Mongabay.co.id

Aksi Adaptasi Multipihak: Menurunkan Kerentanan Kelompok Marginal

Perubahan iklim paling tidak memiliki dampak negatif terhadap empat kepentingan pokok masyarakat di seluruh dunia, yaitu water (ketersediaan air bersih), food (kecukupan pangan), health (gangguan kesehatan), dan energy (sumberdaya penggerak ekonomi). Kerugian material dan kerusakan ekosistem, infrastruktur, dll. akibat perubahan iklim menjadi tantangan utama bagi kelompok marginal di banyak negara, khususnya di negara2 berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu diperlukan strategi adaptasi yang efektif dan murah.

Dunia saat ini masih tertinggal dari perubahan iklim. Meskipun kita telah mencapai kemajuan besar sejak disepakatinya Perjanjian Paris pada tahun 2015, namun masih terdapat kegagalan dalam banyak hal. Sejak diadopsinya UNFCCC pada tahun 1994, konsentrasi CO2 di atmosfer telah meningkat sekitar 50%, yaitu dari 358 ppm (part per million)  pada tahun 1994 menjadi 421 ppm pada tahun 2022.

Kemajuan yang telah dicapai sejauh ini, dan potensi UNFCCC untuk mewujudkannya hasil di masa depan tampaknya masih belum menggembirakan. Kurangnya komitmen pemerintah di seluruh dunia tampaknya menjadi bagian dari kegagalan ini. Laporan implementasi NDC Global yang dikeluarkan Sekretriat UNFCCC mnyatakan bahwa penurunan rata-rata suhu global di bawah 20 C kemungkinan tidak akan tercapai jika negara-negara pihak tidak memberikan perhatian yang memadai dan tidak menunjukkan kemauan yang lebih besar untuk meningkatkan ambisinya.

Kerja sama regional perubahan iklim, terutama di kawasan Asia Tenggara dan negara-negara di wilayah Selatan, sangat penting dalam perjuangan kolektif melawan perubahan iklim. Wilayah-wilayah ini sering kali terkena dampak lebih buruk dibandingkan wilayah lainnya, mulai dari naiknya permukaan air laut hingga kejadian cuaca ekstrem yang secara tidak proporsional berdampak pada masyarakat rentan.

 

Solusi Inovatif

Dengan mendorong kolaborasi, berbagi pengetahuan, dan pengumpulan sumber daya, sesungguhnya dapat dikembangkan solusi inovatif untuk melakukan tindakan mitigasi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim secara efektif. Negara-negara berkembang dapat memperoleh manfaat dari keahlian teknis dan sumber daya keuangan negara-negara maju, sementara negara-negara maju dapat belajar dari ketahanan dan praktik berkelanjutan yang dilakukan negara-negara berkembang.

Kemitraan negara maju dan negara berkembang bukan hanya sekedar mengatasi permasalahan lingkungan, namun juga mendorong pembangunan yang adil, mengentaskan kemiskinan, dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi semua orang. Tantangan global menuntut solusi global, dan kerja sama regional merupakan langkah penting dalam mencapai dunia yang lebih berketahanan iklim dan berkelanjutan.

baca : Kekeringan dan Bencana Iklim: Menakar Aksi Adaptasi dan Ketahanan Iklim di Indonesia

 

Masyarakat nelayan gurita di Pulau Lanjukang Kota Makassar menunjukkan hasil tangkapan. Perubahan iklim telah menyebabkan hasil tangkapan gurita dan ikan berkurang, sehingga masyarakat di Pulau Langkai dan Lanjukang melakukan buka-tutup kawasan untuk keberlanjutan, sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Adaptasi yang terencana (Planned Adaptation)

Bentuk adaptasi perubahan iklim yang menjadi sasaran dari kolektivitas komponen-komponen adalah  terwujudnya sistem dan kebijakan adaptasi yang massif dan terencana (planned adaptation). Pendekatan ini muncul sebagai respon dampak perubahan iklim terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta pengaruhnya terhadap dimensi kehidupan. Artinya begitu besar tantangan yang harus dibenahi yang membutuhkan upaya luar biasa, mulai dari rencana pembangunan, dukungan pendanaan dan teknologi yang implementatif.

Pemetaan terhadap tingkat kerentanan dan prioritas aksi adaptasi merupakan  kebutuhan mendesak sebelum melakukan aksi adaptasi yang masif sambil melakukan Langkah-langkah pengurangan risiko bencana. Aksi ini untuk mengurangi kerugian yang lebih besar dan keterlambatan dalam mengantisipasi ancaman dampak negatif terhadap sistem fisik dan biologis lingkungan.  Pada sisi lain, langkah ini merupakan peluang dalam memperkuat rancangan kebijakan, program dan kegiatan ke arah yang lebih ‘hijau’ dan memastikan pertumbuhan ekonomi tetap pada jalur yang ramah lingkungan dan mendukung emisi nol bersih di masa dating.

Selanjutnya, dukungan inovasi dan teknologi dalam aksi adaptasi menjadi bagian penting dalam mengantisipasi ancaman dan dampak perubahan iklim. Oleh karena itu maka pemetaan kebutuhan teknologi adaptasi menjadi  langkah mendesak dan prioritas. Dalam hal ini teknologi adaptasi tidak harus dimaknai sesuatu yang canggih (sophisticated), namun lebih kepada kelayakan untuk menjawab persoalan dan mampu dikelola dan dilakukan masyarakat marginal.

Aksi adaptasi juga perlu dilakukan berdasarkan skala kebutuhan yang beragam, mulai dari keperluan data/informasi iklim sampai pada teknologi tepat guna yang dapat langsung dimanfaatkan untuk merespon ancaman dan dampak perubahan iklim oleh masyarakat marginal. Selain itu, lingkup sektor yang luas dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi membutuhkan pendekatan teknologi yang soft dan hard.

Teknologi adaptasi juga terkait dengan riset, inovasi dan pengembangan yang membutuhkan sumber pendanaan yang besar.  Namun hasil dan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungannya akan dirasakan langsung oleh masyarakat marginal. Kemampuan menghadirkan teknologi dalam aksi adaptasi ditentukan oleh tingkat kemampuan setiap negara. Terkait dengan isu transfer teknologi, yang menjadi krusial adalah bagaimana mengembangan kapasitas masyarakat lokal sehingga seluruh komponen masyarakat termasuk petani, para pelaku usaha dan pemerintah dapat merancang dan membuat teknologi adaptasi tepat guna yang dapat dikembangkan dalam ekonomi domestik.

baca juga : Menggapai Indonesia Bersih 2045

 

Seorang anak bermain di kawasan yang terendam banjir di Jakarta Utara, pada November 2020. Foto : shutterstock

 

Memperkuat Modalitas Saat ini

Telah banyak ragam kegiatan berbasis masyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh komunitas melalui dukungan pendanaan dari donor yang bekerja sama dengan organisasi Masyarakat sipil, dan pemerintah serta melalui pendanaan desa, bahkan swadaya dan pembiayaan dari entitas bisnis.

Alasan yang disampaikan melalui pendekatan berbasis masyarakat ini, masyarakat mampu untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kerentanan, mendefinisikan persoalan, rancangan solusi dan implementasinya. Varian dari strategi pendekatan adaptasi salah satunya adalah adaptasi berbasis komunitas yang mengakui bahwa pemahaman lingkungan dan ketahanan terhadap perubahan iklim terkumpul di dalam masyarakat dan budayanya. Oleh karenanya, fokus perhatian ditekankan terhadap penguatan komunitas untuk mampu bertindak terhadap kerentanan perubahan iklim berdasarkan proses keputusan yang mereka buat sendiri.

Namun tentunya dukungan penguatan kapasitas dan kelembagaan menjadi kunci terwujudnya keberlanjutan. Oleh sebab itu adanya kegiatan yang menyeluruh guna menciptakan fungsi yang optimal adalah keharusan. Langkah ini dilakukan melalui identifikasi yang tepat agar intervensi yang dilakukan juga relative tepat. Misalnya sejauhmana aksi adaptasi telah dilakukan? Kegiatan mana yang belum dilakukan? Dan mana yang dianggap prioritas namun belum dilakukan? Adanya informasi ini sangat membantu para pihak untuk memastikan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan akan sebanding dengan hasil yang diharapkan. (***)

 

*Ari Mochamad, Program Director Climate Change and Circular Economy, Save the Children-Indonesia

**Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Indonesia, UNITAR Climate Change Ambassador

Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version