Mongabay.co.id

Studi: Intensitas dan Durasi Gelombang Panas Meningkatkan Perpindahan dan Kematian Spesies di Laut

 

Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa gelombang panas laut bertahan lebih lama di perairan yang lebih dalam, sehingga meningkatkan kemungkinan perpindahan atau kematian spesies.

Gelombang panas laut, yang didefinisikan sebagai fenomena di mana suhu laut naik ke tingkat ekstrem dan tetap stabil selama setidaknya lima hari, terjadi semakin umum karena perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global.

Lautan menyerap sejumlah besar panas yang dibuat manusia. Laporan penilaian keenam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim PBB memperkirakan antara tahun 1971 dan 2018, laut menyerap sekitar 396 zettajoule panas, setara dengan energi dari sekitar 25 miliar bom atom Hiroshima.

Penyerapan panas ini mengakibatkan pemanasan secara umum pada lautan secara global. Sebuah analisis menunjukkan bahwa tahun 2022 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat di lautan. Dengan pola iklim El Niño yang terjadi pada tahun ini, tahun 2023 diperkirakan akan lebih panas lagi.

Meskipun gelombang panas laut dapat berdampak pada bagian manapun di lautan, wilayah tertentu pernah mengalami gelombang panas laut yang lebih hebat dibandingkan wilayah lainnya.

Salah satu gelombang panas laut terburuk, -dikenal sebagai “The Blob,” pernah terjadi di Samudra Pasifik bagian utara antara tahun 2015-2016, yang mengganggu seluruh jejaring rantai makanan di wilayah tersebut.

 

Hiu di perairan Hawaii. Intensitas dan durasi gelombang panas laut dapat berdampak luas terhadap keanekaragaman hayati laut, sehingga meningkatkan kemungkinan perpindahan dan kematian spesies. Foto Kimberly Jeffries/Ocean Image Bank

 

Baru-baru ini, perairan di sekitar Inggris dan Eropa mengalami kenaikan suhu setinggi 5° Celsius di atas normal, yang merupakan suhu terpanas yang pernah dialami kawasan ini dalam 170 tahun.

Sebagian besar informasi yang diketahui tentang gelombang panas laut berfokus pada permukaan laut dan lapisan atas karena sebagian besar pengumpulan data terjadi di bagian ini.

Namun studi baru yang diterbitkan di Nature Climate Change menunjukkan bahwa panas juga terjadi ke bagian laut yang lebih dalam, sehingga berpotensi berdampak pada keanekaragaman hayati laut dengan berbagai cara.

Sebuah tim peneliti mempelajari data dan analisis ulang suhu laut global dari tahun 1993 hingga 2019 untuk menilai kejadian gelombang panas laut di sebagian besar lautan, –dari permukaan hingga kedalaman 2.000 meter (sekitar seperempat tinggi Gunung Everest).

Mereka menemukan bahwa lautan mengalami gelombang panas paling hebat di kedalaman perairan antara 50 hingga 250 m, di mana sebagian besar keanekaragaman hayati laut dapat ditemukan. Menurut penelitian ini, di bawah kedalaman ini dan hingga sekitar 2.000 m, intensitasnya berkurang. Namun, durasi gelombang panas laut meningkat dua kali lipat dibandingkan di permukaan.

Bagian laut yang berbeda ternyata bereaksi dengan cara yang berbeda. Misalnya, para penulis mencatat bahwa selama peristiwa panas di timur laut Samudra Pasifik antara 2019-2020, perubahan salinitas menyebabkan “peningkatan stratifikasi” – yaitu, pemisahan air menjadi beberapa lapisan berbeda – dan hal ini membatasi air yang lebih hangat dari biasanya untuk masuk ke laut lebih dalam.

Di wilayah tropis bagian barat Pasifik, berbagai faktor oseanografi, termasuk turunnya permukaan air yang hangat, menyebabkan gelombang panas laut mencapai wilayah yang lebih dalam.

 

Sekelompok hiu paus di Western Australia’s Ningaloo reef. Foto : Simon J Pierce/PA

 

Di bagian tenggara Australia, peristiwa downwelling (pergerakan fluida ke bawah, yang terjadi di laut) menyebabkan pemanasan di permukaan bagian  bawah. Namun, suhu permukaan laut tidak menunjukkan bahwa pemanasan tersebut sedang terjadi saat ini.

Penulis utama dalam studi tersebut, Eliza Fragkopoulou, seorang peneliti di Centre of Marine Sciences (CCMAR) di Portugal, mengatakan penelitian ini memberikan gambaran awal tentang gelombang panas laut di perairan yang lebih dalam.

“Jika gelombang panas berulang di wilayah yang sama, populasi akan terus-menerus mengalami tekanan. Kita mungkin akan kehilangan total ekosistem, karena kematian massal dan kehancuran ekosistem. Gelombang dan tekanan panas juga dapat mengubah distribusi spesies. Jadi spesies dapat berpindah tempat saat mereka mencoba mencari perlindungan di perairan yang lebih dingin, yang tentu saja dapat berdampak langsung pada ekosistem dan kita sebagai manusia,” jelas Fragkopoulou kepada Mongabay.

Dia menyebut penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memantau dan memahami dengan lebih baik fenomena ini serta dampaknya terhadap keanekaragaman hayati. Dia memperkirakan gelombang panas laut akan meningkat dan semakin intensif di tahun-tahun mendatang.

“Semua model proyeksi masa depan kami menunjukkan bahwa kita akan terus memanaskan lautan global, sehingga gelombang panas laut akan menjadi lebih intens dan bertahan lama,” lanjutnya.

Dillon Amaya, seorang peneliti dan ilmuwan fisika di Physical Sciences Laboratory, NOAA Earth System Research Laboratories, yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan penelitian tersebut menggambarkan pentingnya pengamatan yang terjadi di permukaan bawah.

“Dalam banyak kasus, dampak gelombang panas laut terhadap ekosistem tidak hanya berakar pada intensitas suatu peristiwa, namun juga durasinya. Peristiwa hangat yang berlangsung dalam jangka waktu lama bisa lebih berdampak dibandingkan peristiwa hangat yang berlangsung relatif singkat,” pungkasnya.

 

Tulisan asli: As oceans warm, marine heat waves push deep beneath the surface, study shows. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Referensi:

Fragkopoulou, E., Sen Gupta, A., Costello, M. J., Wernberg, T., Araújo, M. B., Serrão, E. A., … Assis, J. (2023). Marine biodiversity exposed to prolonged and intense subsurface heatwaves. Nature Climate Change, 13(10), 1114-1121. doi:10.1038/s41558-023-01790-6

 

 

 

 

Exit mobile version