Mongabay.co.id

Widie Nurmahmudy, Dedikasikan Diri Jaga Budaya dan Alam Lewat Sekolah Adat

 

 

 

 

 

 

 

Beberapa orang sibuk membangun pondasi rumah warga di Kampung Papring, Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, hari itu. Ada yang angkat batu, aduk perekat batu, pasang batu, ukur batas pondasi, dan lain-lain.

Hari itu,  bukan hari libur sekolah tetapi di sana terlihat anak usia sekolah dasar ikut mengerjakan pekerjaan ringan. Seorang anak sesekali angkat batu ukuran sedang untuk pondasi. Sesekali ambil adonan perekat batu.

Widie Nurmahmudy,  terus memperhatikan anak itu. Dia menghampiri dan bertanya. “Gak sekolah?”

Enggak, om.”

Widie mencoba lebih dekat dan menanyakan alasan. Wajah anak itu sontak sedih dan bercerita.

“Orang tua saya kadung trauma karena dua kakak saya, setiap pulang sekolah dengan wajah sedih. Tak jarang, pulang dalam keadaan benjol.  Dikatain miskin, tinggal di hutan, dekat dengan anjing bahkan dapat kekerasan. Katanya, guru juga pernah bilang kata-kata kayak itu.”

Widie pulang ke rumah dengan pikiran gelisah. Dia tak terima dengan keadaan ini. Dia berpikir, harus ada konsep pembelajaran khusus guna merangsang masyarakat terus sekolah dengan rasa aman dan gembira.

Kejadian sekitar 2013 itu terekam jelas di benak Widie. Kondisi itulah yang mendorong dia menggagas Sekolah Adat Kampoeng Baca Taman Rimba atau Batara.

 

 

Baca juga:  Cerita dari Kampoeng Batara, Sekolah Adat Berbasis Konservasi di Banyuwangi

 

 

Sekolah Adat Kampoeng Batara

Dia riset perihal kondisi pendidikan di sekitar tempat tinggalnya. Dua tahun berselang, tepat 30 Oktober 2015, Kampoeng Batara secara identitas muncul ke permukaan. Ia merupakan sekolah adat berbasis konservasi di sebelah timur kaki Gunung Raung.

“Dalam analisis saya. Anak-anak yang putus sekolah karena masalah ekonomi, kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan di tengah-tengah masyarakat dan terjebak pola pikir ‘sekolah ujung-ujungnya cari kerja, lebih baik kerja dari sekarang.’  Yang paling membuat saya sedih, diskriminasi yang dialami anak itu,” katanya  kepada Mongabay.

Perlakuan berbeda itu disinyalir karena dua penyebab. Pertama, anak-anak rata-rata punya latar belakang kemiskinan secara ekonomi. Kedua, anggapan dekat dengan anjing karena sebagian warga Papring pelihara anjing untuk berburu di hutan.

“Awal mula mendirikan Kampoeng Batara tidak langsung rembuk dengan banyak orang. Prinsipnya keterpanggilan. Awalnya, saya mengajak anak-anak di sekitar rumah dan masih punya ikatan famili.”

Dia tak sosialisasi kepada masyarakat dengan membuat forum. “Tidak. Karena ini pendidikan, pendidikan seharusnya memegang prinsip memanusiakan manusia. Tetapi pendidikan yang berjalan sejauh ini tercemar dengan transaksional, hingga ruhnya bisa dibilang tidak ada.”

Di sekolah formal, kata Widie, peserta didik datang, duduk, dan diam mendengarkan. Di Kampoeng Batara,  sebaliknya. Anak-anak Batara masuk ke sekolah ini jadi ramai.

Pembelajaran di sekolah ini memakai konsep bermain sembari memberikan pengetahuan soal alam, konservasi dan budaya lokal.

Anak-anak di sana, katanya,  berasal dari banyak latar belakang keluarga. Mereka melebur jadi satu, tidak ada kasta ketika masuk di Kampoeng Batara.

“Awal-awal, ada orangtua yang mengawasi anak ketika main ke Batara. Contoh, anaknya masih usia TK main ke Batara diawasi. Kalau itu kami temukan,  kami tegur dengan cara menyarankan si orang tua membawa kerajinan  agar produktif. Atau kami sarankan melebur bersama anak-anak bermain bersama,” katanya.

Dari awal berdiri, masyarakat mendukung Kampoeng Batara. Mereka mengizinkan anak-anaknya bermain di Batara.

Namun, katanya, ketika Batara mendapat bantuan dalam bentuk barang atau fisik langsung, seperti pembangunan rumah budaya, sumur bor, rumah bambu, mobil operasional, dan alat-alat untuk kerajinan, prasangka negatif kepada pengurus bermunculan.

Sejatinya,  bantuan itu bukan hanya untuk Batara tetapi masyarakat. Batara hadir dari, oleh dan untuk masyarakat.  “Setiap ada tawaran bantuan, kami tetap arahkan ke sesuatu yang sekiranya dibutuhkan masyarakat.”

 

Widie Nurmahmudy, pendiri sekolah adat Kampoeng Batara. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Setiap ada tawaran bantuan, Batara tegaskan melihat ke lokasi langsung untuk bisa membaca, apa yang perlu dibantu, asal bukan uang segar.

“Batara lahir karena fenomena dulu, orang-orang sini malu  mengakui Papring ini sebagai kampungnya. Alasannya, di sini daerah tertinggal, plosok, jalan rusak. Pola pikir itu, makin dipertebal dengan stigmatisasi keterpinggiran.”

Kampoeng Batara, katanya, mempunya misi agar orang Papring bangga dengan daerah mereka. “Semoga ini tercapai. Kami bersyukur, anak-anak mulai merasa nyaman dengan pengetahuan dan kekayaan lokal. Seperti permainan tradisional yang memang kami jadikan media untuk bermain di Batara.”

Batara tidak ingin terikat dengan pemerintah.  Komitemen itu dipertegas dengan menolak bantuan dari Dinas Pariwisata dan Bapedda.  Alasannya, kalau sampai terikat, mereka khawatir pemerintah  memasukkan sistem.

Kalau sistem yang disodorkan pemerintah masuk, dia khawatir menghancurkan sistem yang susah payah mereka ciptakan bersama masyarakat  berdasarkan kearifan lokal.

“Kenapa tidak banyak yang mencintai petani dan aktivitasnya? Karena jarang sekolah formal mengajarkan  bangga dan mencintai petani.  Padahal kita makan hasil panen dari petani. Kita makan beras atau makanan pokok lainnya dari masyarakat petani,”

Menurut dia, sekolah formal lebih pada angka-angka dan teori. Dalam koteks pertanian, diajari surplus tidaknya tetapi tidak soal mencintai pertanian dan petani.

Dia juga singgung soal pangan. Indonesia , katanya,  tidak kekurangan pangan. Hanya saja, terjebak dalam narasi krisis pangan yang sebenarnya buntut dari narasi penyeragaman makanan pokok.

“Misal, Indonesia makanan pokok beras. Itu tidak tepat. Indonesia ini luas. Punya topografi dan potensi masing-masing wilayah jelas beda. Contoh sederhana, makanan pokok orang Jawa dengan luar Jawa tidak bisa disamakan. Ada yang jagung, sagu, umbi-umbian, dan lain-lain.”

Widie bukan tak suka pemerintah tetapi sistem yang dipakai kurang memperhatikan keberlanjutan.

Dia katakan, dua contoh paling jelas, pendidikan dan pertanian. Pendidikan seharusnya mampu menciptakan generasi penerus tanpa mengabai kearifan lokal, justru hanya mencetak buruh untuk kepentingan industrial dan  kecintaan kepada tanah sendiri nyaris kabur.

“Tidak berlebihan mengatakan, pendidikan hari ini terjerumus ke arah transaksional belaka,” katanya.

Dalam bidang pertanian, petani yang seharusnya sejahtera dan damai, justru linglung dengan permainan sistem yang disodorkan pemerintah.  Kalau petani terus dicekoki demikian, kedaulatan pangan hanya jadi ilusi.

Untuk itu, satu upaya kampanye Batara soal pangan lokal, katanya, dengan membangun lumbung pangan masyarakat sekitar yang ingin menyimpan hasil panen pangan lokal dan gratis.

“Saya hanya menggagas. Dalam prosesnya, murni bahu membahu dengan masyarakat sekitar. Tidak ada yang one man show di Batara. Ini lahir  dari, oleh, dan untuk masyarakat.”

Dedikasi Widie mendapat apresiasi dari banyak pihak. Antara lain, penghargaan sebagai tokoh adat pendukung keaksaraaan pada komunitas adat terpencil   atau khsusu dari Kementerian Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2021.

Lalu, penghargaan Piala Perak oleh Kementerian  Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  sebagai Wartawan Menginspirasi 2019. Sebagai inovator pendidikan oleh Pemerintah Banyuwangi pada 2018. Juga peroleh penghargaan Banyuwangi  Education Award 2021 sebagai tokoh adat sekaligus tenaga kependidikan berprestasi dan non akademik dan penghargaan lain.

 

 

Widie sekolah sampai SMA. Dia pernah bekerja sebagai kuli panggul, petani, jurnalis, dan banyak aktif di kegiatan kerelawanan lingkungan dan kesehatan hingga akhirnya kembali bertani di kampung halaman.

“Lahan yang dipakai untuk rumah budaya itu sewa. Sedang untuk yang  rumah bambu  punya saya, warisan, yang memang saya niat hibahkan  untuk kepentingan pembelajaran Batara,” katanya.

Sebagai bentuk adaptasi terhadap kamajuan zaman dan tehnologi, Batara juga memafaatkan platform media sosial untuk berbagi pengetahuan dan sebagai rak penyimpanan dokumentasi kegiatan.

Mulanya, Batara gunakan kobhung (langgar) milik orangtua Widie, sebagai tempat berteduh anak-anak semisal tidak berkegiatan di alam. Perlahan, mereka coba bangun cagak dari bambu dengan uang pribadi. Dari waktu ke waktu, masyarakat mengembangkan bangunan cagak itu dengan memperbaruhi kayu dan tampilan.

“Waktu itu, saya sedang ke  Medan. Tiba-tiba dapat kiriman foto,  warga bongkar dan bangun kembali cagak. Saya tanya, kenapa dibongkar dan dari mana dananya? Mereka bilang,  cagak itu sudah lapuk di beberapa bagian dan masyarakat sisihkan dana sukarela untuk perbaiki. Saya beryukur, warga sangat peduli dengan Batara,” katanya.

Dia bilang, Kampoeng Batara terus hidup karena solidaritas anak-anak Batara dan masyarakat sebagai nyawanya.

Batara menerapkan prinsip ‘alam raya sekolahku, semua adalah guru, dan belajar cerdas tanpa batas.’ Mereka merawat dan meruwat kearifan lokal dari alam, pengetahuan dan budaya lokal.

“Saya berharap, api semangat anak-anak dan masyarakat menjaga kearifan lokal terus menyala. Secara kelembagaan, Batara siap menjadi rumah berteduh bersama untuk semua. Kami juga terbuka buat siapa saja yang ingin datang ke Batara dan senang misal Batara jadi referensi atau sumber pengetahuan.”

Arif Girsang, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan, salut pada totalitas dan konsistensi Widie membersamai masyarakat menjaga kearfian lokal di Papring.

Dia berharap, gerakan Widie melalui Kampoeng Batara terus mengispirasi  banyak orang dalam memelihara dan merawat nilai-nilai tradisional dalam berbagai aspek kehidupan, di tengah-tengah gempuran modernisasi yang tak cukup jelas arahnya.

Suwadi, Asisten Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH)  Ketapang,  Banyuwangi Utara menilai, Widie adalah sosok yang memiliki kepedulian tulus untuk masyarakat dan alam.

Dia rela meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk masyarakat dan alam, melalui gagasannya, Kampoeng Batara.

“Ketulusan Pak Widie dibuktikan dengan bersama masyarakat  membangun Batara dan Papring. Saya bukan memuji berlebihan, tetapi benar adanya. Salut dengan gagasan dan kepeduliannya kepada lingkungan sekitar,” katanya.

 

Widie Nurmahmudy (jas hitam), pendiri sekolah adat Kampoeng Batara. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version