Mongabay.co.id

Rukmini Toheke, Penjaga Hutan Toro dan Pejuang Hak Perempuan Adat

 

 

 

Rukmini Paata Toheke menyambut saat saya mendatangi kediamannya di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah, akhir Juli lalu. Tokoh Perempuan Adat Toro ini merupakan tina ngata atau ibu kampung, Dewan Pimpinan Kampung di Komunitas Adat Toro yang berperan penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Kehadiran perempuan di komunitas ini memiliki legitimasi sosiologi dan kultural kuat untuk pelestarian lingkungan.

Kesetaraan perempuan dalam struktur sosial kemasyarakatan sudah ada sejak abad ke-18. Masa itu, persatuan antara rakyat, perempuan adat dan lembaga adat (totua ngata) menjadi senjata ampuh melawan colonial Belanda.

Rukmini mengatakan, Komunitas Adat Toro kaya pemikiran, gagasan, dan praktik-praktik budaya pengelolaan sumber daya alam, termasuk peran perempuan. Sejak lama, perempuan adat berperan penting dalam kehidupan kemasyarakatan, jauh sebelum wacana kesetaraan perempuan bergulir seperti sekarang.

Sayangnya, kata Rukmini, budaya Komunitas Adat Toro kerap mengalami pasang surut. Ada masa dimana pranata-pranata adat begitu hidup dan sangat dihargai. Ada juga masa keyakinan budaya Toro tergerus dan terpinggirkan dari pusaran perubahan sosial-politik di sekelilingnya. Terlebih, saat masa kolonial Belanda dan Orde Baru yang mengintervensi budaya paling asasi di komunitas adatnya.

Fenomena itu ditulis Rukmini di bukunya yang berjudul “Perempuan dan konservasi Perempuan dan konservasi: revitalisasi kultural peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam di komunitas.”

Buku itu, katanya,  cukup menggambarkan jelas bagaimana dampak dari terintegrasinya budaya lokal ke dalam struktur politik negara dampak kebijakan pembangunan yang korporatisme masa kolonial Belanda hingga Orde Baru.

“Saat itu, banyak praktik budaya hancur, banyak institusi lokal luntur, dan banyak pemikiran tentang pengelolaan sumber daya alam memudar,” kata Rukmini kepada Mongabay.

Padahal, katanya, jauh sebelum ada negara, Komunitas Adat Toro telah membangun dan memiliki kedaulatan serta otonomi luar biasa. Bahkan, hubungan antara Komunitas Adat Toro dan desa-desa lain membentuk federasi seperti “republik desa” yang bersifat informal dalam memenuhi kebutuhan politik dan pertahanan. Juga, sebagai wadah perekat antara sesama.

Pada 1905, Komunitas Adat Toro terhegemoni dengan model pemerintah Belanda yang lebih hierarki dengan membuat desa-desa menjadi kampung, sebuah unit paling rendah dalam pemerintahan kolonial Belanda.

Kondisi itu, katanya,  membuat kedaulatan lembaga adat ikut melemah dan terus berlanjut hingga pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru tak jauh berbeda dengan kolonial Belanda saat itu.

“Orde Baru membuat seperangkat peraturan dan kebijakan dengan klaim menghormati adat. Kenyataan di lapangan justru memandulkan fungsi adat dan menjadikan hanya hiasan untuk memperlihatkan keberagaman kebudayaan Indonesia.”

Di Orde Baru, banyak nilai kearifan lokal tentang pengelolaan sumber daya alam tergerus dan tergantikan modernisasi maupun kapitalisme negara. Atas nama kepentingan devisa negara, hutan adat dikuasai dan dieksploitasi masif.

Saat sama, perempuan Toro perlahan makin terpinggirkan karena kehadiran organisasi perempuan yang berkonotasi jadi aparatur ideologis negara seperti organisasi pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PPK) yang diketuai istri dari kepala desa.

Tak hanya itu, peran perempuan Toro dalam pengelolaan sumber daya alam tergantikan para petugas penyuluhan lapangan yang tidak langsung menggantikan tina ngata. Dia bilang, tak ada lagi ruang gerak yang cukup bagi perempuan Toro dalam kehidupan kemasyarakatan, padahal itu tidak dibenarkan secara adat.

Sebagai gantinya, tina ngata harus berkutat mengelola rumah tangga, anak, dan urusan-urusan domestik. Alih-alih memperbaiki kualitas hidup, peran perempuan terhimpit dengan otoritas laki-laki yang dominan, dan perempuan lebih banyak memegang posisi pinggiran serta pendengar.

Dia bilang, menyaksikan sendiri perempuan Toro tidak dihargai, bahkan kerap disalahkan kalau terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

 

Rukmini Paata Toheke, adalah tokoh Perempuan Adat Toro. Dia tina ngata atau ibu kampung di komunitas yang berada di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Sejak 1994, Rukmini mulai berjuang mengklaim ruang bagi perempuan adat, dengan menggali kembali peran penting perempuan adat yang telah direduksi negara. Tina ngata dulu memainkan fungsi penting dalam peradilan adat di Ngata Toro (Kampung Toro).

Dia juga menggali lagi makna dan konteks pobolia ada (perempuan sebagai penyimpan adat), pangalai baha (perempuan sebagai bagian dari pemutusan perkara), dan potavari bisa (perempuan sebagai pendamai).

Saat paradigma pembangunan mulai bergerak ke demokratisasi dan otonomi daerah masa reformasi, pemikiran mendefinisikan dan menghidupkan kembali tradisi Komunitas Toro ikut bergema. Termasuk, upaya menghidupkan tradisi kesetaraan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Rukmini bilang, saat itu gerakan perempuan Toro mulai bangkit lagi untuk menemukan jati diri kebudayaannya.

Akhir ‘1999-an, Rukmini berada di garda depan perjuangan melawan pihak taman nasional yang merebut wilayah adat mereka. Dia bersama para perempuan adat lain, terlibat negosiasi merebut kembali wilayah adat.

Pada 2001, dia bisa mengembalikan peran perempuan sebagai tina ngata. Ini gelar yang disematkan kepada perempuan yang dinilai bijaksana berperan sebagai pengayom dalam kehidupan sosial di kampung. Pengembalian peran tina ngata memberikan kemerdekaan bagi perempuan Toro.

“Pada Agustus 2001, momen paling berharga untuk perempuan Toro. Kita bisa merebut kembali peran perempuan Toro yang sudah ada sejak dulu, peran tina ngata yang dulu hilang, akhirnya kembali. Saat itulah, perempuan Toro merdeka,” kata Rukmini.

Saat sama, dia mendirikan Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro sebagai wadah menyuarakan hak-hak perempuan adat dalam berbagai forum. Dengan itu, dia menjadi pembicara nasional dan internasional. Seperti pembicara di Forum Permanen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Masyarakat Adat atau UNPFII, di Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), juga di Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (CBD).

Di kampungnya, dia juga mengorganisir perempuan adat untuk menyelenggarakan kongres pertama yang membahas isu gender dan perempuan adat. Lewat upaya itu, peran penting perempuan adat dalam berbagai aspek kehidupan, mulai bangkit. Termasuk, tradisi kain kulit kayu yang menegaskan kedudukan perempuan adat, terutama dalam ritual adat.

Dia pun masuk dalam 100 Most Influential Youth, Women, dan Netizen 2011, dari Masketeers. Pada 2012, Rukmini juga terpilih sebagai Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) periode 2012-2017.

Dia pun berhasil mendorong penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 42/2013 tentang Pedoman Peradilan Adat Sulteng yang mendorong kemerdekaan perempuan adat. Pada 2014, dia mendapat Indihome Women Awards 2014 untuk kategori pelestari alam dan adat.

Dia juga sudah membuat sekolah aman dan sekolah adat sebagai tempat mengajarkan bahasa daerah, pembuatan kerajinan tradisional, hukum adat, dan tradisi budaya. Juga, kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam untuk menjaga keseimbangan ekologi kepada generasi muda.

Dari karya dan dedikasi Rukmini, tak ada lagi dalih yang mengatakan perempuan adat di Ngata Toro, tak punya hak atas tanah atau wilayah kelola perempuan.

 

Hutan adat Ngata Toro. Di sini, tanaman tahunan seperti kako dan durian juga ikut di tanam.

 

Penjaga hutan

 Rukmini bilang, dengan kembalinya peran perempuan Toro, akan berdampak terhadap pengelolaan sumber daya alam di komunitas adat itu. Apalagi, Desa Toro,  berada di hamparan lembah yang dikelilingi Taman Nasional Lore Lindu dengan pegunungan serta dua barisan bukit.

Lingkungan dan hutan di sekitar akan terjaga, karena perempuan Toro merupakan penjaga hutan abadi.

“Salah satu peran perempuan Toro adalah penjaga hutan abadi. Apalagi, kampung kita ini dikelilingi taman nasional atau kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Perempuan Toro menjaganya.”

Desa Toro, memang desa unik. Memiliki luas sekitar 22.950 hektar dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, desa ini nyaris merupakan kawasan yang relatif terpisah dari desa-desa atau komunitas sekitar. Kalau dari Kota Palu, sekitar tiga jam sampai desa ini.

Masyarakat di sini mayoritas petani tradisional. Secara turun-temurun, mereka menggunakan hutan sebagai sumber penghidupan. Kebutuhan akan pangan mereka dicukupi dengan memanfaatkan hutan untuk berkebun (pobonea), menanam padi (pae), jagung (galigoa), rica (mariha) dan sayur-sayuran (uta-uta). Mereka juga dilarang pakai pestisida dalam bertani.

Di bawah tegakan pohon beberapa lahan untuk menanam kopi dan tanaman tahunan. Kayu (kau), rotan (lauro), damar (toga), pandan hutan (naho), bambu (walo), obat-obatan (pakuli-pakuli), wewangian (wongi-wongi), dan enau (tule) adalah beberapa jenis hasil hutan yang sering dimanfaatkan penduduk.

Setidaknya, ada delapan aliran sungai mengalir di sekitar desa ini, antara lain, sungai Sopa, Biro, Pangemoa, Alumiu, Pono, Bola, Mewe dan Kadundu.

Masyarakat Toro, merupakan suku asli Kulawi atau biasa disebut Komunitas Adat Toro ini adalah satu yang memiliki pranata, dan kelembagaan adat sangat kuat. Secara filosofi, di Kulawi secara umum dikenal penyebutan hintuwu (mengatur hubungan antara manusia dengan manusia), katuwuan (mengatur hubungan antara manusia dengan alam) dan petukua (mengatur hubungan dengan sang pencipta).

Komunitas Adat Toro memiliki sejarah panjang dengan lingkungannya, hingga memiliki sistem tersendiri dalam pemanfaatan sumber daya alam, terlebih menginternalisasikan peran perempuan sebagai pemegang otoritas kultural.

Perempuan, katanya,  berwenang merancang pekerjaan dalam pertanian, mendinginkan konflik dalam kampung, dan mengatur kerja-kerja pengelolaan sawah dan ladang, seperti menentukan kapan waktu tepat untuk panen.

Dalam praktik kehidupan bermasyarakat, tina ngata memegang peran dominan. Misal, setiap ada musyawarah kampung, harus dihadiri tina ngata. Tanpa kehadiran tina ngata, keputusan seperti tidak memiliki keabsahan kultural dan harus dibatalkan. Perempuan berperan kuat sebagai pengambil keputusan.

“Artinya, segala keputusan yang diambil lembaga adat (totua ngata) harus ada pertimbangan perempuan Toro. Jika tidak ada pertimbangan perempuan, keputusan tidak bisa dibuat. Peran perempuan menjadi penting dalam adat, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan menjaga hutan,” kata Rukmini.

Bagi Komunitas Toro, hutan merupakan urat nadi dan menjadi sumber kehidupan turun temurun sejak. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural yang kuat terhadap hutan. Hutan adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat.

Berdasarkan kearifan lokal, Komunitas Adat Toro membagi hutan dalam beberapa tingkatan atau kategori (zona) menurut pengetahuan dan pemanfaatan yang ditetapkan leluhurnya. Seperti,  wana ngkiki, yaitu zona hutan di puncak gunung didominasi rerumputan, lumut dan perdu. Zona ini tidak ada aktivitas manusia karena dianggap sumber udara segar (winara) orang Toro.

 

Rukmini Paata Toheke. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Ada juga wana, yaitu hutan primer yang menjadi habitat hewan, tumbuhan langka, dan zona tangkapan air atau sumber mata air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Wana hanya boleh untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan, serta rotan.

Selanjutnya, pangale, yaitu zona hutan semi-primer bekas yang pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun hingga berhutan kembali. Zona ini biasa dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dikembangkan menjadi lahan kebun dan persawahan.

Zona pangale, biasa untuk mengambil rotan, kayu untuk keperluan rumah tangga, serta pandan, bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian.

Ada juga zona pahawa pongko, campuran hutan semi-primer dan sekunder dengan pepohonan besar, yang ditinggalkan selama 25 tahun keatas hingga kondisi sudah menyerupai pangale. Pepohonan di zona hanya boleh diambil dengan keperluan terbatas, serta harus menyisakan dahan sebagai tunas pengganti dari dahan yang ditebang.

Ada zona oma, yaitu hutan belukar terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergulir. Lahan-lahan yang terdapat dalam zona ini merupakan areal yang sengaja diolah menurut urutan pergilirannya.

Kemudian zona balingkea, yaitu bekas kebun yang berkurang kesuburannya dan sudah harus diistirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini biasa masih bisa diolah untuk budidaya palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, rica, dan sayuran. Di zona inilah biasa Komunitas Toro bertani sawah (polidan).

Rukmini bilang, perempuan menjadi gerbang terdepan menjaga hutan di zona-zona yang dibuat secara kearifan lokal. Ketika ada penebangan pohon ilegal di zona-zona itu, perempuan Toro paling awal protes ke lembaga adat.

Dia bilang, akses kontrol atas pengelolaan sumber daya alam, perempuan Toro lebih tinggi.

Rukmini pernah protes ke lembaga adat atas orang-orang yang melakukan pengelolaan sumber daya alam tidak bijak. Bahkan, beberapa kali memberi sanksi kepada perusak hutan melalui musyawarah kampung.

Sebagai tina ngata, dia berperan penting dalam pengambilan keputusan dalam memberikan efek jera kepada perusak hutan. Kalau suara perempuan tak dihargai, sama dengan membiarkan hutan itu rusak.

“Menjaga hutan adalah menjaga kehidupan kami. Itu yang dipegang terus oleh orang Toro, termasuk perempuan. Perempuan Toro dikenal sebagai penjaga hutan abadi.”

 

 

 

******

 

 

Exit mobile version