Mongabay.co.id

Masyarakat Adat Moa Penuhi Energi dari Air yang Melimpah

 

 

 

 

Hujan yang mengguyur Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, sejak malam baru reda  pagi itu. Beberapa warga mulai bersiap-siap ke ladang. Prasetyo Hetta, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Moa, bergegas ke aliran sungai sekitar satu kilometer dari desanya untuk mengecek kondisi pembangkit listrik kincir air yang dibuat bersama tetangganya.

Lampu rumahnya saat itu terus berkedip. Dia duga dampak curah hujan cukup tinggi sejak malam hari hingga ada yang tersangkut.

“Lampu-lampu yang terus berkedip itu pasti aliran air yang menuju ke kincir air tersumbat. Perlu dibersihkan,” katanya kepada Mongabay.

Dia menuju ke lokasi sumber energi yang menjadi andalan Komunitas Adat Topo Uma itu. Dari rumahnya, dia harus berjalan kaki ke arah barat dengan waktu sekitar 15 menit agar bisa sampai ke lokasi itu.

Dugaan Prasetyo tak meleset. Saat di lokasi, dia melihat bendungan berukuran empat meter persegi yang jadi tempat penampung air; ditutupi berbagai ranting, daun, hingga rumput. Imbasnya, pipa besi saluran air dari bendungan itu yang mengarah ke turbin bertenaga dinamo generator listrik 15 KW itu, tersumbat.

Dia  langsung membersihkannya. Satu persatu sampah organik kering itu dia singkirkan. Perlahan, putaran kincir air yang awalnya pelan, mulai berputar cepat seperti biasa. Semua kembali normal.

“Kincir Air ini adalah satu-satunya sumber energi yang kita buat sendiri untuk menerangi kegelapan di malam hari,” katanya.

 

Sumber air yang dimanfaatkan jadi energi di Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Desa Moa, dihuni Suku Kulawi ini berjarak sekitar 95 km dari pusat Kota Palu, dan sekitar 24 Km dari Gimpu, ibu kota Kecamatan Kulawi Selatan.

Berada di lembah di sekitar pegunungan dengan ketinggian 700-1.200 mdpl, dan berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), juga membuat desa di ujung selatan Kabupaten Sigi ini sulit diakses. Apalagi, orang yang ingin mendatangi desa ini hanya bisa pakai sepeda motor dari Gimpu dengan perjalanan sekitar tiga jam.

Listrik PLN pun tak ada di sini. Penduduk desa hanya 114 keluarga atau 474 jiwa. Hal inilah yang membuat sulit mengharapkan negara membangun jaringan listrik ke dalam ke Desa Moa.

Prasetyo bercerita, sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, belum ada tanda-tanda listrik dari negara masuk di desanya. Infrastruktur dan fasilitas layanan publik pun minim di desa ini.

Samuel Yansen Pongi, Wakil Bupati Sigi mengatakan, sempat berencana membuka akses jalan ke Desa Moa agar PLN bisa masuk. Karena jalan berada di dalam taman nasional, maka niat itu kandas.

“Terpaksa, anggaran pembangunan akses jalan itu kami alihkan ke program lain,” katanya.

 

 

 

 

Memilih energi bersih

Menanti pembangunan energi dari pemerintah lewat PLN tak ada, warga desa pun berinisiatif memanfaatkan sumber yang ada di sekitar mereka. Sejak 2019, mereka bergotong royong membuat turbin bertenaga dinamo, dengan memanfaatkan air sungai di sekitar desa untuk energi.

Energi skala kecil ini bisa berasal dari saluran sungai, saluran irigasi, air terjun alam, bahkan sekadar parit asal air kontinu.

Letak geografis Desa Moa, di lembah sekitar pegunungan membuat potensi air di daerah ini sangat tinggi. Terlebih, wilayah desa ini berdampingan dengan kawasan konservasi yang merupakan daerah resapan air, sekaligus sumber pemasok air ke sungai-sungai.

Prasetyo bilang, setidaknya sudah lebih 10 turbin bertenaga dinamo atau biasa disebut pembangkit listrik tenaga kincir air ada di Desa Moa, termasuk miliknya. Mereka membuat turbin itu berkelompok agar biaya pembangunan lebih murah. Dalam satu kelompok biasa ada 7-10 orang.

“Biaya pembangunan turbin ini rata-rata berkisar Rp15-20 juta. Kita membangunnya berkelompok agar biaya lebih murah. Turbin milik saya ini dibangun bersama tujuh tetangga,” katanya.

 

Prasetyo Hetta , warga Desa Moa, yang secara berkelompok bikin kincir air untuk manfaatkan air sebagai sumber energi. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Heriyanto Djempa, Kepala Desa Moa mengatakan, sebelumnya des aini pernah pakai pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).

Pada 2004, kata Heriyanto, Desa Moa mendapatkan bantuan alat-alat PLTMH dari lembaga non pemerintah untuk memaksimalkan potensi air di desanya. PLTMH itu hanya bisa digunakan beberapa tahun, karena alat kerap mengalami kerusakan.

Pada 2014, PLTMH itu baru bisa diperbaiki oleh Pemerintah Desa Moa melalui program dana desa. Usai diperbaiki, warga mulai diminta iuran Rp5.000 per mata lampu dalam setiap bulan. Iuran warga itu untuk membiayai operasional, dan pemeliharaan.

Sayangnya, kata Heriyanto, PLTMH itu hanya bisa bertahan beberapa tahun, dan kembali rusak. Dana desa dan iuran dari warga tidak bisa membiayai kerusakan karena ongkos perbaikan cukup besar.

Dengan berat hati, katanya, mereka mengambil keputusan untuk memberhentikan sementara PLTMH itu.

“Diberhentikan sementara operasi PLTMH itu, membuat Masyarakat Adat Moa kembali berjibaku dengan kegelapan,” kata Heriyanto.

Dengan kondisi itu, katanya, satu per satu warga mulai berinisiatif membangun turbin bertenaga dinamo secara berkelompok pada tahun 2019. Mereka manfaatkan air sungai yang berjarak sekitar satu kilometer dari Desa Moa untuk jadi sumber energi.

Heriyanto bilang, saat itulah Komunitas Adat Topo Uma mampu mandiri dengan energi bersih. Mereka dapat menikmati energi ramah lingkungan itu secara murah, bahkan gratis selama 24 jam penuh.

Agustin Mpadjam, Perempuan Adat Moa sangat terbantukan berkat energi dari alam itu. Dia bisa menyetrika, memasak nasi dengan reskuker, menonton televisi, dan melakukan berbagai aktivitas yang menggunakan energi.

Dia bilang, masyarakat tidak lagi gelap gulita berkah energi terbarukan itu. Dia yakin, masa depan anak-anak bakal cerah karena tidak lagi belajar di tengah kegelapan. Apalagi, listrik di desanya tidak mengotori bumi tempat mereka berpijak.

“Saya sangat bersyukur, Masyarakat Adat Moa sudah benar-benar mandiri dari segi energi dengan memproduksi energi bersih,” kata Tina Ngata atau Ibu Kampung Moa ini.

 

Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Dukung energi komunitas

Eliyanus Surabi, dari Karsa Institut mengatakan, apa yang dilakukan Masyarakat Adat Moa dalam potensi air untuk energi itu merupakan contoh bentuk transisi energi. Mereka tidak lagi berharap listrik negara yang mayoritas berasal dari energi kotor.

Tetapi, katanya, penggunaan energi terbarukan oleh Masyarakat Adat Moa itu sama sekali tidak disentuh negara. Dia khawatir, kalau alat-alat energi bersih itu rusak, masyarakat kembali kesulitan energi.

Eliyanus berharap, negara secepatnya hadir, misal, lewat program kemitraan transisi energi yang adil atau just energy transition partnership (JETP).

“Program transisi energi Indonesia itu harus menyentuh Masyarakat Adat Moa,” kata Eliyanus.

Karsa Institut,  merupakan organisasi non pemerintah yang lebih satu dekade mendampingi Masyarakat Adat Moa dalam pengelolaan sumber daya alam.

Tri Mumpuni, dari Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) mengatakan, JETP harus tidak mengabaikan energi terbarukan berbasis komunitas. Dia bilang, energi terbarukan berbasis komunitas bukan hanya ramah lingkungan juga murah hingga dapat membangkitkan ekonomi masyarakat.

Menurut dia, Negara harus memberikan ruang kepada rakyat melalui JETP untuk menggali potensi dan kemampuan mereka melalui energi terbarukan berbasis komunitas. Hal itu juga menjadi salah satu upaya dalam pemerataan listrik di Indonesia.

“Negara seharusnya mencari peluang sebesar-besarnya terkait energi terbarukan berbasis komunitas  agar rakyatnya mampu menyediakan energi untuk mereka sendiri,” katanya, beberapa waktu lalu.

Mumpuni mengatakan, transisi energi secara tidak langsung juga berkaitan dengan transisi ekonomi, transisi pendapatan masyarakat, hingga transisi pekerjaan. Kalau program transisi energi Indonesia mengabaikan energi terbarukan berbasis komunitas, katanya, rakyat akan dipisahkan dengan sumber daya lokal di wilayah mereka.

Apalagi, katanya, kalau negara memandang energi terbarukan sebagai sebuah transisi yang menguntungkan, pasti keuntungan itu hanya berkutat pada kelompok yang sebelumnya sudah meraup untung besar dari energi fosil. Kalau itu terjadi, katanya, masyarakat lokal akan makin terpinggirkan.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) juga menyorot pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas ini dari perspektif ekonomi-politik. Menurut dia, perlu ada perubahan paradigma dalam setiap desain transisi energi dimana komunitas menjadi episentrum dari pengembangan energi terbarukan.

Dia bilang, studi CELIOS justru menunjukkan 56% masyarakat di sektor pertanian dan komunitas pedesaan lebih tertarik dengan penutupan PLTU batubara yang paralel dengan peningkatan energi terbarukan.

“Selama ini masalah transisi energi sering menjadi pembahasan yang tersentralisasi di perusahaan skala besar, dan keterkaitan dengan komunitas yang justru terdampak dari krisis iklim sering diabaikan,” Bhima melalui rilis yang diterima Mongabay.

Padahal, katanya, banyak tersedia opsi pendanaan yang bisa dikelola langsung oleh komunitas untuk bangun energi terbarukan. “Model pendanaan internasional seperti JETP setidaknya lebih diarahkan untuk mendanai transisi di level komunitas.” kata Bhima.

 

Masyarakat Desa Moa, Sigi, inisiatif berkelompok bikin kincir air untuk penuhi energi mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 *********

 

Exit mobile version