Mongabay.co.id

Pelahlar, Pohon Endemik Nusakambangan yang Kini Terancam

 

 

https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2023/10/Audio-Pelahlar-Pohon-Endemik-Nusakambangan.mp3?_=1

 

Mendengar kata Nusakambangan, maka biasanya tebersit adalah penjara mengerikan di Indonesia yang dihuni oleh narapidana kelas kakap dengan penjagaan terketat. Tak banyak yang tahu jika pulau ini memiliki banyak keunikan flora dan fauna. Bahkan sebagian wilayahnya memiliki status kawasan konservasi yakni Cagar Alam Nusakambangan Barat. 

Pulau Nusakambangan sendiri merupakan pulau terdepan di selatan Jawa dan masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Berbagai jenis satwa dan tumbuhan yang unik dapat ditemukan di sini, salah satunya adalah pohon endemik bernama Dipterocarpus littoralis atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama pelahlar (plahlar) nusakambangan.  

“Sayangnya pohon endemik yang hanya ditemukan di Pulau Nusakambangan ini semakin terancam,” kata Muhammad Yusuf dari Komunitas Biologi Satu, kepada Mongabay Indonesia, medio September 2023. 

Biologi Satu merupakan komunitas anak muda mahasiswa dan juga alumni Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang memiliki perhatian terhadap keanekaragaman hayati, khususnya pohon langka dan juga kampanye penyadartahuan kepada masyarakat di Kabupaten Cilacap. Komunitas ini melakukan penelitian terhadap pohon pelahlar nusakambangan bermula di tahun 2016 kemudian dilanjutkan pada tahun 2021. 

Dipterocarpus littoralis. Foto: Arief Hamidi/FPLI

Fokus mereka ke pohon langka karena dianggap sedikit yang memberikan perhatian dan juga penelitian, terutama pada pohon endemik Nusakambangan, jika dibandingkan konservasi terhadap satwa-satwa yang begitu banyak pemerhatinya.  

“Sebenarnya banyak yang peduli dengan pohon endemik ini namun tidak banyak yang bergerak,” ungkap Yusuf. 

Bahkan oleh beberapa masyarakat, kata Yusuf, pohon pelahlar nusakambangan saat ini sulit ditemui dan mereka menganggap keberadaannya sudah punah. Dahulu pemanfaatan jenis pohon ini dijadikan sebagai bahan pembuatan perahu karena kualitasnya yang diakui sangat bagus. Selain itu, banyak masyarakat yang menyadap getah pohon pelahlar nusakambangan dan diolah sebagai balsem pengawet mayat.    

Pada tahun 2016, selama satu tahun, Biologi Satu melakukan ekspedisi penelitian di Nusakambangan bertajuk “Survey populasi dan sebaran pohon Plahlar Nusakambangan” bekerjasama dengan Forum Pohon Langka Indonesia dan Fauna & Flora International. Mereka tidak hanya berhasil memperoleh data populasi pohon pelahlar, tapi juga mendapatkan data keanekaragaman hayati lainya seperti capung (Odonata), Kupu-kupu (Lepidoptera), bahkan menemukan jejak keberadaan mamalia besar seperti Macan Tutul Jawa, dan juga mendata keragaman jamur. 

Ekspedisi tersebut fokus dilakukan di bagian timur, bagian tengah dan bagian barat pulau Nusakambangan, yang berada di luar kawasan cagar alam. Khusus untuk pohon pelahlar, mereka berhasil mendata 110 individu pelahlar dengan dua individu di antaranya merupakan pohon dewasa. Sebaran populasi pelahlar ini paling banyak ditemukan di Nusakambangan bagian barat.

Pelahlar, tumbuhan endemik Nusakambangan. Foto: Kebun Raya Baturaden

Dengan adanya temuan survey populasi tersebut turut berkontribusi terhadap temuan-temuan sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Selain itu, data temuan mereka juga ikut memberikan kontribusi pada pemutakhiran penilaian status konservasi. Dalam daftar merah IUCN, Dipterocarpus littoralis atau pelahlar nusakambangan disebut terancam punah.

“Di Indonesia sendiri pohon ini juga diakui terancam dan sempat masuk dalam pohon yang dilindungi tapi dikeluarkan lagi statusnya,” kata Yusuf.

Salah satu penelitian tentang pelahlar nusakambangan dilakukan oleh Iyan Robiansyah. Menurutnya, pulau-pulau kecil seperti Nusakambangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian konservasi keanekaragaman hayati tanaman global. Namun seperti halnya di tempat lain, ancaman keanekaragaman tumbuhan di pulau-pulau terjadi karena berada di bawah tekanan akibat hilangnya habitat atau konversi habitat, peningkatan populasi, masuknya spesies asing invasif, pemanfaatan spesies asli secara tidak berkelanjutan, dan perubahan iklim. 

Selain itu, karena wilayah geografis yang kecil; jenis tumbuhan di pulau-pulau kecil lebih banyak sensitif terhadap perubahan lingkungan yang begitu cepat dibandingkan ekosistem lainnya. 

“Sensitivitas yang luar biasa dari tanaman di pulau-pulau tercermin dari tingginya jumlah kepunahan tanaman endemik di pulau kecil seperti Nusakambangan,” tulis Robiansyah. 

***

 

Exit mobile version