Mongabay.co.id

Kabut Asap Selimuti Palembang, Kasus ISPA Meningkat

 

 

Saat memasuki Palembang atau setelah melewati Pulau Kemarau, belasan kapal dan perahu memperlamban lajunya di Sungai Musi, Senin [25/09/2023] sore. Kabut asap membuat pandangan di Sungai Musi kurang dari 100 meter, sehingga kapal atau perahu harus hati-hati melaju.

“Kalau tidak melambat, bisa celaka. Dulu, pernah terjadi tabrakan kapal atau perahu akibat kabut seperti ini. Kabut asap di Sungai Musi sangat mengganggu penglihatan. Jadi terpaksa kapal ini pelan,” kata seorang awak kapal Jetfoil Bahari Express, yang mengangkut penumpang Mentok [Pulau Bangka]-Palembang.

Saat keluar dari ruang penumpang, udara terasa panas dan tercium aroma daunan atau ranting terbakar. Bernapas tidak nyaman. “Waduh, diserang kabut asap lagi Palembang,” kata Badaruddin, warga Sungaliat, seorang penumpang kapal, yang ingin menemui anaknya di Palembang.

Selama Bulan September 2023, sejumlah kapal tongkang dan speedboat terpaksa menunda perjalanan dari Palembang ke wilayah Kabupaten Banyuasin, seperti ke Sungsang dan Lalan, pada pagi, sore, dan malam hari. “Kami hanya berangkat siang hari atau saat kabut asap menipis,” kata Mang Din, serang kapal tongkang di 7 Ulu Palembang, Selasa [26/09/2023].

“Ini sudah biasa setiap kali musim kemarau. Mudah-mudahan kabut asap ini segera hilang, sebab setiap kali adanya kabut asap jadwal perjalanan kami terganggu,” ujar Mang Din.

Baca: Api Membakar Lahan di Sumatera Selatan, Penanggulangan Harus Cepat

 

Sungai Musi diselimuti kabut asap, Selasa sore. Banyak kapal dan perahu yang tidak melakukan aktivitas. Terlihat hanya tongkang batubara yang melaju. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Para pengguna Jalan Tol Palembang-Inderalaya juga terganggu kabut asap, disebabkan kebakaran rawa gambut di Kecamatan Pemulutan dan Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir [OI].

Terganggunya pelayaran atau transportasi di Sungai Musi akibat kabut asap bukan hanya terjadi tahun 2023 ini. Setiap musim kemarau, terjadi kebakaran rawa gambut di sejumlah wilayah di Sumatera Selatan, seperti di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten OI.

Udara di Palembang pun tidak sehat atau sangat tidak sehat selama sebulan terakhir. Selasa [26/09/2023], berdasarkan IQAir indeks kualitas udara di Palembang menunjukan angka 173 atau tidak sehat.

Baca: Tahun 2023, Sumatera Selatan Waspada Kebakaran Rawa Gambut

 

Pelabuhaan Boom Baru di Palembang yang biasa ramai aktifvitas kapal, pada Selasa lalu tampak lengang. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Palembang, dari Agustus hingga pekan pertama September 2023, kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut [ISPA] di Kota Palembang mencapai 4.325 kasus. Meningkatnya kasus ISPA diduga kuat akibat memburuknya kualitas udara di Palembang.

“Wong Palembang ini seperti ikan sale. Dipanggang dan diasapi. Tidak bisa ngomong lagi, mau protes apa lagi,” kata Salman, warga Seberang Ulu I Palembang.

Ikan sale adalah ikan asap. Tradisi kuliner yang dilakukan masyarakat di Sumatera Selatan untuk mengawetkan ikan air tawar.

“Ada imbauan agar kami tidak keluar rumah. Ya, sama saja kami tidak makan. Kami terpaksa keluar rumah menghadapi panas dan kabut asap demi mencari makan,” ujar Salman yang bekerja di sebuah rumah makan.

 

Seperti saat wabah Covid-19 lalu, hampir semua warga Palembang menggunakan masker saat keluar rumah. Seperti warga yang melintas Jembatan Musi IV. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Kabut asap

Pada 12 Oktober 2023, tim sepakbola Indonesia akan melawan Brunei Darussalam dalam pertandingan pertama Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Pertandingan ini akan dilangsungkan di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang.

“Kalau kabut asap di Palembang tidak segera berlalu atau tidak teratasi dalam beberapa pekan ke depan, bukan tidak mungkin pertandingan itu batal digelar,” kata Deddy Pranata, seorang pegiat sepakbola di Palembang.

“Jadi, menghadapi kemungkinan tersebut, Pemerintah Sumatera Selatan harus dapat menjamin tidak terjadi kebakaran rawa gambut yang menyebabkan bencana kabut asap,” ujar Deddy.

 

Pagi di Jakabaring Palembang yang diselimuti kabut asap. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Seperti 2015 lalu, kabut asap bukan hanya mengganggu transportasi di Sungai Musi, juga transportasi darat dan udara, serta menyebabkan terganggunya kesehatan ribuan warga Sumatera Selatan. Terutama pada orang tua, perempuan hamil, dan anak-anak.

“Ini bencana rutin setiap tahun. Namanya musim kabut asap. Tapi bencana atas perbuatan manusia, bukan bencana cobaan dari Tuhan,” kata Sutrisman Dinah, pegiat lingkungan di Palembang.

“Sudah banyak uang yang dihabiskan buat mencegah dan mengatasi bencana kebakaran dan kabut asap ini. Bukan hanya dana negara, juga dari bantuan negara-negara luar. Yang lahir hanya peraturan dan berbagai kegiatan. Tapi, dampaknya tidak ada. Tetap terjadi kebakaran rawa gambut yang melahirkan musim kabut asap,” kata Sutrisman.

Kebakaran rawa gambut kali pertama di Sumatera Selatan pada 1997-1998. Selanjutnya, hampir terjadi setiap kali musim kemarau.

 

Pukul 08.00 WIB, Selasa lalu, Palembang masih seperti subuh hari. Kabut asap memenuhi kota yang dikeliling wilayah rawa gambut yang terbakar. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Akibat bencana kabut asap pada 2015 lalu, Pemerintahan Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut [BRG] pada awal 2016 dan berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM] pada 2020. Tujuannya, untuk merestorasi rawa gambut seluas 2,4 juta hektare dan 600 ribu hektare mangrove. Hingga 2020, BRGM mengklaim telah merestorasi rawa gambut seluas 835.288 hektar di luar konsesi perusahaan.

BRGM bekerja berdasarkan skema 3R, yakni rewetting [pembasahan], revegetasi [penanaman kembali], dan revitalisasi [menghidupkan kembali] ekonomi.

Kehadiran BRGM disambut baik masyarakat dan pegiat lingkungan. Salah satu harapannya, tidak terjadi lagi kebakaran rawa gambut, yang berujung bencana kabut asap.

 

Seorang warga di Dusun Babatan Saudagar, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, tengah memadamkan api di sebuah kebun, Rabu [27/09/2023]. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Audit kepatuhan perusahaan

Berdasarkan data pantauan hotspot oleh Hutan Kita Institute [HaKI], periode 1-20 September 2023 sudah tercatat 958 hotspot di Sumatera Selatan. Sekitar 529 hotspot berada di rawa gambut. Hotspot terbanyak di Kabupaten OKI, yakni 621 hotspot. Sekitar 45 persen, hotspot berada di konsesi perkebunan dan kehutanan.

“Kejadian karhutla [kebakaran hutan dan lahan] semestinya tidak berulang setiap tahun, apalagi yang terjadi di rawa gambut. Karena pengalaman tahun-tahun sebelumnya dan perkiraan gambut yang rentan terbakar, sudah dapat diketahui dari jauh-jauh hari,” kata Riza Toni Siahaan dari Perhimpunan Anak Bangsa, dalam siaran persnya.

 

Anak-anak di Dusun Babatan Saudagar, Kabupaten OI, Sumatera Selatan, turut membantu memadamkan api di kebun yang terbakar. Foto: Mahaesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Toni, kebakaran di rawa gambut dalam konsesi perusahaan memiliki kecenderungan berulang. Berdasarkan Data Pantau Gambut tahun 2015-2020 sekitar 30 persen karhutla terjadi pada rawa gambut dalam konsesi. Bahkan, pada 2016-2017 mencapai 50 persen.

Sesuai regulasi, perusahaan perkebunan dan kehutanan wajib menjaga ground level water atau tinggi muka air tanah kurang dari 40 centimeter. “Jadi terbakarnya rawa gambut di perusahaan, terindikasi tinggi air muka tanah pada lahan gambut tidak terjaga kurang dari 40 centimeter. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] dan asosiasi perkebunan harus melakukan audit kepatuhan dan kesiapan sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan karhutla,” ujarnya.

Sejauh ini, KLHK melalui Gakkum Wilayah Sumatera menyegel enam lokasi kebakaran di konsesi perusahaan di Kabupaten OKI. Yakni di konsesi PT. BKI seluas 60 hektare, PT. KS [25 hektare], PT. SAM [30 hektare], PT. RAJ [1.000 hektare], serta PT. WAJ [1.000 hektare], sedangkan seluas 1.200 hektare masih dicari pemiliknya.

 

Exit mobile version