Mongabay.co.id

Kemarau dan Budaya Membakar Lahan di Sumsel. Bencana atau Perayaan?

 

Di tengah kabut asap yang melanda Palembang, Yoan Sandra, selebgram Palembang, dihujat ribuan netizen. Melalui sebuah video di media sosial, Yoan dinilai mendukung aksi pembakaran lahan. Dampaknya, Yoan diperiksa Kepolisian Daerah Sumatera Selatan. Dia pun meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Beragam penilaian terhadap pernyataan Yoan tersebut. Baik terkait lingkungan maupun kemanusiaan. Selama sebulan lebih, kabut asap yang melanda Palembang menyebabkan beragam dampak. Mulai dari terganggunya transportasi air dan darat, juga menyebabkan ribuan warga Palembang terserang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut [ISPA]. Bahkan pemerintah Palembang menerapkan sekolah daring bagi pelajar, guna menghindari dampak dari kabut asap, sejak Senin [02/10/2023].

Apakah pernyataan Yoan mewakili atau membela perusahaan yang selama ini dituduh sebagai terduga pelaku pembakaran lahan? Hanya Yoan dan Tuhan yang tahu.

 

Kebun karet diubah menjadi kebun sawit. Ini dikarenakan harga getah karet yang tidak lagi mencukupi kebutuhan masyarakat. Foto Mahesa Putra

Baca juga: Kebakaran Hutan dan Lahan Landa Berbagai Daerah

 

Membakar Lahan

Dalam sepekan ini Mongabay mengunjungi sejumlah wilayah di Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Kabupaten Musi Rawas [Mura], dan Kabupaten Musi Rawas Utara [Muratara].

Ternyata pembakaran lahan dan hutan, tidak saja terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Ogan Ilir [OI] dan Kabupaten Banyuasin, yang menyebabkan kabut asap, selama sebulan terakhir. Namun, juga terlihat di sejumlah wilayah di Kabupaten Muba, Mura dan Muratara. Bahkan sebagian besar kebakaran ini terjadi di sejumlah kebun milik masyarakat.

“Musim kemarau merupakan waktu yang tepat untuk membuka lahan. Setelah pohon-pohon ditebang, kemudian dibakar. Kalau tidak dibakar, tanah tidak subur. Mengolah lahan seperti ini sudah dilakukan sejak dulu, dan hampir dilakukan setiap warga di sini,” kata Hamzi [48], warga Lakitan, Kabupaten Mura.

Dijelaskan Hamzi, membersihkan lahan tanpa melakukan pembakaran membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Satu hektare lahan biayanya kisaran Rp7-10 juta. Setelah itu dilakukan pemupukan yang juga membutuhkan biaya.

“Membuka lahan dengan cara membakar hasilnya selalu baik. Biaya murah, dan tanah menjadi subur. Maka, sulitlah mencegah masyarakat untuk membuka lahan tanpa membakar,” kata Hamzi.

Fenomena masyarakat mengubah kebun karet menjadi kebun sawit, membuat banyak perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mura dan Muratara, yang dibuka dan dibakar. Akibatnya, pada sore hari, langit di Ulu Rawas, Kabupaten Muratara, wilayah penyanggah Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS], dipenuhi kabut asap.

“Kemarau panjang ini, ada sedihnya, juga ada senangnya. Sedihnya, ya, udara panas, dan air mulai berkurang. Baik air sumur maupun sungai. Tapi kemarau panjang tahun ini adalah kesempatan kami membuka kebun karet kami. Kami mau beralih berkebun sawit,” kata Sarin, warga Desa Napal Licin, Kecamatan Ulu Rawas.

Dijelaskannya, kalau membuka lahan di musim penghujan sangat sulit dilakukan. Membutuhkan biaya yang besar. Terutama untuk membersihkan kayu, daunan, dan rumput yang dibersihkan. “Kalau musim kemarau, mudah dilakukan. Membakar biayanya murah. Memang selama membakar, kami menjaga apinya jangan sampai meluas, misalnya membakar hutan di sekitarnya.”

 

Kabut asap yang menyelimuti langit Desa Napallicin, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Desa ini merupakan penyanggah Taman Nasional Kerinci Seblat. Foto Mahesa Putra

 

Membakar sudah jadi tradisi

Tradisi membakar lahan di Sumatera Selatan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Buktinya, perilaku membakar lahan sudah diatur dalam kita menulis kitab “Simbur Cahaya”. Kitab ini ditulis Ratu Sinuhun, isteri Pangeran Sido Ing Kenayan yang berkuasa di Palembang  [1636-1642]. Hal ini ditambah dengan maraknya konversi lahan perkebunan yang sekarang terjadi.

Sebagian besar masyarakat yang menetap di wilayah uluan (pedalaman) di Sumatera Selatan adalah masyarakat yang hidup dari hasil kebun karet. Seperti di Babat Toman [Kabupaten Muba], Lakitan [Mura] dan Rawas Ulu dan Ulu Rawas [Muratara], dari masa pemerintahan Hindia Belanda dikenal sebagai sentra getah karet. Mereka hidup sejahtera bersama getah karet.

Tapi sejak tahun 2000-an akhir, -seiring masifnya perkebunan sawit, yang masuk ke wilayah Sumatera Selatan sejak tahun 1990-an, penghasilan masyarakat dari berkebun karet terus menurun. Penyebabnya bukan produksi getah karet yang menurun, tapi harga yang dinilai rendah.

“Satu hektare kebun karet, saat ini hasilnya sekitar Rp3 juta. Sementara kebun sawit, kisaran Rp8-12 juta per hektare. Jadi, wajar kalau kami mengubah kebun karet menjadi kebun sawit. Sebab kebun karet yang dulu pernah memakmurkan kami, sekarang sudah tidak lagi. Kebun sawit yang lebih menjanjikan,” kata Hamzi.

Fenomena masyarakat mengubah lahan kebun karet menjadi kebun sawit dengan cara membakar, diprediksi menyebabkan kebakaran lahan di Sumatera Selatan tidak akan berhenti hingga musim kemarau berakhir.

 

Pada saat musim kemarau, masyarakat di Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, membersihkan kebun karet dengan cara membakar. Foto Mahesa Putra

 

Fenomena ini bukan hanya terjadi Kabupaten Muba, Kabupaten Mura, dan Kabupaten Muratara, yang selama ini dikenal sebagai sentra karet, juga berlangsung di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Ogan Ilir [OI] dan Kabupaten Banyuasin, yang setiap tahun mengalami kebakaran lahan, khususnya rawa gambut, menyebabkan bencana kabut asap.

“Dulu, warga di sini menolak perkebunan sawit. Tapi sejak harga karet terus turun, ada sejumlah warga yang berubah pikiran. Mereka beralih berkebun sawit, termasuk membuat kebun sawit di rawang yang selalu terbakar saat musim kemarau ini,” kata Eddy Saputra, warga Desa Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik [BPS] luasan kebun karet di Sumatera Selatan mencapai  1.237.168 hektare. Sebagian besar kebun karet ini milik masyarakat.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumatera Selatan, dikutip dari inews.id, kebun karet yang belum menghasilkan sekitar 299.6567 hektare, yang sudah menghasilkan 865.862 hektare, dan kebun karet tua tapi masih menghasilkan sekitar 149.298 hektare.

Kabupaten yang terluas perkebunan karet,  Kabupaten Muba [208.212 hektare], Kabupaten Muratara [172.413 hektare], Kabupaten OKI [158.572 haktare], dan Kabupaten Mura [129.566 hektare]. Sementara di Kabupaten OKI, tercatat luas kebun karet yang sudah beralih fungsi, sekitar 12.546 hektare.

 

Exit mobile version