Mongabay.co.id

LSM: Habitat Orangutan Tergerus, Kala Pembukaan Hutan Masih Dilakukan Perusahaan HTI

 

Pantauan yang dilakukan oleh lembaga riset Aidenvironment menyebut deforestasi yang diakibatkan oleh pembukaan lahan seluas 14.000 hektar telah terjadi di konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) milik PT Mayawana Persada di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Pembukaan ini terjadi selama periode bulan Januari – Agustus 2023, -terbesar dalam periode ini, yang telah mengubah bentang alam hutan untuk menjadi tanaman monokultur kayu..

Pembukaan area ini berada di habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), -spesies kera besar terancam punah, yang areanya tumpang tindih dengan area konsesi perusahaan. Para pegiat konservasi menyebut hal ini bisa menjadi ancaman bagi kehidupan satwa terancam punah itu di masa depan. Dari 14.000 hektar hutan yang ditebang tahun ini, 13.000 hektar adalah kawasan yang diidentifikasi sebagai habitat orangutan.

Laporan ini pun menyebut bahwa hampir 65 persen dari seluruh wilayah konsesi adalah habitat yang cocok bagi orangutan kalimantan. “Ini akan menambah kekhawatiran akan punahnya orangutan karena mereka sduah memiliki resiko kepunahan tinggi di alam liar,” jelas Chris Wiggs, Direktur Program Aidenvironment Asia.

Pembukaan hutan yang dilakukan PT Persada Mayawana semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir. Selain sebagian besar areanya tumpang tindih dengan habitat penting orangutan, maka para aktivis mengkhawatirkan dampak pembukaan hutan dan lahan gambut di area yang kaya karbon.

Pada bulan Juli 2023, perusahaan telah membuka lahan seluas 4.970 hektar, -sebuah angka deforestasi bulanan tertinggi, yang lebih besar dari total luas lahan yang dibuka di konsesi dalam periode lima tahun yaitu tahun 2016 hingga 2020. Secara total, Mayawana Persada telah mengubah kawasan hutan seluas 34.039 hektar (atau separuh dari luas DKI Jakarta), sejak tahun 2016 dari luas total konsesinya yang mencapai 136.710 hektar.

 

Deforestasi di dalam konsesi HTI PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat, antara Juli hingga September 2023. Dok: Aidenvironment.

 

Turunnya Populasi Orangutan Kalimantan

Populasi orangutan kalimantan telah menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir, dengan hampir 150.000 individu lenyap antara tahun 1999 dan 2015. Pada tahun 2016, diperkirakan hanya 57.350 orangutan kalimantan yang tersisa di alam liar.

Studi di tahun 2011 memperkirakan antara 2.000-3.000 individu orangutan kalimantan dibunuh secara langsung setiap tahunnya. Studi baru menemukan bahwa mereka terus diburu dan dibunuh. Laporan ini menyebut 30 persen dari 79 desa di seluruh Kalimantan terkait langsung dengan bukti-bukti adanya pembunuhan dalam lima hingga 10 tahun terakhir.

Selama orangutan terus terancam oleh pembunuhan dan penyusutan habitatnya, maka menjadi penting untuk melestarikan habitat tersisa dan menghentikan deforestasi di area-area konsesi.

“Orangutan diklasifikasikan sebagai hewan yang sangat terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. Dengan tren penurunan populasi yang terus berlanjut ini, sangatlah penting kita untuk melindungi habitat orangutan yang tersisa di Kalimantan, fokusnya pada penghentian deforestasi,” jelas Wiggs kepada Mongabay.

Meskipun perkiraan populasi orangutan di konsesi perusahaan tidak ada, namun ada indikasi bukti-bukti keberadaannya, lanjut Wiggs.

Konsesi Mayawana Persada dikelilingi oleh wilayah yang dipastikan dihuni orangutan. Ia bertetangga dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) seluas 108.000 hektar yang merupakan rumah bagi sekitar 2.500 individu orangutan.

Di sebelah selatan konsesi terdapat hutan lindung gambut Sungai Paduan. Kawasan seluas 6.788 hektar  ini sebagian besar terdiri dari hutan rawa gambut yang diidentifikasikan sebagai salah satu kantong populasi orangutan.

“Semua [fakta] ini menunjukkan keberadaan orangutan di Konsesi Mayawana Persada,” kata Wiggs.

Indikasi ini pun didukung oleh Yayasan Palung, sebuah LSM yang bergerak dalam konservasi orangutan di TNGP dan HL gambut Sungai Paduan. Sekitar 60 persen konsesi perusahaan diklasifikasikan sebagai lahan gambut yang menjadi habitat penting bagi orangutan. Hutan gambut ini menyediakan pasokan makanan bagi orangutan yang stabil sepanjang tahun.

“Saya bisa memperkirakan ada orangutan [di dalam konsesi] karena satu bentang [dengan Gunung Taman Nasional Palung dan hutan Sungai Paduan ], juga memiliki hutan gambut yang cocok untuk habitat orangutan,” kata Edi Rahman, Direktur Lapangan Yayasan Palung kepada Mongabay.

Tim Survey Yayasan Palung juga pernah mendengar seruan khas orangutan jantan dari arah konsesi saat mereka menyusuri Sungai Paduan, kata Edi. Orangutan jantan membuat panggilan panjang untuk memberi tahu betinanya dimana mereka berada, dan untuk memperingatkan pejantan lain agar tidak melanggar wilayah mereka.

Tidak hanya orangutan, Palung juga menjumpai bukti keberadaan spesies lain endemik terancam yang hidup di dalam konsesi. Mereka mendengar suara siamang janggut putih kalimantan (Hylobates albibarbis), penampakan burung enggang gading (Rinoplax vigil), serta bekas cakaran beruang madu (Helarctos malayanus).

Edi mengatakan, sampai sekarang para aktivis satwa belum bisa memastikan keberadaan orangutan di wilayah konsesi, karena mereka tidak memiliki akses menuju kawasan tersebut.

 

Pembukaan hutan oleh PT Mayawana Persada milik Alas Kusuma di Kalimantan, Indonesia. Gambar milik Aidenvironment.

 

Ajakan Kerjasama yang Diabaikan

Yayasan Palung mengaku pernah mengirim surat kepada PT Mayawana Persada, untuk menawarkan perusahaan kerjasama dalam konservasi orangutan di wilayah konsesi, jelas Edi.

Namun perusahaan tidak merespons. Aktivis Palung pun sempat mengunjungi kantor PT Mayawana Persada di Kota Pontianak. Namun pejabat perusahaan yang membidangi konservasi tidak ada di tempat saat itu.

Edi mengatakan dalam lokakarya konservasi yang diadakan Universitas Tanjungpura di Pontianak awal tahun ini, perwakilan PT Mayawana Persada yang dijadwalkan berbicara pun tidak hadir.

“Pihak perusahaan tidak hadir, padahal seharusnya manajemen perusahaan menjadi salah satu pembicaranya,” kata Edi. “Padahal, kolaborasi bersama pihak perusahaan akan memungkinkan para aktivis untuk melakukan survei bersama populasi orangutan di konsesi.”

Edi pun menyebut jika habitat orangutan hilang di dalam area konsesi, mereka akan berpindah tempat. Ini berarti semakin menyempitnya ruang hidup untuk mencari makanan.

“Saat perusahaan menebangi [hutan], sebagian satwa liar akan lari [ke hutan sebelah],” kata Edi. “Ini berarti Hutan Sungai Paduan akan dipenuhi orangutan, sehingga akan meningkatkan konflik antar kera.”

Deforestasi yang sedang berlangsung juga mengancam terputusnya koridor kera untuk berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain. Di saat bersamaan, pembukaan lahan akan memberikan ancaman tambahan, yaitu terbukanya akses masyarakat untuk masuk hutan dan habitat orangutan yang masih utuh, yaitu di Hutan Lindung Sungai Paduan.

Selain menjadi habitat utama orangutan dan satwa liar, ekosistem gambut tropis kaya dengan simpanan karbonn, yang nilainya dua kali lipat jumlah CO2  hutan beriklim sedang dan tropis. Simpanan karbon amat penting sebagai fungsi pengaturan atmosfer, laju pelepasan pemanasan global, dan iklim.

Lahan gambut juga berperan penting dalam pengaturan air dengan berperan sebagai spons, menyerap dan menahan kelebihan air serta mengurangi risiko banjir di hilir.

“Lahan gambut yang tersisa, terutama yang memiliki kubah gambut besar, penting untuk melindungi warga dari banjir dan mitigasi perubahan iklim,” kata Wiggs.

 

Hutan prmer dan hutan sekunder bekas tebangan merupakan habitat penting bagi populasi orangutan di Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Tumpang Tindih Tanah Adat

Konsesi HTI Mayawana Persada juga tumpang tindih dengan wilayah leluhur Masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyebut konsesi tersebut menempati 3.650 hektar wilayah adat suku Dayak.

Fransiskus Padma, aktivis pemuda AMAN Kalimantan Barat, mengatakan komunitasnya telah lama melindungi hutan, namun kini berisiko kehilangan hak atas tanah leluhurnya.

“Saat ini masyarakat adat Kualan Hilir mendapat tekanan yang sangat besar,” ujarnya .

Fransiskus mengatakan masyarakat pernah bertemu dengan perwakilan perusahaan pada tanggal 11 Mei 2020. Saat itu pihak perusahaan setuju melepaskan sebagian konsesinya kepada masyarakat. Kelompok Dayak yang sama juga pernah menjatuhkan sanksi adat dan denda kepada perusahaan tersebut. Hingga September 2022, Mayawana Persada mengabaikan perjanjian tersebut dan menolak membayar denda, yang mendorong masyarakat adat melakukan sejumlah protes.

Pada tanggal 29 Juni 2023, laporan LSM LinkAR Borneo menyebut warga memblokir armada buldoser yang mencoba menebang pohon di konsesi perusahaan. Namun belum ada tanda-tanda pembukaan itu akan berhenti.

“Kami meminta [perusahaan] segera keluar dari tanah leluhur [kami],” sebut Fransiskus.

 

Masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir melakukan protes terhadap pembukaan lahan yang tumpang tindih dengan kawasan konsesi HTI PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat. Dok: AMAN.

 

Kelindan Minyak Sawit

Konsesi Mayawana Persada sebelumnya dimiliki Alas Kusuma Group, yang bergerak dalam bidang kayu dan sawit di Indonesia. Dalam penilaian SPOTT yang mengevaluasi transparansi perusahaan komoditas, Alas Kusuma mendapat skor rendah yaitu 14,8 persen.

Pada Januari 2023 saham perusahaan berubah kepemilikan, dimana 50 persen saham kini dimiliki perusahaan Malaysia Green Ascend (M) Sdn. Bhd. Sisa 50 persen sahamnya masih dimiliki Alas Kusuma.

Green Ascend terhubung dengan perusahaan induk Malaysia, Acapalm Plantation, yang terlibat dalam pengelolaan Nusantara Fiber, yang terhubung  dengan konglomerat bubur kertas dan sawit yang berbasis di Singapura yaitu, Royal Golden Eagle (RGE), yang dimiliki miliarder Sukanto Tanoto.

Namun bantahan datang dari cabang pulp RGE, yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Limited), yang mengatakan pihaknya sama sekali tidak memiliki hubungan pemasok dengan Mayawana Persada .

Selain mengoperasikan industri HTI di PT Mayawana Persada, Alas Kusuma juga memiliki kaki  di industri sawit, dengan perkiraan 12.400 hektar lahan tanaman sawit di Kalimantan Barat.

Dengan demikian, berarti setiap pembeli sawit dari kebun sawit Alas Kusuma terhubung dengan  aktivitas deforestasi perkebunan kayu Alas Kusuma yang dikelola Mayawana Persada, ungkap Aidenvironment.

Bagi pembeli, ini berarti mereka melanggar janji pembelian perihal kebijakan nihil deforestasi (NDPE, No Deforestation, No Expansion on Peat and No Exploitation).

Aidenviroment menyebut penerapan kebijakan NDPE harus menyeluruh di tingkat perusahaan bukan hanya di tingkat komoditas. Dalam beberapa kasus perusahaan masih dapat menjual minyak sawit meski mereka terus menebangi hutan untuk kebun kayu pulp mereka.

Saat ini pembeli dapat menjadi penentu untuk menyetop eksploitasi lebih jauh, yang pernah ada presedennya. Pada tahun 2020, pembeli minyak sawit memperingatkan perusahaan United Malacca asal Malaysia tentang rencana mereka membuka kawasan hutan lebat di bagian tengah Sulawesi adalah pelanggaran komitmen NDPE.

Peringatan tersebut berhasil, United Malacca memutuskan menghentikan pembukaan hutan sambil menunggu penilaian identifikasi kawasan lewat instrumen Nilai Konservasi Tinggi (HCV). Hingga saat ini, pembukaan lahan hutan belum lagi terjadi.

“Pembeli minyak sawit yang terhubung dengan Alas Kusuma harus menunjukkan tingkat komitmen kebijakan NDPE yang sama,” kata Aidenvironment .

Tulisan asli: Deforestation surges in hotspot of critically endangered Bornean orangutans. Artikel ini diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit.

 

Referensi:

Meijaard, E., Buchori, D., Hadiprakarsa, Y., Utami-Atmoko, S. S., Nurcahyo, A., Tjiu, A., … Mengersen, K. (2011). Quantifying killing of orangutans and human-orangutan conflict in Kalimantan, Indonesia. PLoS ONE6(11), e27491. doi:10.1371/journal.pone.0027491

Massingham, E., Meijaard, E., Ancrenaz, M., Mika, D., Sherman, J., Santika, T., … Dean, A. J. (2023). Killing of orangutans in Kalimantan — Community perspectives on incidence and drivers. Conservation Science and Practice. doi:10.1111/csp2.13025

Exit mobile version