Mongabay.co.id

PT Kallista Alam Cicil Ganti Rugi Kerusakan Lingkungan, Bagaimana Tanggapan LSM?

 

Setelah menjalani proses hukum yang panjang, PT Kallista Alam yang sebelumnya telah di vonis bersalah oleh pengadilan karena membuka lahan dengan cara membakar di hutan gambut Rawa Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, akhirnya membayar ganti rugi kerusakan lingkungan.

Kasus hukum membuka lahan perkebunan sawit dengan cara membakar dalam hutan gambut yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) oleh PT Kallista Alam, berawal dari laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada 11 April 2012 dan 26 Juli 2012. Hasil verifikasi dipastikan pembakaran lahan terjadi di wilayah perkebunan milik Kallista Alam.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2012 menggugat PT Kallista Alam secara perdata dan pidana ke pengadilan.

Atas kebakaran hutan dan lahan di lokasi perkebunan sawitnya, PT Kallista Alam diwajibkan membayar ganti rugi materiil berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 12/PDT.G/2012/ PN.MBO Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor: 50/PDT/2014/PT BNA Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 651 K/PDT/2015 Jo putusan Mahkamah Agung Nomor: 1 PK/Pdt/2017.

Pengadilan menghukum Kallista Alam membayar ganti rugi Rp114,303 miliar lebih dan pemulihan lingkungan sekitar 1.000 hektar dengan biaya Rp251,765 miliar.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani pada Jumat, 29 September 2023 mengatakan, ganti rugi yang telah dibayarkan PT. Kallista Alam sebesar Rp 57.151.709.500 adalah pembayaran awal atau 50 persen dari nilai ganti rugi lingkungan keseluruhan sebesar Rp114.303.419.000.

“Pelunasan Pembayaran Ganti Rugi selanjutnya akan dilakukan pada tanggal 18 November 2023,” ungkap Ridho.

 

Kondisi Rawa Tripa, setelah pohon ditebangi. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Baca juga: Tujuh Tahun Vonis, Mengapa Pengadilan Belum Bisa Eksekusi PT Kallista Alam?

 

Ridho menyebut pembayaran ganti rugi telah disetorkan ke penerimaan negara, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan melalui Sistem Informasi PNBP online dengan kode billing 820230831768782, tanggal billing 31-08-2023 dan tanggal pembayaran 04-09-2023 dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) KLHK.

“Pembayaran ganti rugi materiil oleh Kallista Alam dilakukan setelah melalui serangkaian proses panjang di Pengadilan Negeri Meulaboh yang kemudian didelegasikan ke Pengadilan Suka Makmue mulai dari permohonan eksekusi, pemberian teguran, pelaksanaan penilaian asset oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan koordinasi intensif dengan berbagai pihak,” sebut Ridho.

Disamping membayar ganti rugi lingkungan, PT Kallista Alam juga menyanggupi untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup secara mandiri terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1.000 hektar.

“Untuk pemulihan lingkungan hidup dimulai dengan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK pada tanggal 7 Agustus 2023, dan membayar uang paksa setiap hari atas keterlambatan pelaksanaan tindakan pemulihan lingkungan yang penghitungannya didasarkan atas kebijakan dan arahan dari Ketua Pengadilan Negeri,” sambungnya.

 

Kebun sawit milik PT Kallista Alam di Rawa Tripa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Baca juga: Vonis Bersalah Tak Hentikan Operasi PT Kallista Alam

 

Efek jera dan contoh bagi yang lain

Ridho juga mengungkapkan, KLHK akan menggunakan semua instrumen hukum baik penghentian, sanksi administratif, penegakan hukum pidana termasuk gugatan perdata agar ada efek jera dan mengembalikan kerugian lingkungan dan negara.

“Kami akan terus mengejar pelaku atau penanggungjawab usaha, termasuk mendorong percepatan eksekusi putusan pengadilan terkait gugatan perdata.”

Ridho berharap, komitmen pelaksanaan eksekusi putusan yang dilakukan PT Kallista Alam harus menjadi contoh bagi perusahaan lain untuk segera melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK menambahkan,  KLHK akan mengawal proses pemulihan lingkungan hidup terhadap lahan bekas terbakar yang dilakukan secara mandiri oleh PT Kallista Alam dengan melibatkan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya.

Berkaitan dengan gugatan perdata kasus kebakaran hutan dan lahan, Jasmin mengatakan, saat ini KLHK telah menggugat 22 perusahaan,  dari jumlah itu, 14 diantaranya telah berkekuatan hukum tetap dengan total nilai putusan sebesar Rp5.603.326.301.249 yang terdiri dari tujuh perusahaan dalam proses eksekusi dengan nilainya sebesar Rp3.049.591.266.200 dan tujuh perusahaan persiapan eksekusi sebesar Rp2.553.735.035.049.

“KLHK terus kejar pelaku kebakaran hutan dan lahan, pembayaran ganti rugi lingkungan oleh PT. Kallista Alam patut ditiru perusahaan lain yang telah berkekuatan hukum tetap,” tutup Jasmin.

 

Kebun Sawit PT Kallista Alam, perusahaanini dinyatakan bersalah Pengadilan Negeri Meulaboh karena membakar hutan gambut Rawa Tripa dan harus membayar ganti rugi kerugian. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tanggapan LSM

Yayasan Auriga Nusantara, HaKA, Satya Bumi, Greenpeace, dan Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup menilai, langkah yang diambil oleh KLHK ganjil dan tidak sesuai dengan putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Membayar ganti rugi dengan cara mencicil yang dilakukan Kallista Alam sangat aneh, karena putusan pengadilan tidak membuka ruang untuk itu, dan yang lebih aneh lagi, KLHK malah mengamini permintaan dari PT Kallista Alam tersebut,” kata Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara Roni Saputra (3/10/2023).

Mereka menduga tindakan ini sebagai upaya Kallista Alam lari dari tanggung jawab yang seharusnya sudah mereka lakukan 10 tahun yang lalu. Dimana telah 10 tahun pihak perusahaan mengingkari putusan pengadilan.

Menurut LSM lingkungan itu, KLHK sebagai representasi negara dalam menggugat, fokus dalam upaya melakukan lelang terhadap bangunan dan tanaman di atas tanah seluas 5.769 hektar seperti yang diperintahkan putusan pengadilan, serta membekukan atau mencabut perizinan berusaha dari PT Kallista Alam.

Sejak putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, PT Kallista Alam beberapa kali melakukan upaya menghalang-halangi proses lelang, mulai dengan mengajukan beberapa gugatan, menghambat proses penghitungan aset yang dilelang, hingga melakukan penjualan minyak sawit mentah.

Perihal pernyataan KLHK tentang uang paksa (dwangsom) yang dihitung setiap hari atas keterlambatan pelaksanaan tindakan pemulihan, Roni menyebut pernyataan ini secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi PT Kallista Alam.

“Penghitungan dwangsom dilakukan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, bukan keterlambatan atas tindakan pemulihan. Jadi jumlah yang harus dibayar oleh Kallista Alam, sudah bukan 366 milliar, tapi sudah lebih karena ditambah dengan biaya paksa Rp5 juta perhari,” sambung Roni.

Roni menilai, cicilan ganti rugi oleh Kallista Alam sebagai penghinaan terhadap putusan pengadilan, dan juga upaya negosiasi perusahaan agar asetnya tidak disita negara.

“Jika negosiasi berupa pembayaran ganti rugi secara bertahap dan menerima pemulihan mandiri yang ditawarkan oleh PT Kallista Alam diterima KLHK, untuk apa selama ini KLHK menempuh jalur hukum yang begitu panjang, dan telah menghabiskan uang negara begitu banyak,” pungkasnya.

 

***

Foto utama: PT Kallista Alam didenda oleh pengadilan sebesar Rp366 miliar atas kejahatan lingkungan yang dilakukannya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version