Mongabay.co.id

Dedikasi Mashud Azikin untuk Ecoenzym

 

Pagi itu, Mashud Azikin berjalan tergesa-gesa menuju sebuah kolam penampungan air sampah. Tanpa lelah ia membawa dua jerigen di kedua tangannya dibantu anak lelakinya.

Setelah melewati lintasan yang dipenuhi sampah yang berserakan dan bau yang tak sedap, mereka sampai di sebuah kolam buangan air sampah yang disebut kolam lindi, yang masih bagian dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa, Makassar, Sulawesi Selatan.

Beberapa jerigen yang Mashud bawa adalah cairan ecoenzym yang ia produksi sendiri. Setelah dicampur beberapa liter air, cairan berbau seperti metana ini disiram ke dalam kolam.

“Kami sudah beberapa kali menyiram di kolam ini dan mulai terlihat ada hasil. Baunya tak lagi menyengat serta mulai muncul tanaman azola sebagai indikator kalau air sudah baik,” jelas Mashud, pada akhir Agustus lalu.

Kolam lindi berfungsi seperti instalasi pengolahan air limbah (IPAL), tempat penguraian air lindi agar menjadi bersih sebelum akhirnya dialirkan ke sungai yang berada di sekitar kawasan.

“Prinsipnya air itu harus dibersihkan dulu sebelum dialirkan ke badan air, sampai ke sawah-sawah. Bayangkan dulu sawah-sawah itu tercemari air lindi limpahan dari kolam ini,” katanya.

baca : Makassar dan Masalah Darurat Sampah

 

Penyiraman ecoenzym di kolam lindi berhasil mengurangi bau dan memperbaiki kualitas air hasil limbah sebelum dialirkan ke sungai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dulunya, pembersihan air di dalam kolam lindi menggunakan alat penyaring khusus, namun alat itu kurang efektif dan hilang ketika banjir menyapu tempat itu.

Tidak hanya menyiram kolam lindi, Mashud juga melakukan penyiraman ke TPA Tamangapa, menggunakan sekitar 200 liter ecoenzym yang telah dilarutkan ke dalam baik mobil penyiram Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar. Ecoenzym diharapkan bisa jadi solusi seperti yang telah dilakukan di TPA Suwung Denpasar, Bali.

Ecoenzym sendiri adalah enzim berbahan organik yang ramah lingkungan yang diolah dari buah-buahan yang difermentasi menggunakan gula merah atau molase selama tiga bulan. Hasil fermentasi ini berupa cairan berwarna coklat dengan bau metana yang menyengat.

“Kita menyebut hasil awal ini F1 sebagai bahan dasar. Nanti kalau ingin dijadikan obat tertentu tinggal ditambahkan flavour tertentu selama beberapa minggu,” jelasnya.

Kelebihan ecoenzym bisa disimpan lama, bisa bertahun-tahun. Bahkan di Thailand ada yang telah disimpan selama 30 tahun, meskipun sebaiknya harus cepat dikembalikan ke alam. Cara pembuatannya pun sederhana, seperti halnya bahan bakunya yang mudah diperoleh dengan biaya minim.

Untuk mendapatkan bahan baku, Mashud mengambil sisa dari sampah organik pedagang sayuran dan buah di pasar. Untungnya para pedagang merasa terbantu sehingga kemudian dengan suka rela mengumpulkan sisa-sisa sampah tersebut sehingga memudahkan Mashud saat pengambilan.

Ecoenzym bisa digunakan untuk berbagai macam kebutuhan seperti pembuatan pupuk organik dan cairan pembersih lantai dan bahkan bisa digunakan untuk kesehatan. Tidak hanya cairannya, ampas ecoenzym bisa digunakan untuk pembuatan lulur.

baca juga : Mengenal Kampung Daur Ulang Sampah Makassar

 

Penyiraman TPA Tamangapa menggunakan ecoenzym yang telah diencerkan bertujuan untuk mengurangi polusi bau yang menyebar ke sebagian wilayah Kota Makassar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Mashud sendiri baru mulai menekuni ecoenzym ini pada 2021 silam. Sebagai sarjana kimia, ia paham bagaimana melakukan prosedur pembuatan ecoenzym. Jika awalnya ia mengembangkan ecoenzym menggunakan modul dari Ecoenzym Nusantara, sekarang ia mengembangkan metode sendiri.

Mashud melalui komunitasnya Manggala Tanpa Sekat (MTS) menjalin kerja sama dengan DLH Kota Makassar untuk penyiraman tersebut sebanyak empat kali dalam sebulan, dan ia memberikan bahan ecoenzym itu secara gratis kepada dinas.

Pengaplikasian ecoenzym di TPA Tamangapa diharapkan dapat mempercepat proses dekomposisi, sehingga volume sampah dapat dikurangi, dengan kondisi sampah dominan di TPA adalah sampah organik. Apalagi bau menyengat dari TPA ini sudah menyebar ke hampir seluruh bagian kota.

“Ada semacam kebanggaan dan kepuasan tersendiri ketika kita bisa berkontribusi pada lingkungan. Saya mau jadikan itu TPA sebagai tempat kerja sosial yang anak-anak sekolah.”

Mashud berharap apa yang dilakukannya bisa menjadi gerakan masif, dengan satu tujuan bagaimana membatasi sampah organik masuk ke TPA yang kini dalam kondisi over capacity.

Mashud juga punya rencana program edukasi untuk anak sekolah agar bisa produk ecoenzym, dan membuat aksi pengumpulan sampah terinspirasi aksi Pandawara Group yang lagi viral di media sosial.

baca juga : Cerita dari Banyumas: Kelola Sampah Jadi Berkah, Sekaligus Kurangi Emisi

 

Mashud menunjukkan ecoenzym produksinya yang dikemas dalam botol plastik untuk dibagikan secara gratis kepada anggota komunitas Manggala Tanpa Sekat (MTS) binaannya untuk kebutuhan kesehatan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Mashud bersama istrinya Hamidah, melalui komunitasnya, MTS, kini sedang berupaya memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang sebagian besar adalah pensiunan, yang berada di sekitar lingkungannya untuk bisa produk ecoenzym ini secara mandiri.

“Untuk memberdayakan ibu-ibu minimal disiapkan ada tempat penampungan. Mereka bisa membuat ecoenzym dari sisa kulit pisang dan sisa sayuran minimal 3 kg lah, bisa diperoleh dari rumah sendiri atau kumpul dari tetangga, untuk mendapatkan segalon ecoenzym. Tak sulit pembuatannya, hanya butuh ketekunan dan kesabaran.”

Menurutnya, jika gerakan ini berhasil di skala rumah tangga maka sampah yang dibuang ke TPA akan berkurang menekan gas metan yang bisa mengakibatkan ledakan atau kebakaran seperti yang terjadi beberapa tahun lalu.

TPA Tamangapa kini berada dalam over capacity. Dalam sehari seratusan truk membawa sekitar 1000 ton sampah, dan hanya 20 ton yang bisa dikelola oleh pemulung ataupun bank sampah. Tidak hanya sampah organik dan non-organik seperti plastik, tetapi juga sampah elektronika yang berbahaya bagi keselamatan pemulung.

Pernah ada upaya untuk membuat pupuk dari hasil sampah organik, namun terkendala pada fasilitas dan penganggaran. Pemerintah kota sendiri tengah menginisiasi pembangunan instalasi pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di lokasi lain, namun mendapat penolakan dari warga tempatan. (***)

 

 

Exit mobile version