Mongabay.co.id

Aksi Mahasiswa Bantu Masyarakat Kelola Sampah di Sumenep

 

 

 

 

Sampah masih jadi masalah yang tak kunjung usai di Sumenep, Madura. Seperti terjadi di Desa Marengan Laok, Kecamatan Kalianget, merupakan satu dari sembilan desa terkumuh di Sumenep, sejak 2014. Di sana, sungai mampet karena sampah, begitu juga saluran-saluran irigasi. Sampah plastik dan popok bayi tak sulit ditemui di sepanjang Kali Marengan yang melintasi desa itu.

Para mahasiswa yang kuliah lapangan atau kuliah kerja nyata (KKN) dari Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Guluk-guluk, Sumenep, menginisiasi penanganan sampah plastik di desa itu dengan membangun laboratorium sampah.

Mereka membangun tempat pengumpulan dan pemilahan sampah sederhana di desa itu pakai bambu dan kayu bekas. Sampah-sampah itu diubah jadi paving block setelah melalui proses pemilihan.

Mereka bikin pembakaran sederhana dengan tong dan besi cor.

Syaiful Bahri, peserta KKN Tematik Lingkungan di Desa Marengan Laok, mengatakan bahwa prototipe laboratorium sampah itu meniru prototipe yang ada di pondoknya, Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa, yang dikelola oleh UPT Jatian.

 

Hasil daur ulang plastik. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Di Marengan Laok juga dibuat Unit Pelaksana Teknis (UPT), UPT Abhinar, untuk bisa menindak lanjuti program mereka meski masa KKN mereka selesai.

Di UPT Jatian, mereka sudah jadikan sampah pupuk organik dan kerajinan tangan.

Dasuki Wahyudi,  Kepala Desa Marengan Laok, mengapresiasi inisiatif para peserta KKN ini karena pengelolaan sampah yang desa itu butuhkan.

Dia bilang, di desa tempat pembuangan sampah pindah-pindah dan tak terkelola. Sampah yang tertumpuk dibakar. Sejak dilantik jadi kepala desa awal 2015,  mereka sudah lakukan berbagai upaya untuk menangani sampah.

Lahan yang jadi tempat laboratorium sampah kali itu masih pinjam, nanti akan pindah ke tempat strategis. Dasuki juga masih  mengharapkan tempat sampah  reduce, reuse, dan recycle  (3R) dari pemerintah daerah untuk makin bisa mengintegrasikan pengelolaan sampah di desanya.

“Saya pengennya menyeluruh, maka kemarin adik-adik itu sebelum masuk (untuk KKN di desa itu) kita sempatkan bicara dalam satu forum,” katanya.

 

Para mahasiswa KKN yang sedang membersihkan sampah plastik di sekitar anak sungai. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Ada sembilan posko KKN Tematik Lingkungan Instika yang  tersebar di berbagai desa dengan program-program serupa, yaitu, bergerak dalam bidang lingkungan.

KKN Posko 28 di Desa Ellak Laok, Kecamatan Lenteng, Sumenep, misal, mereka angkat tema gerakan sadar sampah melalui pendampingan pengelolaan ternak dan plastik.

“Kita mewadahi, mendatangkan pelatih, tambah beberapa bahan,” kata Subna El Hasanah, Ketua posko 28.

Mata pencaharian warga Ellak Laok mayoritas petani dan peternak sapi. Mereka tak biasa mengelola kotoran ternak untuk jadi pupuk organik. Biasa, mereka akan membakar lalu memasang tanaman, kadang pindahkan langsung dari kandang ke lahan-lahan pertanian mereka.

Mahasiswa KKN ini mengenalkan pembuatan pupuk organik dengan bahan dasar kotoran hewan ternak. Dalam tahap perkenalan pupuk kompok (pupuk organik) kepada warga, pupuk masih diproduksi terbatas sebagai percontohan.

“Mau dipakai untuk pertanian santri, baru dicoba, ada program santri bertani,” kata Subna.

Orang-orang yang dilatih untuk pembuatan pupuk organik adalah para santri putra dan tetangga terdekat pesantren tempat mereka tinggal saat KKN dan para kepala dusun di Desa Ellak Laok.

 

TPS Marengan Laok. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

Desain KKN ramah lingkungan

Paisun, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyrarakat (LPPM) Instika, mengatakan,  program KKN tematik lingkungan ini bagian dari KKN integratif. Mereka mendesain KKN ini jadi empat model yaitu KKN kolaborasi dengan empat perguruan tinggi, KKN reguler sesuai prodi masing-masing. Lalu, KKN tematik terdiri dari tema lingkungan dan literasi, lalu KKN pesantren. Jadi, baru Sembilan dari 55 posko KKN merupakan KKN lingkungan.

Dia bilang, memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk memilih model KKN hingga program kerja mahasiswa lebih terarah dan punya dampak kepada masyarakat.

“Mereka bekerja karena menyenangi apa yang dikerjakan,” katanya.

Mahasiswa yang ingin bergabung dalam KKN tematik lingkungan, harus menyurvei lokasi terlebih dahulu, mendalami masalah lingkungan hidup apa yang terjadi di desa yang akan ditempati KKN. Mereka diminta membuat proposal dan dipresentasikan.

Berdasarkan survei mahasiswa, rata-rata masalah masyarakat sejauh itu adalah sampah hingga peserta KKN banyak melibatkan diri dalam penanganan sampah.

Bila ada kendala di tengah jalan, mahasiswa bisa mengubah program kerja, tak sama dengan dalam proposal. Pada minggu pertama, mereka akan ditinjau oleh dosen pendamping lapangan.

DPL yang dipilih oleh kampus adalah dosen yang punya kemampuan di bidang lingkungan hidup, terutama aktivis lingkungan.

“Karena untuk tematik lingkungan, misal, gak cukup hanya dalam bentuk pelatihan, gak cukup. Kalau hanya pelatihan satu kali, impact-nya gak kerasa. Butuh proses lebih panjang.”

Agar program yang diinisiasi mahasiswa KKN ini berkelanjutan, mereka harus membuat kader di tempat KKN-nya. Selain itu, kampus juga akan jadikan desa tertentu yang memenuhi kriteria dan setelah dievaluasi akan jadi desa binaan di bawah LPPM Instika.

“Sebagai desa binaan, kita akan bekerja sama dengan pihak desa, hingga keberlanjutan. Program itu bisa tetap dipantau dan setiap tahun akan kirim KKN dengan minat sama bidang lingkungan untuk menjaga keberlanjutan program itu,” kata Paisun.

 

 

Pupuk organik dengan bahan dasar kotoran sapi dalam proses fermentasi. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version