Mongabay.co.id

Perjuangan Warga Desa Sasakan Mamasa untuk Perhutanan Sosial

 

 

Abner menunjukkan hamparan kebun yang membentang luas, lereng pegunungan yang rimbun. Ada berbagai macam tanaman, mulai dari kopi hingga nanas.

“Kami sudah menanam dari dulu sebelum hutan ini diklaim sebagai hutan negara. Paling lama tanaman kopi dan coklat. Kalau dilarang masuk ke hutan, ke mana lagi kami bisa berkebun,” ungkap warga Desa Sasakan, Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, pada pertengahan Agustus silam.

Siang itu kami mengunjungi lahan yang dikelola masyarakat yang masuk dalam kawasan hutan. Abner dan puluhan warga sekitar tengah berjuang untuk memperoleh hak kelola melalui perhutanan sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (Hkm). Mereka telah membuat kelompok meski belum berproses untuk pengajuan.

Abner patut resah. Ketika polisi kehutanan datang memberi tahu bahwa lahan yang mereka kelola adalah kawasan hutan negara yang tak bisa dikelola, mereka seperti kehilangan tumpuan hidup. Lahan yang tersedia terbatas, sementara kebutuhan untuk bertanam semakin meningkat. Produksi kopi pun menurun tak seperti dulu-dulu.

Yohanes, warga Desa Sasakan lainnya, menyatakan lahan di hutan tersebut sudah dikelola jauh sebelum adanya sejak dulu tapal batas kawasan hutan. Bahkan masyarakat sangat tergantung pada padi ladang yang lokasinya masuk jauh ke dalam kawasan hutan.

“Ada kekhawatiran kami kalau ada penegasan ekstrem maka masyarakat mau dibunuh perlahan. Kami segan mengelola takut dipenjara. Bagaimana nasib anak cucu kami dengan lahan terbatas. Kami berharap diberikan solusi menggarap lahan,” katanya dalam pertemuan sehari sebelumnya.

Dampak dari pembatasan masuk dalam kawasan hutan, membuat mereka hanya bisa memaksimalkan mengelola lahan yang sudah ada, tak bisa lagi membuka lahan baru, sementara kebutuhan lahan baru juga mendesak.

“Dulu bulan Agustus itu masuk musim kopi, tapi sekarang sudah tidak ada. Tak ada hasil, tidak bisa masuk kawasan hutan karena takut dan ragu, padahal sebagian besar lahan kami di dalam hutan.”

baca : Tradisi Gotong Royong, Peran Perempuan dan Perhutanan Sosial di Desa Mesakada Mamasa

 

Masyarakat telah secara turun temurun mengelola lahan di kawasan hutan budidaya kopi dan coklat. Foto. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Yohanes tidak tahu pasti sanksi nantinya ketika mengelola lahan di kawasan hutan. Mereka hanya tahu akan dipenjara. Apalagi beberapa tahun sebelumnya mereka dilaporkan sebagai penggarap ilegal di kawasan hutan.

Menurut Yohanes, meski menggarap kebun di dalam hutan, mereka senantiasa tetap menjaga kelestarian hutan. Mereka juga membangun sarana wisata ibadah di dalam kawasan hutan dengan konsep alam.

“Ada lahan kami istilahnya dihibahkan ke gereja untuk wisata religi berupa patung Bunda Maria. Ini tidak merusak hutan, justru mempertahankan alamiahan hutan, jadi kami pertahankan keberadaannya.”

Masalah lainnya adalah keberadaan PT. Kencana Hijau Bina Lestari (KHBL) dengan Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK). Perusahaan pengolahan getah pinus ini menguasai puluhan ribu hektar kawasan hutan, termasuk 4,2 ribu hektar di wilayah KPH Mamasa Tengah.

Kehadiran PT. KHBL membawa keuntungan bagi para petani-penggarap yang terlibat langsung sebagai pekerja ataupun sebagai tengkulak. Namun sisi lain, sebagian besar petani-pemilik lahan ataupun pemegang ijin kawasan hutan berupa Hutan Tanaman Rakyat (HTR) tidak memberikan keleluasaan dalam menjual hasil getah pinus mereka.

Ada peraturan daerah yang mewajibkan masyarakat-petani untuk tidak membawa keluar potensi getah pinus. Pilihan harga pun menjadi tertutup dan tidak ada negosiasi berupa tawar menawar yang dapat dilakukan.

Dalam beberapa kasus warga harus berurusan dengan polisi ketika mencoba menjual hasil getah pinus selain dengan PT. KHBL. Belum lagi tapal batas wilayah perusahaan yang beririsan dengan wilayah kelola warga.

baca juga : Kehadiran Perda Perkuat Masyarakat Adat di Mamasa

 

Puluhan orang warga Desa Sasakan tengah berjuang untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan melalui perhutanan sosial skema Hutan Kemasyarakatan (HKm). Foto. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Perhutanan Sosial sebagai Solusi

Sukma Taroniarta, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Madya dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sulawesi menyatakan adanya solusi untuk menyelesaikan persoalan warga dengan kawasan hutan, yaitu melalui perhutanan sosial.

“Pertama harus kita terima dulu kalau bapak sudah masuk dalam kawasan hutan maka itu adalah milik negara. Namun bagaimana supaya masyarakat bisa gunakan kawasan hutan ada prosedur yang memungkinkan, yaitu perhutanan sosial, bisa melalui hutan desa atau hutan kemasyarakatan.”

Sukma menjelaskan tak usah khawatir tentang keberlanjutan pengelolaan karena akan dikelola selama 35 tahun dan bisa diperpanjang. Hanya saja lahan tersebut tak bisa disertifikatkan atau dijual.

“Selama bisa menjamin hutan tetap bagus dan bisa mendapat manfaat ekonomi dan nyaman maka ini akan terus berlanjut dan bapak-bapak bisa tenang bekerja tanpa ada lagi saling klaim, agar legal menggarap di dalam kawasan hutan, hutan tetap bagus dan warga juga terangkat kehidupan sosialnya.”

Di dalam kawasan hutan pada skema HKm sendiri tidak sepenuhnya digunakan untuk budidaya, namun ada juga ruang untuk konservasi di mana kelompok punya tanggung jawab untuk mengelola.

“Untuk lahan kelola sendiri hanya diperkenankan seluas 5 ha per anggota, sementara lahan tersisa dari yang total lahan yang diajukan diperuntukkan untuk zona konservasi dan lindung.”

Awaluddin, Direktur Yayasan Romang Celebes (YRC), tak menafikan tingginya ketergantungan masyarakat akan kawasan hutan dan telah secara turun temurun menggarap lahan di dalam kawasan, sehingga kehadiran perhutanan sosial menjadi sangat tepat sebagai solusi konflik.

Dalam regulasi terbaru Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial dikatakan bahwa masyarakat dapat mengusulkan suatu areal tertentu untuk mendapatkan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial kepada Menteri LHK. Dalam prosesnya masyarakat tidak akan bekerja sendiri, namun butuh dukungan.

“Tentu perlu ada pendampingan untuk mengusulkan skema perhutanan sosial ini karena terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh kelompok masyarakat, termasuk memberikan pemahaman kepada mereka terkait hak dan kewajiban mereka nantinya.” (***)

 

Exit mobile version