Mongabay.co.id

Transisi Energi, Perlu Perhatikan Masyarakat Sekitar Tambang Batubara

Kawasan hutan di sekitar Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumsel, dulunya merupakan koridor gajah. Kini menjadi wilayah eksplorasi batubara. Foto: David Herman-INFIS

 

 

 

 

 

Warga sekitar tambang batubara paling menderita penurunan kualitas lingkungan, kesehatan terganggu, maupun kehancuran ruang hidup. Kualitas air permukaan di sungai tercemar batubara. Air berubah berwarna gelap kecoklatan.  Aktivitas tambang batubara juga mempengaruhi air tanah warga yang tinggal di sekitar tambang batubara.  Saat transisi energi dari fosil seperti batubara ke terbarukan, perlu ada  perhatian pada mereka yang tinggal di sekitar area pertambangan.

“Sebelum ada tambang, sumber permukaan bagus. Pencemaran parah sejak 1990-an,” kata Martha Jesica, analis sosial dan ekonomi Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam pemaparan hasil penelitian bertema “Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia: Studi Kasus Muara Enim dan Paser,” September lalu.

Penurunan kualitas lingkungan ini juga berdampak pada kesehatan. Peneliti IESR menemukan banyak bayi maupun lansia menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).  ISPA, katanya, jadi penyakit umum yang dialami warga.

Penelitian, katanya, dilakukan di Kelurahan Tanjung Enim dan Desa Darmo, Muara Enim, Sumatera Selatan dan Desa Batu Kajang, Desa Samurangau, Paser, Kalimantan Timur. Lokasi penelitian dianggap mewakili desa terdampak tambang batubara.

IESR juga menyoroti keterbatasan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Mereka tak diterima bekerja di perusahaan lantaran tak memiliki keahlian dan sesuai budaya kerja.

Perusahaan, katanya,  mendatangkan para pekerja dari luar daerah. Kondisi ini, menimbulkan kesenjangan dan akumulasi kekayaan bagi pekerja pendatang.

“Alasan perusahaan, banyak pekerja lokal tak memenuhi performa, kinerja dan target,” katanya.

Mayarakat tempatan, katanya, sejak dulu hidup dengan berkebun dan bertani hingga tidak serta merta bisa mengikuti budaya perusahaan.

 

PLTU Batubara memberikan dampak menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibt debu mengandung logam berat dan beracun. Foto : Tommy Apriando

 

Masyarakat tempatan, tidak bekerja di perusahaan batubara,  tetapi pada kontraktor, sub kotraktor dan vendor perusahaan batubara. Mereka bekerja sebagai sopir, juru masak di perusahaan jasa catering, dan operator alat berat.

Selain itu, juga membuka lapangan bekerjaan di sektor informal mulai kotrakan, warung untuk memenuhi kebutuhan para pekerja tambang. Masyarakat lokal juga tambang rakyat legal dan ilegal, berdampingan dengan eksplotasi tambang perusahaan besar.

Tambang rakyat, katanya, terbuka untuk penduduk lokal karena tidak dibatasi pendidikan dan usia.

“Lulusan SD juga bisa  bekerja. Mereka memindahkan batubara ke karung.”

Dampak lain, peneliti  IESR menemukan masyarakat lokal mengikuti budaya konsumerisme. Juga timbul persoalan sosial lain seperti premanisme, prostitusi dan narkotika.

Perusahaan tambang batubara berkotribusi terhadap perekonomian lokal. Pemerintah daerah bergantung dana bagi hasil (DBH) berupa pajak dan royalti batubara. Dana ini di Muara Enim sekitar 20% dan Paser 27% dari APBD.

“Sebagain besar untuk operasional, jika DBH turun maka akan berpengaruh terhadap operasional pemerintah daerah,” katanya.

Sedangkan pemerintah daerah perlu biaya operasional lebih untuk transisi energi. Namun, wewenang dan anggaran transisi energi terbatas.

 

Nelayan terdampak dengan ada PLTU batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Bergantung batubara?

Julius Christian ,  Manajer Riset IESR menjelaskan, tambang batubara juga berkontribusi terhadap pendapatan domestik regional bruto (PDRB) di Muara Enim sebesar 50% dan Paser 70%.

Dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan PDRB di Paser 0,6% dan Muara Enim 7,4%. Namun, kenaikan PDRB tidak langsung memberikan nilai tambah terhadap upah buruh.

Nilai tambah atas surplus tambang batubara sekitar 78%, katanya,  untuk perusahaan dan 20% untuk pekerja.

Sedang fasilitas kesehatan dan pendidikan, di sekitar lokasi tambang batubara tak merata. Sebanyak 20 kecamatan hanya tiga memiliki lembaga pendidikan setara SMA. Penunjang pendidikan, katanya, juga  belum mencukupi.

Angka pengganda ekonomi yang diciptakan sektor pertambangan, katanya, juga bukan yang tertinggi, baik pendapatan maupun kesempatan pekerja. Justru,  multiplier diciptakan sektor jasa, perdagangan dan pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan sektor batubara.

Pertambangan batubara, katanya,  berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia 3,6%, dan nilai ekspor 11,4%. Dengan penerimaan negara 1,8%, menyerap tenaga kerja 0,2%.

Produksi batubara, katanya, alami peningkatan sembilan kali lipat sejak 2000.  Pada 2000, produksi batubara kurang 80 juta ton, pada 2022 mencapai 700 juta ton.

Sekitar 90% produksi batubara untuk ekspor, memenuhi permintaan negara Tiongkok, India, dan sejumlah negara di ASEAN, salah satunya, Vietnam.

Sedangkan negara pengimpor batubara tengah menargetkan capaian net zero emissions. Tiongkok menargetkan 2040 menurunkan konsumsi batubara sampai 75%.

Sedangkan India target 2070, dengan mengurangi bauran energi batubara pada pembangunan listrik sampai 50% pada 2031. India akan mengurangi impor dan meningkatkan produksi domestik.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan strategi jangka panjang penurunan emisi karbon dan ketahanan iklim 2050 (long-term strategy on low carbon and climate resilience (LTS-LCCR) 2050. Bauran energi primer pada 2050, batubara 34%, gas 25%, BBM 8%, energi terbarukan 33%. Dengan begitu, katanya, penggunaan batubara turun jadi 205 juta ton dari semula 293 juta ton.

Peraturan Presiden Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik mengatur setop operasional PLTU batubara. Pemerintah juga menyusun peta jalan pensiun dini PLTU berbahan bakar batubara ini. Dengan program hilirasisasi, pemerintah  harapkan konsumsi batubara pada 2050 terus turun jadi 33 juta ton.

 

Kerusakan ekologi dampak pertambangan. Ini salah satu pertambangan batubara di Lahat, Sumsel. Mencemari sungai dan munculkan masalah ekologi. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Ekonomi masyarakat lokal

Kalau produksi tambang batubara turun, bagaimana ekonomi masyarakat yang selama ini andalkan bahan baku energi fosil ini? Masyarakat, kata Julius, menyadari batubara tak bisa ditambang selamanya hingga mulai berpikir mencari lapangan pekerjaan baru.

Hasil penelitian menunjukkan,  masyarakat lokal mulai beralih ke sektor perkebunan sawit dan karet.

Sedangkan perusahaan batubara memiliki kewajiban inisiasi sektor baru dengan mengembangkan pariwisata Muara Enim dengan membangun  waterpark, dan botanical garden.

Perusahaan batubara juga menyalurkan dana tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) di Muara Enim  Rp 120 milar  dan Paser Rp50 miliar.

IESR merekomendasikan saat transisi energi, dana CSR bisa untuk peningkatan infrastruktur kesehatan dan pendidikan.

Selama ini,  di Muara Enim, sebagian dana CSR untuk program pemerintah atau rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) non APBD. “Agar lebih terarah. Bukan untuk santunan dan sumbangan yang tak tepat sasaran.”

Selain itu, perlu dibentuk pool fund atau skema pengumpulan dana rehabilitasi pasca tambang atau reklamasi. Tujuannya, agar bekas tambang batubara,  bisa direklamasi seperti buat perkebunan karet.  Pengusaha tambang, patungan untuk dana celengan ini.

Hal lain, katanya, mempermudah akses publik untuk berpartisipasi dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Terutama kelompok minoritas seperti, disbilitas, dan perempuan musrenbang. Ada kuota keterwakilan kelompok marjinal.

Uka Wikarya,  Head of Regional and Energy Resources Policy Research Group-Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universtas Islam, merekomendasikan pemerintah menyiapkan beberapa langkah.

Untuk jangka pendek, pengusaha lokal bisa menangkap uang yang mengalir dari belanja pekerja dan vendor secara sebesar-besaran. ”Jangan sampai uang banyak ditransfer keluar kawasan tambang,” kata Uka.

Sedangkan pemerintah dan perusahaan harus membina pengusaha lokal. Mulai membina perdagangan, penginapan, persewaan mobil dan usaha lain. Usaha binaan, katanya, bisa dari dana CSR.

“Jangka panjang dengan menyiapkan ketahanan sumberdaya manusia.” Perlu pula dikembangkan usaha kecil menengah (UKM) independen  yang gunakan sumberdaya lokal yang dibudidayakan untuk kebutuhan lokal dan luar daerah, seperti pengembangan sektor pariwisata.

Verania Andria, Senior Adviser for Renewable Energy Strategic Programme UNDP/ Ketua Just Transition Working Group (JETP) Indonesia mengatakan, kalau ada guncangan ekonomi maka kelompok paling rentan adalah pekerja informal tidak permanen dan kelompok marjinal.

Kelompok yang tidak terlindungi jaminan sosial, kelompok berdasar status sosial, ekonomi dan kesehatan.

“Perlu kompensasi, dan perlindungan sosial yang diembankan,”katanya.

 

Bentang alam di wilayah Sehile yang dulunya hutan dan perkebunan rakyat kini menjadi danau pasca aktifitas pertambangan batubara. Foto: David Herman-INFIS

 

Hambatan

Sementara Dedi Rustandi,  Perencana Ahli Madya, Kordinator Energi Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, transisi energi akan menghadapi tantangan dan hambatan.

Dia ambil satu contoh saja, Peraturan Menteri ESDM Nomor 50/2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Dalam permen itu,  energi terbarukan diminta berkompetisi dengan energi lain seperti batubara yang mendapat kompensasi. “Miris terbit Permen ESDM ini, justru energi terbarukan tidak bisa berkompetisi,” katanya.

Kemudian, RPJMN akan mengimplementasikan dalam kebijakan energi nasional  dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Sedangkan kebijakan daerah sektor energi kurang karena keterbatasan dalam regulasi dan dana.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menuturkan, studi transisi energi berkeadilan merupakan pertama di Indoensia. Sejak 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Perpres 112/ 2022 yang menghentikan operasional PLTU pada 2050.  Lalu, mengamanatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyusun peta jalan pengakhiran PLTU.

“Permintaan batubara akan melandai setelah 2030, secara bertahap. Nilai paling rendah pada 2050,” katanya.

Transformasi energi, harus serius ditangani lantaran sumbangan industri ekstraktif dan lapagan kerja perlu bertransformasi pasca ekstraktif turun.

Nizhar Marizi, Direktur Sumber Daya Energi Mineral dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, pemerintah menyiapkan kebijakan transformasi ekonomi menuju intervensi ekonomi hijau redah karbon dan berketahanan iklim.

Harapannya, tak hanya mewujudkan ekonomi juga mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan menurunkan emisi gas rumah kaca.

Dalam kaitan transisi energi, katanya, pemerintah mengkaji perangkat kebijakan dan strategi untuk mengantisipasi dampak pemanfaatan batubara. “Terbuka masukan dan rekomendasi stakeholder. Juga, bekerjasama dengan pengalaman negara lain dalam merumuskan strategi.”

 

Lubang bekas tambang batubara di hulu Desa Perangai, Lahat, Sumsel. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version