Mongabay.co.id

Eksistensi Mukim dan Proses Pengakuan Hutan Adat di Aceh

 

Perjuangan panjang masyarakat adat di Aceh dalam peroleh kepastian hukum pengelolaan hutan adat mulai berbuah. Pertama kalinya, negara mengakui keberadaan hutan adat di provinsi paling barat Indonesia itu.

Pada tanggal 18 September 2023 bertempat di Gelora Bung Karno, Pemerintah telah menyerahkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang penetapan status hutan adat dalam wilayah masyarakat hukum adat mukim di Aceh.

Adapun aturan tentang Hutan adat mukim di Aceh sebelumnya telah ditandatangani oleh Dirjen PSKL atas nama Menteri LHK pada 7 September 2023.

Luas hutan adat yang diusulkan di Aceh mencapai 105.147 hektar, secara eksisting yang telah mendapat pengakuan adalah 22.549 hektar, rinciannya 5.437 hektar di Kabupaten Aceh Jaya, 8.838 hektar di Bireuen, dan 8.274 hektar di Pidie.

Adapun delapan mukim di Aceh yang telah mendapatkan hutan adat yaitu, di Mukim Blang Birah, Mukim Krueng, dan Mukim Kuta Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Kemudian, Mukim Paloh, Mukim Kunyet, dan Mukim Beungga di Kabupaten Pidie, selanjutnya Mukim Krueng Sabee dan Mukim Panga Pasi, Kabupaten Aceh Jaya.

Secara sosiologis, mukim sendiri adalah kesatuan masyarakat adat di bawah kecamatan dan terdiri dari berapa desa, yang memiliki batas wilayah tertentu dan dipimpin oleh imum mukim. Secara struktural mukim telah ada sejak Aceh berbentuk kerajaan, pengelola mukim terdiri dari pawang uteun (hutan), keujruen blang yang mengurusi persawahan, panglima laot mengurusi laut dan nelayan, juga ada haria peukan yang mengurusi pasar.

 

Persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, yang berbatasan langsung dengan hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Baca juga: Pengakuan Wilayah Adat Lambat

 

Tanggapan dari Tim Verifikasi

Yuli Prasetyo Nugroho, Koordinator Tim Terpadu Verifikasi Usulan Hutan Adat di Aceh (14/09/2023) mengakui jika tidak semua luas hutan adat di Aceh yang diakui negara tidak sesuai dengan usulan masyarakat adat. Jelasnya, ada beberapa masalah yang ditemukan saat verifikasi.

“Salah satunya banyak peta usulan, dimana banyak masyarakat yang tidak terlibat sejak rencana pengusulan hingga pemetaan,” ungkap Yuli.

Dia menambahkan hutan adat adalah upaya mengembalikan hak tenurial atau hak pakai dalam mengelola hutan, yang berbeda dengan persetujuan dan pemberian izin. pengakuan hutan adat harus tepat baik secara budaya, ilmiah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Proses verifikasi juga tidak hanya menggunakan pendekatan teknokratik kehutanan, tetapi juga pendekatan antropologi dan sosiologi.

Imum Mukim Beungga, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Ilyas mengaku, awalnya mereka mengusulkan 10.900 hektar hutan adat, yang dikabulkan 4.060 hektar. Namun, bagaimanapun masyarakat sudah sangat bahagia karena hutan adat mereka diakui.

“Kami telah memperjuangkan hak mengelola hutan secara adat sejak lama. Usaha memperoleh pengakuan hak atas hutan adat secara terstruktur baru dilakukan di tahun 2016,” kata Ilyas.

Ilyas mengatakan, usaha itu dimulai dengan musyawarah antar-mukim untuk pengusulan hutan adat, pemetaan secara partisipatif, persetujuan batas antar wilayah mukim dan gampong, hingga menyusun dokumen usulan hutan adat kepada pemerintah.

 

Ilustrasi kawasan hutan yang masih terjaga keutuhannya di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Data BRWA

Hasil perhitungan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada tahun 2022, KLHK hanya menetapkan 19 keputusan hutan adat dengan luas 77.185 hektar.

Pengakuan hutan adat yang dimulai sejak tahun 2016 sampai Maret 2023 terdapat 108 SK Hutan Adat dengan luas mencapai 153.322 hektar, atau rata-rata sekitar 21.903 hektar setiap tahun. Padahal, lembaga ini mencatat ada 1.243 peta wilayah adat dengan luas mencapai 25,1 juta hektar yang mencakup wilayah adat di 32 provinsi.

Data Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, dari 144.497 hektar usulan hutan adat dari 13 mukim di Aceh, seluas 112.712 hektarnya telah masuk dalam peta indikatif KLHK atau tinggal menanti pengesahan.

“Masih banyak hutan adat yang telah diusulkan oleh mukim-mukim lain, ini juga perlu diakui oleh KLHK,” ungkap Zulfikar Arma, Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh (19/09/2023).

Dia menyebut, upaya itu tak bisa lepas dari dorongan pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

“Semua pihak harus pro aktif, karena Aceh memiliki banyak potensi hutan adat seperti di wilayah tengah dan Selatan Aceh,” katanya.

Muttaqin Mansur, Sekretaris Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat (PRHIA) Universitas Syiah Kuala saat diskusi publik hasil riset Hutan Adat Mukim sebagai Model Pengelolaan Hutan di Aceh penghujung tahun 2022 mengatakan, masyarakat hukum adat di Aceh atau mukim telah memiliki struktur yang jauh lebih lengkap yang keberadaannya diakui secara hukum.

Menurut Muttaqin, tim riset PRHIA Unsyiah telah melakukan kajian mendalam tentang historis mukim dan pengelolaan hutan adat oleh mukim.

Pada masa pemerintahan kerajaan Aceh, mukim memiliki kewenangan yang besar. Mukim memiliki hukum adat pengelolaan hutan yang sangat kompleks dan sesuai dengan semangat menjaga hutan.

“Ke depan, semoga Lembaga masyarakat adat di Aceh ini tidak hanya mendapatkan pengakuan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, tapi juga oleh pemerintah pusat, salah satunya dengan mempercayakan pengelolaan hutan kepada mereka,” katanya.

Exit mobile version