Mongabay.co.id

Mungkinkah Prinsip Ekowisata Diterapkan di Gili Tramena?

 

Taufik ingat ketika menjadi kepala Desa Gili Indah, setiap pekan selalu dilaporkan berbagai masalah di Gili Trawangan. Konflik agraria, perebutan klaim antara masyarakat dengan investor, konflik sesama masyarakat, konflik antar pengusaha sampai sampah yang menumpuk yang bisa viral di media sosial. Tidak ada hari tanpa masalah.

Setelah berhenti menjadi kepala desa, Taufik kembali ke dunia pariwisata. Apa yang pernah dirasakan pelaku wisata ketika dia menjadi kepala desa, dirasakan olehnya saat ini. Kawasan wisata yang berkali-kali mendapatkan penghargaan nasional dan internasional itu seperti tak lepas dari masalah.

“Seperti sekarang ini banyak keluhan tamu berebut spot snorkeling,’’ katanya saat diskusi Sadar Pariwisata di kantor Desa Gili Indah di Gili Air, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (12/9) yang difasilitasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Hampir semua operator selam membawa tamunya ke salah satu titik snorkeling ada di Gili Meno yaitu spot patung bawah laut. Masalah yang timbul, semua pelaku wisata membawa tamu ke tempat itu, sehingga terkadang harus antre snorkeling disitu.

“Harus ada upaya untuk buat spot baru. Spot buatan, Kementerian Pariwisata dan Kementerian Kelautan Perikanan harus kerjasama,’’ katanya.

Keluhan tidak dapat kesempatan, terlalu ramai snorkeling, dan speedboat yang lalulalang di spot itu, bukan cerita baru di kawasan Gili Tramena (Trawangan, Meno, Air). Sebagai destinasi wisata utama di Kabupaten Lombok Utara, tiga pulau yang masuk Desa Gili Indah ini tidak pernah sepi.

Pada tahun 2022 lalu, jumlah kunjungan wisatawan ke Gili Indah sebanyak 215.332 wisatawan. Sekitar 123.000 orang diantaranya berlibur ke Gili Trawangan. Kehadiran ratusan ribu turis ini mendatangkan berkah bagi ekonomi di desa. Termasuk juga mendatangkan masalah baru. Sampah yang tak pernah habis.

baca : Liputan Gili Matra : Ancaman Pariwisata Massal terhadap Lingkungan Gili Matra (Bagian 1)

 

Anak-anak Gili Trawangan memungut sampah botol plastik yang dibawa arus laut. Sampah ini selanjutnya akan dijual ke pengepul. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Ketua Forum Masyarakat Pemerhati Lingkungan (FMPL) Gili Trawangan Cahyo Kurniawan menyebutkan angka 18 ton sampah per hari di Gili Trawangan dari sampah yang mereka kelola. FMPL bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Perumahan dan Kawasan Permukiman Lombok Utara untuk mengelola sampah di Gili Trawangan.

Pelaku wisata dan masyarakat membayar retribusi untuk pengelolaan sampah mereka. Tidak semua ikut dalam program ini. Sehingga angka 18 ton/hari itu, kata Cahyo, bisa saja lebih banyak jika dihitung semua sampah dari Gili Trawangan.

“Tahun depan TPA di Gili Trawangan sudah penuh. Solusi yang bisa dilakukan mengangkat dan membawa ke TPA daratan (Pulau Lombok),’’ katanya.

Volume sampah yang besar ini, kata Cahyo berasal dari aktivitas usaha. Dia menyadari kehadiran banyak wisatawan ke Gili Trawangan berkontribusi juga terhadap timbunan sampah. Mengolah sampah di tempat masing-masing bisa menjadi solusi untuk mengulur waktu hingga TPA penuh.

Taufik dan Cahyo merasakan pariwisata Gili Tramena yang massal ini mendatangkan masalah bagi lingkungan. Karena itulah konsep dalam pariwisata berkelanjutan bisa menjadi penyelamat Gili Tramena.

 

Pilihan Ekowisata

Ada tiga kata kunci dalam ekowisata, yaitu konservasi alam, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan. Program konservasi alam sebenarnya sudah dilakukan oleh masyarakat Gili Tramena bersama pelaku wisata. Salah satunya melalui kegiatan transplantasi terumbu karang, karena mereka sadar daya pariwisata Gili Tramena itu ada pada aktivitas pantai, yaitu berenang, snorkeling dan menyelam.

“Beberapa tempat yang sekarang jadi lokasi diving itu dulunya kami yang lakukan konservasi,’’ kata Abdul Malik, pegiat lingkungan dari Gili Trawangan.

Malik menunjukkan sebuah video para penyelam yang menyaksikan bangkai kapal di dalam laut yang jadi habitat berbagai jenis ikan. Akhirnya berkembang menjadi salah satu spot menyelam.

“Kalau laut rusak tidak ada lagi bisa dijual dari gili,’’ katanya.

baca juga : Liputan Gili Matra : Gili Eco Trust, Penjaga Keindahan Gili Trawangan (Bagian 4)

 

Banyaknya wisatawan menyebabkan kian besarnya- ekanan pada kondisi lingkungan Gili Matra, NTB. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kegiatan snorkeling dan menyelam bisa menjadi aktivitas ekowisata jika dikombinasikan dengan kegiatan konservasi. Seperti yang dilakukan Malik dan organsasinya Gili Eco Trust. Mereka juga mengolah sampah yang didapatkan dari laut. Dijadikan berbagai kerajinan tangan. Termasuk aktif juga kampanye lingkungan.

“Target kami nanti bisa mengajak lebih banyak untuk terlibat transplantasi. Kalau soal sampah (di laut) itu sudah 20 tahun lalu masalahnya,’’ katanya.

Masyarakat lokal di Gili Tramena rentan terdampak pariwisata massal yang selama ini mereka lakukan sebagai pelaku wisata besar maupun kecil.

Aktivitas ekowisata juga bisa diterapkan di Gili Meno melalui pengelolaan kawasan mangrove yang merupakan satu ekosistem dengan Danau Asin di tengah pulau. Kawasan mangrove sebagai habitat hinggap berbagai burung bisa dijadikan ekowisata altenatif pengamatan burung (bird watching) yang bukan wisata massal.

Gili Meno dan Gili Trawangan bisa menjadi lokasi konservasi burung, dengan cara tidak menganggu burung yang bersarang dan tidak berburu burung. Salah seorang pengamat burung dari Geopark Rinjani, Mirzan Asrori pernah mendata burung di Gili Trawangan mencatat 40 jenis burung. Sebagian merupakan burung migran.

Zainur, pegiat wisata dari Gili Meno bilang, kawasan mangrove dan Danau Asin di Gili Meno tidak terurus. Sampai saat ini pemerintah tidak memberikan kejelasan pengelolaan. Akses jalan menggunakan kayu di kawasan itu mulai rusak, sedangkan masyarakat tidak bisa memperbaiki karena tidak ada anggaran.

“Kami mau menarik tiket juga tidak bisa karena tidak ada izin. Mestinya pemerintah segera memberikan pengelolaan ke kelompok masyarakat,’’ katanya.

Pengelolaan oleh masyarakat bisa melalui Pokdarwis, Karang Taruna, atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bisa menjamin kelestarian hutan mangrove dan danau air asin.

baca juga : Kisah Sukses Tramena dan Gili Matra Lakukan Restorasi Terumbu Karang di Gili Trawangan

 

Abrasi Gili Trawangan cukup parah. 10 tahun silam di tempat ini masih ada jalan yang biasa dilewati cidomo dan sepeda. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Ketua Pokdarwis Gili Tramena Safri mengatakan kegiatan pariwisata berkelanjutan di Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air harus semakin sering disuarakan. Praktik baik yang sudah ada saat ini harus mendapatkan dukungan pemerintah. Safri sadar, arah pariwisata di Gili Tramena lebih ke pariwisata massal sehingga tidak pernah diwacanakan mengatur kuota wisatawan.

“Kalau mengganti yang sudah berkembang sekarang mungkin tidak, tapi setidaknya yang konsep ekowisata semakin didukung,’’ katanya.

Menurut Safri, pemerintah tidak cukup sekadar mempromosikan wisatawan datang ke Gili Tramena, tetapi juga harus memikirkan berbagai dampak yang ditimbulkan dari pariwisata massal. Termasuk juga pemerintah bisa memulai untuk menghitung jumlah ideal wisatawan yang berkunjung ke tiga gili.

Sementara itu Kepala Desa Gili Indah, Wardana bilang masalah terbesar yang dihadapi saat ini adalah sampah dan air bersih. Selain itu ancaman abrasi di Gili Air, pusat pemerintahan desa juga semakin parah. Di Gili Air, setiap hari kurang lebih 30 ton sampah yang terkumpul. Gili Air beruntung karena dekat dengan daratan Lombok. Sebagian besar sampah dibawa ke daratan Lombok dengan kapal tongkang. Tapi menurut Wardana solusi itu sifatnya sementara.

“Persoalan-persoalan lingkungan yang muncul dari pariwisata ini harus dipikirkan solusinya,’’ katanya. Dia setuju konsep-konsep ekowisata bisa diterapkan di pariwisata Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air.

 

Wisatawan lokal berpose di atas kuda dengan latar matahari tenggelam (sunset). Kunjungan terbesar wisatawan ke kawasan Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air adalah wisatawan nusantara. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version