungsi sebagai rawa banjiran Sungai Musi. Ikannya seperti ikan sepat siam, ikan sepat mata merah, ikan tembakang, ikan tempalo lebak, ikan semuringan, ikan selincah, ikan putak, ikan betok, ikan gabus, ikan serandang, ikan lele lokal, ikan lundu, dan ikan seluang.
“Kolam pemancingan ini dapat diakses masyarakat. Jika mereka menangkap ikan yang dilindungi, seperti ikan belido dan ikan putak, harus diserahkan ke petugas SPEECTRA. Ikan-ikan itu tidak boleh dikonsumsi atau dijual,” ujarnya.
Sementara alat tangkap ikan yang diperbolehkan di area Patratani antara lain pengilar, tajur, jaring insang, rawai, dan jala.
“Kami berharap proyek ini menjadi model konservasi perikanan yang dapat dikembangkan di Sumatera Selatan, sehingga jenis dan populasi ikan air tawar lokal terjaga dan dapat mensejahterakan masyarakat,” jelas Dina.