Mongabay.co.id

Cerita Aksi Warga Jaga Penyu di Pulau Terluar Kalimantan Selatan

 

 

 

 

 

 

 

Sejak remaja, Hasanuddin, sudah berburu telur penyu di Pulau Denawan, Kalimantan Selatan. Pekerjaan ini bertahun-tahun jadi sumber ekonomi pria 31 tahun ini.

“Pernah dulu sekali jual sampai 2.000 butir [telur],” katanya, September lalu.

Secara administratif,  Pulau Denawan masuk Desa Tanjung Nyiur, Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel).

Pulau tak berpenghuni ini masuk gugusan Pulau Sembilan.  Ia jadi tempat persinggahan penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) saat bertelur.

Lahan-lahan di Denawan diklaim sebagai milik beberapa penduduk dari Pulau Marabatuan. Kedua pulau ini berseberangan. Berjarak sekitar 1,5 mil atau 20 menit naik perahu nelayan.

Denawan dikelola koperasi masyarakat lokal bernama Pada Idi. Kerabat Hasan, Aziz mempunyai hak kelola atas sebidang tanah di Denawan.

Pria 47 tahun itu memegang selembar segel. Dengan hak kelola itu, mereka merasa berhak mengambil dan menjual apa saja yang ditemukan di atas lahan, termasuk telur penyu.

“Kami bebas mengambil telur penyu,” kata Hasan.

Terkadang Hasan dan Aziz menetaskan sebagian kecil telur itu. Selebihnya dijual ke Marabatuan atau ke Kotabaru, sekitar lima jam naik kapal perintis.

Di Marabatuan, sebutir telur penyu dihargai Rp2.500, sedangkan di Kotabaru Rp4.000. Bisa lebih mahal kalau dijual ke Kota Banjarmasin.

Bertahun-tahun Hasan hidup dari hasil menjual telur penyu.

 

Penyu akan bertelur di Pulau Denawan, kalse. Foto: Riyand R/ Mongabay Indonesia

 

 

Penyu hijau dan penyu sisik masuk daftar spesies Appendix I Convention International Trade Endangered Spesies (CITES). Di Indonesia, kedua satwa ini dilindungi UU  Nomor 5/1999 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Ia diperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

“Saat mulai tahu (aturan), saya takut, tapi masih menjual sembunyi-sembunyi,” katanya.

Pada 2015, Hasan menikahi perempuan asal Tanjung Lalak. Dia pun pindah ke Pulau Laut Kepulauan. Pada tahun-tahun itulah, Hasan makin jarang mendatangi Denawan dan perlahan berhenti berburu telur penyu.

“Saya cari nafkah lain. Sempat kerja serabutan, pernah juga kerja di perusahaan minyak.”

Aziz pun mulai berhenti ambil telur penyu.

Memasuki 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak melirik Pulau Denawan jadi wilayah konservasi penyu lewat program rencana aksi nasional (RAN) penyu I.

Justru di masa transisi perburuan penyu makin masif. Hasan ngeri melihatnya.

Tiap kali Hasan dan Aziz mengunjungi Denawan, tak jarang bertemu bangkai dan tulang belulang penyu. Penyu-penyu itu dibunuh untuk diambil telur dan bagian tubuhnya.

“Pemburu biasa menunggu penyu naik ke pantai untuk bertelur, tapi tak semua penyu langsung bertelur. Mereka menangkap dan perutnya disesar untuk diambil telurnya, atau bagian tubuhnya juga.”

Rentetan kasus pembunuhan penyu Pulau Denawan itu terjadi hampir setahun lamanya. Kenyataan ini pula yang menyadarkan Hasan dan Aziz betapa penyu harus dijaga.

Akhir 2016, program RAN Penyu I berjalan bekerja sama dengan Perkumpulan Pemerhati Alam dan Maslahat Lingkungan (Pamali) Indonesia, komunitas bentukan warga lokal.

Prihatin dengan nasib penyu, Aziz menawarkan diri jadi ranger penyu pertama di Pulau Denawan. Hasan menyusul bergabung pada 2018.

“Setelah bergabung di Pamali, saya diedukasi tentang betapa pentingnya keberadaan penyu dalam ekosistem alam. Jadi, sadar kalau selama ini saya salah,” kata Hasan lirih.

Dulu, katanya, dia sering jual dan makan telur penyu. “Sekarang sudah tidak berselera. Terlebih kalau melihat telur penyu gagal menetas, saya jadi sedih sendiri.”

Kesedihan Hasan bukan tanpa alasan. Menurut informasi dari para pemerhati penyu, buku atau jurnal yang pernah dibacanya, dari 1.000 telur yang berhasil menetas dan dilepas, kemungkinan besar hanya ada 1-2 tukik bertahan hidup menjadi penyu dewasa di alam liar.

Kini, Hasan dan Aziz bersama tiga ranger lain, Busdar, Afdal dan Alibar mencurahkan waktu dan tenaga menjaga keberlangsungan hidup penyu-penyu Denawan.

 

 

Tukik lepas liar di Pulau Denawan, Kalsel. Foto: Riyad Dafhi Rizki/ Mongabay Indonesia

 

Tetap lanjut

Sekitar empat tahun berjalan, program RAN penyu I berhenti pada pengujung 2019.

Meski berat, upaya konservasi tetap Pamali Indonesia, lanjutkan. Beranggotakan 10 orang dan dibantu lima ranger, Pamali tabah berjalan sendirian.

Sosok utama di balik Pamali adalah sang ketua, Abdul Malik. Dia guru SD di Pulau Marabatuan.

Dengan segala keterbatasan, Malik menjadi motor Pamali untuk pelestarian penyu di Pulau Denawan.

Malik menceritakan, dari malam sampai pagi, para ranger bergantian menyusuri pesisir pantai guna mencari sarang telur penyu. Bila ketemu dan dinilai rentan, mereka langsung dibawa ke lokasi penetasan (hatchery).

“Bila sarang yang dianggap terancam tidak dipindahkan, khawatir terendam pasang air laut, dicuri orang, atau dimakan biawak,” kata pria 45 tahun itu.

Sejak Januari-Agustus 2023, Pamali melepaskan 11.761 tukik penyu hijau dan 4.359 tukik penyu sisik.

 

 

Penjaga penyu yang sedang naik ke Pulau Denawan, Kalsel. Foto: Foto: Riyad Dafhi Rizki/ Mongabay Indonesia

 

Berbagai ancaman

Pelestarian penyu di Pulau Denawan, tak hanya berhadapan dengan maling. Lawan terberat justru alam itu sendiri.

Dari jurnal yang pernah dibaca Malik, memanasnya suhu pasir pantai membuat jenis kelamin tukik yang keluar dari telur penyu menjadi tak seimbang.

Jurnal Jana Blechschmidt, Meike J Wittmann, dan Chantal Blüml (2020) yang berjudul ‘Perubahan Iklim dan Rasio Jenis Kelamin Penyu Hijau–Mencegah Kemungkinan Kepunahan’ menyebut, makin hangat suhu telur maka makin tinggi kemungkinan menetasnya betina.

Suhu yang terlalu panas juga meningkatkan angka kematian telur. “Khawatir mengganggu pola kembang biak penyu di masa mendatang,” kata Malik.

Pasir pantai yang hilang karena abrasi juga jadi masalah. Pantai adalah habitat penyu, katanya, pasir pasir membuat satwa ini enggan naik ke pantai untuk bertelur.

Penyu juga berhadapan dengan maraknya penambangan pasir pantai.

Mereka yang memegang hak kelola lahan di Pulau Denawan terus-menerus mengeruk pasir pantai.

“Kadang kami tak bisa menegur. Soalnya mereka punya kuasa atas lahannya. Meskipun sebenarnya status lemah karena menyangkut garis sempadan pantai. Namun kami tak mau keras, karena mereka ini orang-orang yang kami kenal juga,” kata Malik.

Pasir Denawan dikeruk untuk membangun rumah warga atau beberapa proyek desa di Marabatuan. Mengingat harga material dari luar pulau sangat mahal karena ongkos angkut tinggi, kian sulit saja untuk menyetop penambangan ilegal itu.

Kini, konservasi hanya bisa dilakukan di lahan terbatas yang hak kelola dipegang Aziz.

“Di area lain, pasir pantai sudah berganti batu koral. Kalau sudah begitu, tidak akan ada penyu yang mau naik untuk bertelur,” katanya.

 

Para penjaga penyu di Pulau Denawan, Kalsel. Foto: Pamali

 

Ancaman lain, meski telah dijaga, masih saja ada orang yang mengintai dan mencoba memburu penyu.

Mereka menunggu para ranger lengah. Dia contohkan, saat Lebaran beberapa tahun lalu, ketika para ranger pulang berhari raya bersama keluarga, pemburu penyu beraksi.

Pamali memikul tugas super berat untuk menyadarkan masyarakat lokal agar lebih peduli pada nasib penyu.

Ancaman penyu masih ada. Nelayan pengguna alat tangkap cantrang kerap melintas di sekitar Pulau Denawan juga ancaman. Mereka menangkap ikan dengan cantrang sering ikut menjerat penyu remaja dan dewasa.

Malik pun bertanya-tanya. “Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab menjerat dan menghukum mereka para pemburu penyu, penambang pasir, dan nelayan yang kurang berhati-hati? Seingat Malik, nyaris tidak pernah ada tindakan tegas.

“Kepedulian masyarakat biasa tumbuh seiring perhatian dari para pemegang otoritas.”

Pamali menolak berpangku tangan. “Berlaku keras juga percuma. Prinsip kami, yang utama mengedukasi. Harapannya, akan lebih banyak yang tersadar.”

Pamali berencana memperluas cakupan wilayah kerja konservasi penyu di Pulau Sembilan karena Denawan bukan satu-satunya pulau di Kotabaru yang menjadi habitat penyu.

Di antara gugusan Pulau Sembilan, masih ada Pulau Pamalikan, Pulau Maradapan, Pulau Kalambau, Pulau Matasiri, dan Pulau Payung-Payungan.

Di kecamatan tetangga, ada Birah-Birahan di Kecamatan Pulau Laut Kepulauan dan Pulau Samber Gelap di Kecamatan Pulau Laut Timur.

Kabarnya, di wilayah lain bahkan intensitas perburuan penyu dan penambangan pasir lebih gila.

Pada 2024, Pamali akan memulai konservasi di Pulau Pamalikan, berjarak empat jam perjalanan dari Marabatuan.

Pamali sudah bolak balik survei ke sana. “Insya Allah, dengan izin Tuhan, tahun depan kami memulai konservasi di Pamalikan,” kata Malik.

 

Penyu di Pulau Denawan, Kalsel, yang terancam berbagai hal dari perburuan sampai habitat rusak. Foto: Riyad Dafhi Rizki/ Mongabay Indonesia

 

 

Andaikan saja…

Perhatian pemerintah pusat, Pemerintah Kalsel dan Pemerintah Kotabaru sangat dinantikan di Pulau Sembilan.

Perburuan penyu dan penambangan pasir pantai yang ugal-ugalan bisa teratasi andai pemerintah mau turun tangan. Malik bilang, tak mungkin hanya berharap pada kesadaran masyarakat.

“Tingkat kepatuhan masyarakat masih rendah. Perlu peran pemerintah untuk mengurangi pemanfaatan ekstraktif penyu dan produk-produk turunan seperti telur, daging, sisik dan pasir peneluran,” kata Malik.

Aparat dan pejabat berwenang, katanya,  juga bisa menindak tegas oknum-oknum yang melakukan aksi-aksi ilegal.

Apa kata pemerintah daerah? Rusdi Hartono,  Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, berdalih,  wewenang DKP terbatas pada konservasi di wilayah ruang laut. Hanya pelestarian mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.

“Kalau penyu itu, kewenangan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam),” katanya.

DKP, katanya,  konservasi di wilayah ruang laut seluas 176.659 hektar terbagi dalam empat area.  Yakni, Angsana (Tanah Bumbu), Sungai Loban (Tanah Bumbu), Pulau Laut dan Pulau Sembilan (Kotabaru), dan Samber Gelap (Kotabaru). Di Pulau Laut dan Pulau Sembilan luas wilayah konservasi 158.717 hektar.

Rusdi bilang, DKP pernah berencana membangun menara pengawas untuk membantu konservasi penyu di Pulau Denawan.

“Ketika hampir realisasi, pengelola lahan yang sebelumnya setuju tiba-tiba berubah pikiran dan enggan menghibahkan lahan. Alasannya, ada sengketa dengan saudara. Ini kendalanya.”

Rencana lain, DKP hendak membentuk unit pelaksana teknis daerah (UPTD) berkantor di Angasana khusus mengurusi konservasi wilayah laut di empat area itu.

“Harapannya tahun ini. Kalau sudah ada UPTD, bisa lebih fokus,” kata Rusdi.

Terpisah, Mahrus Aryadi, Kepala BKSDA Kalsel, mengatakan, penyelamatan satwa dilindungi hukumnya wajib. “Silakan laporkan bila ada perburuan maupun tambang pasir. Kami akan turun langsung,” katanya.

Walaupun dia mengakui terkendala personel minim, jarak jauh dan ongkos mahal karena Pulau Denawan berada di ujung provinsi hingga sulit patroli rutin ke sana.

Cuaca juga menjadi alasan Mahrus. “Kadang gelombang tinggi. Jadi agak sulit untuk mengaksesnya,” katanya.

Setidaknya, Mahrus berjanji mendatangi Denawan. “Ada rencana turun ke sana. Monitoring sekaligus edukasi masyarakat lokal.”

 

Tukik lepas liar di Pulau Denawan, kalsel. Penyu-penyu yang mendarat di pulau-pulau terliuar di Kalimantan Selatan ini perlu perhatian serius pemerintah. Foto: Riyad Dafhi Rizki/ Mongabay Indonesia

 

Masih jual sembunyi-sembunyi

Ratusan kilometer dari Pulau Sembilan, Banjarmasin, masih mudah menjumpai praktik perdagangan telur penyu. Di kawasan Pasar Sudimampir, misal. Dulu, di sini telur penyu dijual terang-terangan, sekarang agak malu-malu.

Pada 18 September lalu, saya mendatangi kios di sudut pasar yang menjual kue kering. Ketika ditanya apakah ada telur penyu, si pedagang mengiyakan.

Harga per butir telur Rp10.000-Rp15.000, tergantung ukuran.

Telur penyu tak dipajang di depan kios, tetapi disimpan dalam termos. Penjual bilang, dapat te;ur dari seseorang asal Kotabaru dengan harga Rp5.000 per butir.

“Sudah 35 tahun saya berjualan ini, turun temurun dari orang tua,” katanya bangga.

 

Telur penyu, salah satu target buruan yang masih terus dijual hingga kini di pasar-pasar di Kalsel. Dulu pedagang jual terbuka, kini sembunyi-sembunyi. Foto: Riyad Dafhi Rizki/ Mongabay Indonesia

 

Beralih ke tepi Jalan Pangeran Hidayatullah, ada lapak yang menaruh kertas bertuliskan ‘jual telur’. Barang juga tak terlihat. Telur penyu itu disimpan dalam termos nasi.

Bedanya, pedagang yang satu ini tak berjualan saban hari. “Kemarin ada. Tak setiap hari jualan. Karena telur tidak setiap hari ada. Kadang suaminya berjualan di Jalan Ahmad Yani kilometer 5,” kata penjual buah duku di sebelahnya.

Selain dua lokasi ini, penjual telur penyu juga bisa didapati di Kabupaten Banjar, seperti di Jalan Ahmad Yani kilometer 7 Kertak Hanyar dan kilometer 17 Gambut.

Di Facebook, seseorang asal Martapura menawarkan penyu sisik yang sudah diawetkan Rp1 juta. Dihubungi via WhatsApp, dia bilang satwa sudah tidak ada. Saat ditanya dapat dari mana, dia jawab dari tempat sampah.

“Kemarin kawan saya nemu, lalu dikasih ke saya. Terus saya buang lagi,” katanya.  Tak lama, unggahan penawaran sisik penyu itu dihapus.

Kala belum ada kesadaran dan perhatian serius dari para pihak, perburuan dan perdagangan tak reda, kerusakan habitat terus berlanjut, penyu di ambang kepunahan.

“Keberlangsungan hidup penyu ini penting sekali untuk dijaga,” kata Hasan.

 

Tulang belulang penyu. Penyu dibantai untuk diambil telur dan cangkangnya. Foto: Pamali

********

 

Exit mobile version