Mongabay.co.id

Salju di Puncak Jaya Meleleh Lebih Cepat Gara-gara Ini

 

Sepertinya kita akan lebih cepat mengucapkan selamat tinggal untuk salju abadi atau gletser di Puncak Jaya, Papua. Para ahli memperkirakan lenyapnya salju di tropis itu segera terjadi dalam kurun waktu dekat ini. Laporan terbaru Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan ketebalan gletser di Papua memperlihatkan penurunan yang besar.

“Di Indonesia, perkiraan satelit terhadap luas gletser di bagian barat Pulau Papua menunjukkan total luas es pada April 2022 sebesar 0,23 kilometer persegi, turun sekitar 15 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 0,27 kilometer persegi pada Juli 2021. Dari tahun 2016 hingga 2022, rata-rata pengurangan luas es adalah sekitar 0,07 kilometer persegi per tahun,” kata laporan yang dirilis Agustus lalu itu.

Sementara itu, pengukuran ketebalan es melalui pipa khusus menunjukkan penurunan ketebalan es sebesar 24 meter sejak Juni 2010 hingga awal tahun 2021, dan perkiraan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 tinggal 6 meter saja. Jika dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata turun 2,4 meter per tahun, maka gletser di Puncak Jaya akan hilang dari pandangan kurang dari 3 tahun lagi.

“El Nino, yang terjadi setelah kondisi La Nina selama tiga tahun, kemungkinan besar akan terus berlanjut hingga sisa tahun ini. Hal ini akan berdampak besar pada kawasan Pasifik Barat Daya karena sering kali dikaitkan dengan suhu yang lebih tinggi, pola cuaca yang mengganggu, dan lebih banyak gelombang panas laut serta pemutihan karang.”

baca : Peta NASA: Gletser Puncak Jaya Lenyap Secara Drastis Dekade Terakhir

 

Perbandingan peta di tahun 1989 (atas) yang masih memiliki gletser di lima wilayah pegunungan Jaya Wijaya, dan bandingkan dengan peta tahun 2009 (bawah) yang lebih banyak area terbuka akibat memanasnya kondisi sekitar akibat aktivitas manusia. Sumber: Landsat NASA

 

Puncak Jaya adalah satu dari beberapa puncak di gugusan pegunungan Jayawijaya, Papua. Pulau Papua sendiri bersebelahan dengan samudera Pasifik di sebelah utara. Dalam sebuah jurnal (2019), dinyatakan selain di Puncak Jaya, salju juga ditemukan di East Northwall Firn (4862 m), Carstensz Glacier (4844 m), dan West Northwall Firn (4750 m).

Indonesia menjadi satu dari 12 negara tropis yang memiliki gletser dan satu-satunya di Asia. Tujuh negara lain berasal dari Amerika Selatan yaitu Venezuela, Kolumbia, Ekuador, Peru, Bolivia, Chile, dan Argentina di pegunungan Andes. Di Afrika ada empat negara yaitu Kenya, Tanzania, Uganda, dan Kongo di mana gletser bisa ditemukan di pegunungan Kilimanjaro.

Pakar Klimatologi BMKG yang memimpin Studi Dampak Perubahan Iklim pada Gletser di Puncak Jaya, Donaldi Sukma Permana, menyebutkan di Jayawijaya hanya tinggal dua tempat yang masih bersalju, yaitu East Northwall Firn, dan Carstensz Glacier. Sedangkan yang di West Northwall Firn sudah hilang.

Donaldi juga menyampaikan dalam sebuah seminar yang diadakan BMKG Agustus lalu itu, bahwa luas es yang ada di Papua pernah mencapai 900 kilometer persegi. Hal itu terjadi sekitar 19 ribu hingga 22 ribu tahun lalu. Suhu kala itu sekitar 6 hingga 7 derajat lebih dingin dibanding sekarang.

“Sekitar 7 ribu tahun lalu es ini sempat hilang, namun Papua kembali memiliki es pada 5 ribu tahun lalu. Belakangan ketika masa revolusi industri dimulai, es kembali mencair.”

Sebuah teori menyebutkan, penyebab keberadaan gletser di kawasan tropis adalah suhu bumi yang dingin sekitar 600 juta tahun lalu. Saat itu bahkan laut pun permukaannya dilapisi es. Bumi dingin karena jumlah karbon dioksida menurun.

baca juga : The Last Glacier, Runtuhnya Salju Abadi Papua

 

Salju di gugus pegunungan Jayawijaya juga disebabkan karena hujan es dan suhu lingkungan yang berada di bawah titik beku air. Es justru bisa berada di lereng-lereng gunung sementara puncaknya sendiri tak diselimuti es karena telah mencair.

Suhu global yang meningkat telah menyebabkan hujan es jarang terjadi sehingga yang turun adalah air yang bersuhu di atas titik beku. Air hujan ini ikut melelehkan gletser yang terjebak pada lereng dan cekungan gunung. Sementara puncak gunung dan lereng yang terbuka akan terpapar sinar matahari yang turut membantu melelehkan salju.

“Sejak 1997 tren hujan yang bukan berupa es di puncak pegunungan semakin meningkat,” papar Donaldi.

Peristiwa El Nino meningkatkan suhu permukaan laut yang berada di atas rata-rata di Samudera Pasifik bagian tengah. El Nino menyebabkan pertumbuhan awan di Samudera Pasifik dan mengurangi curah hujan di wilayah sekitar termasuk Indonesia. La Nina adalah kebalikan dari El Nino.

Dia menerangkan, sebenarnya Papua menjadi salah satu tempat dengan curah hujan paling tinggi di dunia. Di wilayah tertentu jumlah hari hujan di Papua bisa sampai 330 hari dalam satu tahun. Pada saat El Nino mengalami kekeringan, namun pada saat La Nina uap airnya meningkat.

Meski begitu untuk sampai menjadi es tidak hanya memerlukan uap air tapi juga perlu kondisi cuaca yang cukup dingin. Karena dua hal ini tidak tercapai, pembentukan es jadi tidak maksimal.

“Fenomena El Nino mempercepat pencairan tutupan es di wilayah tropis, termasuk El Nino 2023 berpotensi mempercepat pencairan es tropis ini.”

baca juga : Pemanasan Global, Mempercepat Es Dunia Meleleh dan Mengancam Kehidupan

 

Gambaran gletser yang terus menipis terlihat dari foto yang diambil sejak 2010. Sumber: Jurnal PNAS, 9 Desember 2019

 

Menurutnya, pencairan tutupan es tropis di Puncak Jaya merupakan indikator sekaligus dampak dari fenomena perubahan iklim. Pada akhirnya pencairan gletser di pegunungan Jayawijaya berkontribusi pada gangguan terhadap ekosistem regional dan meningkatnya kenaikan air laut.

Dia sendiri menyebutkan sangat sedikit yang bisa dilakukan untuk menahan laju pelelehan gletser ini.

“Kita sekarang berada dalam posisi untuk mendokumentasikan proses menghilangnya gletser,” katanya, yang dikutip Guardian. “Setidaknya kita bisa mengisahkan kepada generasi di masa depan bahwa kita pernah memiliki gletser.”***

 

 

Exit mobile version