Mongabay.co.id

Wawancara Erwin Wilianto: Masa Depan Kucing Liar Indonesia Harus Diperjuangkan

Kucing kuwuk yang terpantau di hutan Kurai Timur pada Februari 2023. Foto: Hadiyana/Ecositrop

 

 

https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2023/10/Wawancara-Erwin-Wilianto.mp3?_=1

[Audio] Wawancara Erwin Wilianto: Masa Depan Kucing Liar Indonesia Harus Diperjuangkan

 

Perhatian masyarakat terhadap konservasi kucing liar di Indonesia masih minim. Sebagian besar orang yang tahu jenis kucing liar hanya menyebut nama harimau atau macan.

Padahal, Indonesia memiliki 11 jenis kucing liar. Namun, dua jenis telah punah yang artinya menyisakan 9 jenis. Sementara secara global, terdapat sekitar 40 jenis kucing liar.

Erwin Wilianto, adalah satu dari sedikit orang yang memberikan perhatian terhadap pelestarian kucing liar di Indonesia. Dia merupakan founder Save Indonesian Nature & Threatened Species [SINTAS Indonesia] dan anggota Fishing Cat Conservation Alliance serta anggota Cat Specialist Group – IUCN SSC.

Mongabay Indonesia berkesempatan mewawancara Erwin Wilianto mengenai kondisi kucing liar dan ancamannya saat ini.

 

Kucing emas yang dilindungi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi. Foto: Shutterstock

 

Mongabay: Sejak kapan Anda fokus pada konservasi kucing liar di Indonesia?

Erwin: Sejak 2003, saya sudah berkenalan dan merehabilitasi kucing-kucing berukuran kecil, terutama kucing hutan. Namun, passion saya masih tertuju pada kucing berukuran besar.

Pada 2014, saya menyadari minimnya informasi jenis kucing kecil di Indonesia. Dari sini, saya mengenal kucing bakau, endemik Jawa. Lalu, saya memulai perjalanan lebih dalam ke konservasi kucing hutan di indonesia sampai sekarang.

Namun sebenarnya di awal 1997, saya sudah mendengar Ekspedisi Harimau Jawa. Tahun 2000, bisa jadi ini titik awal saya terlibat pada kegiatan konservasi kucing liar, ketika ikut operasi SAR Mapagama [Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada] di Gunung Slamet, Jawa Tengah. Di sini kami menemukan tiga jebakan macan dengan umpan bangkai lutung.

Pada 2001, saya terlibat dalam tim pencari fakta harimau jawa, perannya sebagai tim analis feses dan temuan rambut, yang kemudian menjadi materi skripsi.

Berikutnya pada 2008, saya bersama para praktisi coba menyusun SRAK [Strategi dan Rencana Aksi Konservasi] macan tutul dan membentuk Forum Konservasi Macan Tutul Jawa.

 

Kucing kuwuk atau kucing hutan yang terpantau di hutan Kurai Timur pada Februari 2023. Foto: Hadiyana/Ecositrop

 

Mongabay: Apa yang membedakan kucing domestik dengan kucing hutan?

Erwin: Dari segi perilaku, kucing domestik sudah sangat terbiasa dengan manusia dan tidak punya sifat liar lagi; dalam artian sudah sangat familiar dengan manusia dibandingkan kucing-kucing yang ada di hutan.

Kucing hutan mempunyai sifat elusif atau sulit ditemukan dan cenderung menghindari manusia. Mungkin dalam proses hidupnya, kucing hutan menganggap manusia perlu dihindari.

Kucing domestik secara evolusi sudah beradaptasi dengan lingkungan manusia dan juga memakan makanan yang ada di sekitarnya. Sedangkan kucing hutan, memiliki spesifikasi makanan sendiri.

 

Kucing bakau atau yang dikenal juga dengan nama fishing cat. Foto: Kla Trey/Cambodian Fishing Cat Project

 

Mongabay: Apa peran kucing liar dalam ekosistem?

Erwin: Mereka utamanya memiliki peran sebagai predator, yang bisa berpengaruh pada populasi mangsanya agar tidak terjadi kelebihan [over] populasi. Namun, ada beberapa yang spesifik habitatnya di sekitar perairan seperti kucing bakau, yang memangsa adalah ikan-ikan dan juga krustasea, serta bisa menjadi indikator bahwa ekosistemnya masih bagus atau tidak.

Jika di suatu lokasi ikannya tidak ada, sungainya tercemar, berarti kucingnya juga sudah tidak ada.

 

Kucing tandang yang masih sedikit penelitiannya. Foto: Wikimedia Commons/Jim Sanderson/CC BY-SA 3.0

 

Mongabay: Di Indonesia ada 9 spesies kucing liar, bisa dijelaskan?

Erwin: Ada kucing hutan [Prionailurus bengalensis], kucing emas [Catopuma temminckii], kucing batu [Pardofelis marmorata], kucing bakau [Prionailurus viverrinus], macan dahan [Neofelis diardii], kucing merah [Catopuma badia], kucing tandang [Prionailurus planiceps], serta harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan macan tutul [Panthera pardus melas].

Berbagai kucing ini tersebar spesifik di pulau-pulau tertentu. Namun, ada juga yang kosmopolit tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Uniknya, ketika menyebut kucing hutan atau kucing liar, di Indonesia sekarang ada dua subspesies; yang dulunya satu kemudian dipisahkan. Subspesies Kalimantan dan Sumatera [Prionalurus javanensis sumatranus] dipisahkan dari subspesies yang ada di Jawa [Prionailurus javanensis javanensis].

Saat ini, dengan banyaknya pemelihara kucing hutan, yang kurang memperhatikan asal usul satwa tersebut, bagi saya cukup mengkhawatirkan.

 

Kucing batu berbadan kecil, memilki totol seperti macan dahan. Foto: Dokumentasi Sintas Indonesia/FKL/Panthera/KLHK

 

Mongabay: Secara populasi bagaimana status kucing liar saat ini?

Erwin: Itu yang menjadi kendala kita sekarang. Hampir semua jenis kucing, kecuali macan tutul dan harimau sumatera, sangat sedikit informasinya.

Belum banyak penelitian yang memang spesifik menargetkan kucing-kucing kecil ini. Upaya dan intensitas yang kita lakukan harus besar dan tentunya berimbas pada sumber daya; baik anggaran ataupun tenaga.

Di satu sisi kita “cenderung” mengidolakan harimau dan macan tutul, sehingga kucing-kucing ini tidak terlalu menjadi perhatian besar.

Untuk itu, salah satu penerapan yang sering kita utamakan adalah umbrella species [spesies payung]. Artinya, kalau kita mengelola spesies besar seperti harimau, maka satwa kecil yang ada di dalam area jelajahnya juga akan aman.

Namun, belum tentu juga begitu kondisinya. Belum tentu dengan mengelola harimau, maka kucing liar juga akan terlindungi, karena mereka mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan harimau itu sendiri.

 

Macan dahan yang terpantau kamera jebak di TNKS. Foto: Iding Haidir/BBTNKS/Wild CRU/FFI

 

Mongabay: Sesulit apa menemukan macan dahan, salah satu jenis kucing liar?

Erwin: Probabilitas bertemu memang kecil, kecuali mereka yang setiap harinya di hutan sehingga punya banyak kesempatan.

Hampir semua kucing liar itu sifatnya elusif. Kecenderungannya menghindar, dengan segala indra yang mereka punya. Mereka sering lebih dulu tahu ada manusia, ketimbang kita sadar bahwa ada mereka di sekitar kita. Sehingga mereka akan menghindar.

Saya juga ingin mengoreksi anggapan yang mengatakan bahwa kucing bisa mencium bau manusia dari beberapa kilometer. Sebenarnya, penciuman kucing itu tidak sebagus yang kita kira. Mereka tahu lebih ke suara dan mencium bekas orang, mengendus bau manusia yang baru lewat.

Indra utama yang digunakan adalah pendengaran dan penglihatan. Makanya, mereka cenderung berburu di waktu gelap, mulai dari magrib ke subuh, karena mata mereka berfungsi optimal saat gelap.

Dan panjangnya kumis itu tidak seperti hewan lain, yang merupakan perpanjangan indra penciuman mereka. Panjang kumis ini lebih ke mendeteksi seberapa besar ruang yang ada di sekitar dia.

 

Erwin Wilianto yang memberikan perhatian penuh terhadap pelestarian kucing liar di Indonesia. Foto: Dok. Erwin Wilianto

 

Mongabay: Apa saja ancaman kelestarian kucing liar di Indonesia?

Erwin: Paling utama menurut saya adalah kepedulian, karena berawal dari perhatian ini, orang akan memberikan perlakuan berbeda terhadap sesuatu. Tanpa kepedulian, misalnya ketika seseorang terdesak secara ekonomi, maka ada yang mencari cara untuk memburunya.

Kucing-kucing ini memiliki rambut atau kulit yang khas dan unik, beberapa praktisi klenik dan obat-obatan juga percaya bahwa bagian-bagian tubuh dari kucing mempunyai khasiat. Sebut saja, dikatakan bisa memberikan wibawa dan mengobati sesuatu, sehingga menjadi hewan favorit untuk diburu. Padahal, secara medis belum ada penelitian ilmiah terkait hal tersebut.

Selain diburu, adalah kurang tepatnya masyarakat dalam menangani konflik dengan satwa liar. Misalkan, warga yang kebunnya diserang hama seperti babi, monyet, dan sebagainya, kemudian memasang jerat. Jerat ini tidak pilih-pilih, segala jenis hewan bisa kena.

 

Kucing merah kalimantan yang terpantau di Kalimantan Tengah tahun 2016 lalu. Foto: Borneo Nature Foundation

 

Kucing liar adalah satwa terestrial yang menggunakan areal sekitar perkebunan, sehingga ketika mereka mencari makan bisa saja terkena jerat. Atau ada yang meracuni babi dan monyet, tanpa sengaja kucing liar juga akan terpapar.

Ancaman berikutnya, secara umum adalah habitatnya di Indonesia, yaitu populasi manusia cukup besar, ruang hidup terus bertambah, juga invasi industri seperti perkebunan sawit.

Ancaman lain adalah perkebunan kopi yang banyak mengonversi hutan. Di banyak tempat, kopi mengokupasi habitat kucing, sehingga kucing liar terdesak dan mereka masuk ke permukiman sehingga terjadi konflik. Bahkan, terjadi perburuan.

Beruntungnya kucing adalah hewan yang adaptif. Tidak terlalu berpengaruh dengan hilangnya hutan karena sebenarnya yang berpengaruh adalah mangsanya. Ketika mangsanya hilang, kucing liar ini lari ke kampung, memangsa ternak penduduk.

 

Diperlukan upaya dan intensitas tinggi untuk meneliti keberadaan kucing liar di Indonesia yang sejauh ini masih minim penelitian dan perhatian. Foto: Dok. Erwin Wilianto

 

Mongabay: Bagaimana cara menumbuhkan partisipasi masyarakat atau berbagai pihak, agar mereka ikut menjaga dan melestarikan kucing liar di Indonesia?

Erwin: Secara umum, pemerintah selaku penanggung amanat, tugasnya melestarikan sumber daya alam Indonesia. Untuk teman-teman, masyarakat sipil, komunitas, para pemerhati; secara hukum yakni UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; kewajiban pelestariannya bukan hanya pemerintah, tetapi tugas kita juga.

 

 

Mari kita bersama berbuat, apapun yang bisa dilakukan, meski hanya menyampaikan pesan-pesan positif. Kalau bisa, lebih bagus bergabung sebagai volunteer atau bekerja di wilayah konservasi.

Intinya, kita harus memiliki tanggung jawab bersama, melestarikan satwa liar yang ada di Indonesia.

 

Exit mobile version