Mongabay.co.id

Setahun Penjara bagi Penjual Ratusan Kg Sisik Trenggiling, Tak Bikin Efek Jera?

 

 

 

 

 

Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang menyidangkan kasus perdagangan 182 kg sisik trenggiling memvonis tiga pelaku masing-masing satu tahun denda Rp10 juta, atau subsider kurungan satu bulan penjara, penghujung September lalu. Ketiga pelaku Edy Surja Susanto alias Aan, Aldi Syahputra alias Aldi, dan Arbain alias Bainn.

Oloan Silalahi, Ketua Majelis Hakim mengatakan, ketiga terdakwa terbukti sah dan bersalah melanggar UU Konservasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.

Selain ratusan kg sisik trenggiling, ada juga lima paruh rangkong gading. Seluruh barang bukti diserahkan kepada BBKSDA Sumatera Utara untuk dimusnahkan.

Randi H Tambunan, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan akan pikir-pikir apakah menerima atau banding melakukan Vonis majelis hakim ini jauh lebih ringan dari tuntutan JPU 1,5 tahun.

“Menuntut tiga terdakwa selama 1,5 tahun penjara denda Rp10 juta subsider dua bulan kurungan,” ujar Randi.

Kasus ini berawal, anggota Bareskrim Mabes Polri pada 8 Juni lalu membongkar jaringan perdagangan sisik trenggiling skala international. Tiga orang diciduk, satu pelaku merupakan bos besar bernama Edi Surja Susanto dan dua orang lagi merupakan jaringannya, Aldi dan Arbain.

Terbongkarnya kasus ini bermula setelah informasi dari masyarakat soal dugaan perdagangan sisik trenggiling di Kota Medan.

Kombespol Indra Lutrianto,  Kasubdit I tipiter Bareskrim Polri membentuk tim dan berangkat ke Kota Medan untuk pengumpulan keterangan. Kompol Heri Suhendar,  Plh Kanit 3 Subdit I Tipiter Mabes Polri ditunjuk memimpin penangkapan.

 

Baca juga: Kala Ratusan Kg Sisik Trenggiling Diamankan di Medan

Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan memvonis satu tahun penjara tiga pelaku pedagang ratusan kilogram sisik trenggiling. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Aldi dan Arbain, diamankan terlebih dulu ketika bawa 8 kg sisik trenggiling dan lima paruh rangkong gading disembunyikan dalam mobil mereka. Ketika pengembangan kasus, keduanya mengaku jaringan Edi alias Aan, ternyata saat itu berada di sekitar lokasi penangkapan.

Dia mencoba menghindar dari petugas dan akan kabur dengan mobil, namun polisi berhasil menangkapnya. Dari pengembangan kasus ini petugas mendapatkan sisik trenggiling 174 kg disembunyikan di gudang dekat rumah Aan.

Dalam kasus ini penyidik kepolisian membagi kasus ini jadi dua perkara, pertama, Aan dengan 174 kg sisik trenggiling, kedua, Aldi dan Arbain dengan 8 kg sisik trenggiling dan lima paruh rangkong gading.

Penyidik menemukan fakta, kalau sisik trenggiling diperoleh dari Aceh, Sumatera Utara dan Riau. Seluruh sisik dibawa ke Aan, penampung utama di Medan.

Berdasarkan data FLIGHT, sejak 2020, sekitar 902,8 kg sisik trenggilng berhasil disita petugas dari perdagangan ilegal di Sumatera.  Itu berarti, 3.608 trenggiling Sumatera dibunuh sejak 2020 untuk diambil sisiknya. Dari angka itu, 78% dari Sumatera Utara.

 

Sisik trenggiling sitaan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Hukuman ringan

Ridho Muttaqin dari Wildlife Crime Protection mengatakan, faktor utama jaringan perdagangan trenggiling ini terus menjalankan aksi meskipun pernah tertangkap dan dihukum, salah satu hukuman masih rendah dan belum ada penjelasan.

Meski ada denda cukup besar hingga mencapai Rp100 juta, tetapi subsider pengganti denda itu hanya antara satu hingga tiga bulan. Hukuman biaya tambahan untuk kerusakan ekologi akibat perbuatan itu juga tidak diberikan.

Vonis hukum rendah, kata Ridho, tak akan membuat mereka jera bahkan ada beberapa yang kembali terlibat lagi.

Dia bilang, belum ada sinkronisasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Mahkamah Agung terkait kesepahaman proses hukum dan perlindungan terhadap satwa liar terancam punah di Indonesia.

Inisiatif, malah datang dari organisasi masyarakat sipil dengan memberikan pendidikan tentang sumber daya alam khusus satwa liar dilindungi maupun jaksa di jajaran Kejaksaan Agung.

Ridho mengatakan, upaya-upaya menekan penurunan populasi trenggiling di alam sampai saat ini masih belum maksimal.

Alih fungsi lahan yang jadi habitat utama trenggiling ini masih terus terjadi di Sumatera. Di Aceh, misal,  hutan berubah jadi pertambangan. Di Sumatera Utara, katanya, trenggiling banyak hidup di Taman Nasional Gunung Leuser dari Karo hingga ke Langkat,  perbatasan dengan Aceh Tamiang.

Sayangnya,  wilayah ini sudah terbuka untuk jalan. Praktis, katanya, suasana yang dulu tenang kini hingar-bingar.  Laju kendaraan membuat spesies ini tak lagi aman dan nyaman.

Terparah dan tengah berlangsung saat ini, katanya,  penghancuran habitat trenggiling di ekosistem Batang Toru.

Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air, PLTA Batang Toru menggerus habitatnya. Alih fungsi hutan jadi perkebunan sawit, katanya,  juga berlangsung sampai sekarang. Lebih,  5.000 hektar hutan Batang Toru hancur jadi perkebunan sawit.

Tambang emas Martabe, katanya,  juga penyumbang penghancuran habitat trenggiling di Batang Toru, Tapanuli Selatan. Hutan Dolok Surungan, Sibual-buali, Siborong-borong sampai sejumlah titik di hutan Tapanuli Utara juga habitat trenggiling sudah berubah jadi pohon eukaliptus PT Toba Pulp Lestari (TPL).

“Lokasi-lokasi yang disebutkan ini merupakan habitat trenggiling terpadat di Sumatera Utara,” katanya.


Dia nilai, upaya penyelamatan trenggiling minim, baik penindakan hukum maupun mempertahankan habitat dari kehancuran.

Pemerintah, katanya,  lebih mementingkan investasi yang menghancurkan hutan. “Ketimbang mempertahankan spesies langka terancam punah salah satunya trenggiling, ” kata Ridho.

Selain penghancuran habitat dengan sengaja, perburuan dan perdagangan trenggiling serta bagian-bagian tubuh sampai saat ini terjadi.

“Semua jadi kompleks saat ini, demi pembangunan dan investor yang datang rela mengorbankan hutan menjadi habitat satwa liar.”

Kabupaten Nias Selatan dan Nias Utara, katanya,  jadi lokasi paling sering ditemukan perburuan trenggiling. Para pelaku berburu dalam antara 5-10 trenggiling lalu membawa ke Nias.  Di sana, katanya, penampung akan membeli dengan harga cukup menggiurkan. Begitu juga di Deli Serdang dan Serdang Bedagai maupun sebagian kecil di Kabupaten Batubara.

Para pemburu dan penampung lokal di lokasi-lokasi itu tahu betul apa yang mereka lakukan memiliki konsekuensi penjara.

Hasil investigasi mereka, kata Ridho, para penampung lokal tidak pernah mau membeli dengan orang yang belum pernah menjual sebelumnya. Mereka mempunyai syarat, yaitu tidak akan pernah membeli dalam jumlah banyak lebih 30 trenggiling.

Dari pengalaman orang-orang yang pernah ditangkap, penjual merupakan petugas menyamar untuk membongkar penampung lokal di suatu daerah.

Jaringan ini meyakini, kalau ada yang menawarkan satwa atau tenggiling dalam jumlah besar berarti pemburu sudah tertangkap. Mereka sudah mewanti-wanti hingga tidak akan membeli apalagi sampai bertemu calon penjual. Begitu juga sebaliknya untuk pembeli, penampung lokal juga sudah mempunyai langganan tetap orang yang menampung dalam jumlah besar di kabupaten dan provinsi.

Sayangnya, mereka tak mengetahui siapa orang-orang itu karena ada perantara lain yang menghubungkan hingga benar-benar terputus antara penampung lokal ke penampung lebih besar lagi di kabupaten dan provinsi.

Dari investigasi mereka,  para pemburu lokal yang kebanyakan warga sekitar habitat trenggiling ini lebih suka menjual dalam keadaan mati. Menariknya lagi, katanya,  mereka kebanyakan hanya menjual sisik, bagian tubuh lain banyak dijual ke warung tuak, sebagai hidangan sembari menyeruput minuman.

Ada juga yang konsumsi sendiri. Mereka meyakini, mengkonsumsi daging ini berkhasiat tinggi bagi kesehatan tubuh.

Salah satu alasan kuat mengapa para pemburu lokal lebih banyak memilih menjual sisik, katanya, karena selain membawa ke penampung lokal lebih mudah, pengelabuan dan penghilangan jejak secara cepat bisa dilakukan kalau melihat ada kecurigaan aparat penegak hukum mengetahui aksi mereka.

Biasanya,  penampung lokal sudah mem-briefing para pemburu lokal yang menjual barang kepada mereka bahwa apa yang dilakukan ini berisiko tinggi. Dalam pengemasan, katanya,  pemburu harus lebih aman supaya tidak menimbulkan kecurigaan.

“Main cantik membuat mereka sulit terendus. Mencari trenggiling juga hanya sampingan untuk menambah kebutuhan dapur. Si penampung lokal meski ini sebagai bisnis utama, tetapi tidak rakus dengan membeli banyak.”

 

Perburuan trenggiling untuk diambil sisiknya juga terjadi di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

*****

Exit mobile version