Mongabay.co.id

Begini Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Kepulauan Aruah

 

 

 

 

 

Perairan Kepulauan Aruah, Riau,  merupakan kawasan penting yang kaya keanekaragaman hayati, salah satu tempat pemijahan penyu hijau. Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, menetapkan Kepulauan Aruah, sebagai kawasan konservasi perairan dua tahun lalu. Kini, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) pun mulai menyusun rencana pengelolaan. Tindak lanjut ini sesuai mandat dalam surat keputusan menteri yang menunjuk pemerintah daerah sebagai pengelola kawasan.

Awal September lalu, DKP Riau menerjunkan dua tim, pertama, survei biofisik untuk mendata kualitas air, terumbu karang dan habitat penyu yang merupakan target konservasi. Kedua, menyebar ke rumah-rumah nelayan untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai kondisi sosial dan ekonomi.

Penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi Kepulauan Aruah cukup lama molor. Setelah ditetapkan pada 6 September 2021, DKP Riau sebagai unit pengelola, baru sosialisasi keputusan menteri, itu pada nelayan di Panipahan, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Rokan Hilir, dua tahun kemudian.

Cora Mustika, PELP Ahli Madya Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP, dalam sosialisasi mengatakan,  penyusunan rencana pengelolaan semestinya paling lambat enam bulan setelah ditetapkan.

Rencana pengelolaan kawasan konservasi, katanya,  harus berdasarkan indikator target konservasi. Paling sedikit memuat, tujuan dan sasaran terukur, kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya, lalu tingkat pemanfaatan eksisting serta potensi ancaman terhadap target konservasi.

 

Aktivitas pasar ikan di Panipahan. Penjual meletakkan ikan di pinggir jalan umum. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kemudian, strategi tata kelola, perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan terhadap target konservasi; indikasi program, kegiatan dan rencana pendanaan. Lalu, rencana kemitraan dan jejaring, zona kawasan konservasi sampai rencana monitoring dan evaluasi.

Panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi, katanya,  tertuang dalam Lampiran IV Peraturan Menteri KP Nomor 31/2020.

Herimufty, Kepala Bidang Kelautan dan Pengawasan DKP Riau, mengatakan, penetapan kawasan konservasi Kepulauan Aruah mulai dari pencadangan kawasan melalui SK Gubernur Riau pada 2017.

Sejak itu, beberapa kali diselenggarakan konsultasi publik dari tingkat tapak hingga pemerintah pusat.

Setelah seluruh dokumen persyaratan lengkap, Gubernur Riau langsung mengusulkan penetapan melalui surat Nomor 528 pada 30 September 2020. Tidak genap satu tahun, pasca permohonan, Menteri KP menyutujui.

Sebagai informasi, luas kawasan konservasi perairan di Indonesia hingga 2022 mencapai 28,9 juta hektar. Dalam rencana program jangka menengah nasional (RPJMN), KKP, menargetkan penambahan kawasan konservasi perairan jadi 32,5 juta hektar pada 2030.

Kawasan konservasi Kepulauan Aruah ditetapkan dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Riau.

Peraturan daerah tentang penataan ruang laut, ini sebenarnya sudah sempat disetujui bersama DPRD Riau dan sampai ke Kementerian Dalam Negeri.

 

 

 

Setelah ada UU Cipta Kerja, rencana tata ruang yang mengatur matra laut dan darat harus terintegrasi atau menjadi satu peraturan. Tidak lagi disusun terpisah, kata Herimufty, dalam proses harmonisasi di KemenkumHAM.

Luas perairan Kepulauan Aruah yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi mencapai 18.536,10 hektar. Ia dikelola sebagai taman di perairan, terdiri atas zona inti 123,80 hektar dan zona pemanfaatan terbatas 18.323,25 hektar. Ada lagi zona lain sesuai peruntukan kawasan, meliputi zona pelabuhan 19,90 hektar dan zona jalur lintas kapal 69,15 hektar.

Herimufty mengatakan, kawasan inti dengan luasan sekitar 10% dari total areal konservasi tak boleh diganggu. Ketetapan ini sudah baku, katanya, kecuali untuk penelitan, dengan syarat ada izin.

“Pada prinsipnya bukan untuk membatasi pergerakan nelayan dalam mencari nafkah. Tapi menjaga keberlanjutan dari hasil tangkap, supaya berkembang terus dan menjadi penghasilan yang tidak terputus sampai ke anak cucu.”

Cora bilang, nelayan tetap dapat memanfaatkan perairan Kepulauan Aruah di luar zona inti mengingat prinsip konservasi mendasarkan pada tiga hal, perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Ia juga sejalan dengan strategi pengelolaan kawasan konservasi yakni, masyarakat, pemerintah daerah dan mitra.

Untuk itu, katanya, pengelolaan kawasan konservasi harus melibatkan masyarakat selain ada lembaga khusus yang dibentuk pemerintah. “Masyarakatlah yang ikut menjaga. DKP Riau tidak mungkin tiap hari mengawasi. Kawasan konservasi akan hidup dan terbangun, harus melibatkan masyarakat sekitar,” ucap Cora.

Cora contohkan di Raja Ampat, Papua. Pelibatan masyarakat tidak hanya menumbuhkan ekonomi juga berdampak pada penyelamatan lingkungan.

Contoh lain, di Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat, sebagai percontohan pengelolaan penyu. Gubernur serius lewat anggaran Rp11 miliar dalam APBD tanpa bantuan luar. Lagi-lagi, masyarakat terlibat sebagai pemandu wisata dan penyedia jasa transportasi.

“Masih banyak PR (pekerjaan rumah) DKP Riau, terutama pembuatan tanda batas sesuai peruntukan kawasan.”

Nelayan Panipahan, mendukung keputusan pemerintah melindungi Kepulauan Aruah. Meski begitu, mereka mendesak patroli dan penegakan hukum ketat terhadap penangkap ikan dengan pukat imau (cantrang) dan bubu tarik.

Deny Arif,  Kepala UPTD Dinas Perikanan Panipahan, ungkapkan kerisauan nelayan. Penangkapan ikan dengan alat terlarang oleh nelayan dari Sumatera Utara ditengarai merusak terumbu karang dan penyu yang jadi kawasan konservasi di Kepulauan Aruah. Nelayan Panipahan,  katanya, tak satupun pakai pukat dan bubu tarik.

“Kalau pengawasan tidak konsisten dan berkelanjutan, kami rasa sekian tahun lagi terumbu karang, apalagi penyu di Pulau Jemur dan sekitarnya bisa rusak dan musnah,” kata Deny.

Pulau Jemur, satu dari beberapa gugusan pulau di Kepulauan Aruah. Pulau ini, habitat pemijahan penyu hijau. Saat ini, Distrik Navigasi dan TNI Angkatan Laut turut dalam aksi konservasi sekaligus menjaga pulau yang berbatasan dengan perairan Malaysia itu.

Soal pengawasan, Herimufty, akui terdapat kelemahan dan kekurangan walau ada kerjasama patroli dengan Polisi Air, TNI AL termasuk Bakamla, durasi dan rutinitas masih tergolong kurang. Kendalanya, masalah klasik, soal biaya atau anggaran.

 

Pulau Jemur, satu dari beberapa gugusan di Kepulauan Aruah yang menjadi habitat penyu hijau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Anggaran pengawasan laut di DKP Riau, tahun ini, hanya tersedia buat enam kali patroli. Tahun lalu, bahkan hanya empat kali. Tahun depan, katanya, akan ada peningkatan 10 kali patroli. Hal ini, katanya, tak lepas dari usaha DKP meyakinkan Bappeda Riau kalau pengawasan laut sangat penting saat penyusunan anggaran.

Minimnya anggaran pengawasan, katanya,  tidak lepas dari putusnya dukungan keuangan dari pemerintah pusat. Saat ini, penganggaran murni dari dana pemerintah daerah. Padahal, sekali patroli setidaknya menghabiskan biaya Rp40 juta buat bahan bakar dan lain-lain.

Selain soal anggaran, kendala pengawasan juga karena keterbatasan armada. Riau punya tujuh wilayah pesisir dari 12 kabupaten dan kota. Penanggungjawab dibebankan pada tiga UPT PSDKP.

Wilayah I berpusat di Tembilahan, mengawasi perairan Indragiri Hilir dan Pelalawan. Wilayah II, meliputi Bengkalis, Siak dan Meranti. Wilayah III, untuk perairan Rokan Hilir dan Dumai.

Meski perairan yang harus dijaga cukup luas. DKP Riau hanya memiliki satu kapal pengawas yang berjaga di UPT III. Itu pun, harus naik galangan akhir tahun ini. Paling tidak baru operasi lagi, tahun depan. Untuk UPT lain harus menjalin kerjasama peminjaman kapal di wilayah kerja masing-masing. Padahal,  panjang garis pantai Riau 2.000 kilometer lebih.

Tahun ini, DKP Riau rencana mengadakan dua kapal panjang 12,5 meter bahan alumunium. “Semoga dengan bertambahnya armada bisa lebih intenskan pengawasan terutama di wilayah perairan,” harap Herimufty.

 

Tim biofisik mendata populasi penyu di Pulau Jemur. Foto: DKP Riau

*********

Exit mobile version