Mongabay.co.id

Membangun Ekonomi Hijau di Tengah Salah Musim Akibat Perubahan Iklim

 

Kearifan lokal memahami pola alam terbukti mampu membawa masyarakatnya berdaya. Seperti Kampung Tangsijaya, Desa Gununghalu, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dimana warganya memanfaatkan dan mengolah arus sungai menjadi energi listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

Kampung dengan latar hutan dan gunung yang singkur itu sudah berswasembada energi sejak 2007 silam. Jernih dan derasnya sungai perlahan mengundang sejahtera bagi 85 kepala keluarga tani.

Salah satu penggagas PLTMH Tangsijaya, Toto Sutanto (45) berkisah. Mulanya ide memanfaatkan sungai muncul dari inisiatif kampung tetangga. Berbekal pengetahuan seadanya, mereka menggunakan dinamo untuk menghasilkan listrik sederhana.

“Sebelum adanya PLTMH, orang tua kami dulu ngulik menggunakan kincir air untuk menghasilkan listrik. Itu pun hanya cukup menghidupkan lampu pada satu atau dua rumah sepanjang malam,” katanya ditemui di penghujung September lalu.

Pagi itu, Toto menemani Iden Permana (20), operator PLTMH, mengecek turbin di power house berjarak 50 meter dari pemukiman penduduk. Dari perlengkapan yang tersedia di sana, agaknya, PLTMH ini cukup bisa diandalkan. Kapasitas dayanya 18.000 watt atau 18 kilowatt (KW). Dan jangkauan listrik sudah sampai 1 kilometer.

Pengecekan rutin dilakukan agar kinerja turbin optimal. Sebelum masuk pipa, air dari Sungai Ciputri ditampung dalam sebuah kolam yang dilengkapi penyaring. Dari sana, pasokan air 400 liter per detik mampu memutar turbin dan menghasilkan listrik yang dipakai warga Tangsijaya.

baca : Masyarakat Adat Moa Penuhi Energi dari Air yang Melimpah

 

Potret Toto Sutanto (45) dan Opan (51) penggagas Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) berkapasitas 18 kilowatt di Kampung Tangsijaya, Desa Gununghalu, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sebelum penggunaan PLTMH, kampung tersebut hanya mengandalkan putaran kincir air selama 10 tahun lamanya. Jika temaram tiba, warga pakai cempor atau petromak sebagai penerangan.

Toto tak ingat berapa banyak kincir air yang dibikin warga waktu itu. Tapi lewat kincir air, katanya, kampungnya dikenal.

Sampai-sampai seorang peneliti dari Cihanjuang, Kota Cimahi datang ke Tangsijaya pada 2004. Dari sana harapan memperoleh pasokan listrik memadai pun terwujud.

Warga dibantu membangun pikohidro, pembangkit listrik tenaga air sungai dengan daya lebih besar karena mulai memakai generator. Kapasitasnya 3.000 watt atau 3 KW.

Sejak itu, Toto bertekad belajar ihwal energi alternatif itu. Dengan modal bercerita potensi air di kampungnya, dia memberanikan diri untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak.

Toto mengaku tak asal bicara. Kesungguhan untuk mendapatkan pasokan listrik ditunjukkan dengan tekun memelihara fasilitas.

“Kebetulan saya bertemu dengan Pengurus Asosiasi Hidro Bandung. Saya jelaskan dan mereka paham sehingga bersedia bantu merekomendasikan Kampung Tangsijaya untuk mendapatkan bantuan pembangunan PLTMH dari pemerintah,” terang Toto.

Kata Toto, syarat pertama penerima PLTMH adalah sumber air yang akan dikembangkan harus memiliki energi potensial yang stabil. Sebab upaya memproduksi listrik dengan energi terbarukan perlu didukung kelestarian alam di sekitar.

Beruntung, Tangsijaya berhasil mencuri kesempatan itu. Dan momentumnya pun pas kala Pemerintah Provinsi Jabar sedang menggalakkan program listrik masuk desa.

baca juga : Tak Perlu PLN, Warga Lereng Slamet Mandiri Energi dari Sumber Air [1]

 

Power House Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) berkapasitas 18 kilowatt di Kampung Tangsijaya, Desa Gununghalu, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, pengembangan mikrohidro dapat direalisasikan berdasarkan tingkat kebutuhan masyarakat. Ada tiga macam teknologi mikrohidro, yaitu pikohidro dengan kemampuan 1-5 KW, mikrohidro dengan daya 5 kW-1 MW, dan minihidro dengan kemampuan diatas 1 MW.

Didanai Dinas ESDM Provinsi Jabar, PLTMH Rimba Lestari resmi berdiri pada 2007. Nama itu diambil, merujuk letak geografis Tangsijaya yang berada di kaki Gunung Masigit.

Setelah 16 tahun beroperasi, warga Tangsijaya sudah bisa memanen senyum. Mereka gembira karena memperoleh listrik yang bersih dan murah. Ada sekitar 80 rumah yang disuplai listriknya.

Toto bilang, tiap warga mendapat jatah 450 watt. Biaya iuran listrik dipungut Rp25 ribu per bulan Bagi warga jompo, tidak dimintai bayaran alias gratis. Begitu juga dengan fasilitas umum seperti sarana ibadah dan sekolah.

 

Menanam Kopi, Memanen Energi

Energi terbarukan tak hanya menerangi kehidupan warga, tapi juga mampu mendongkrak perekonomian mereka. Malah Tangsijaya makin berdikari lantaran pengelolaannya melalui skema koperasi.

Saat ini Koperasi Rimba Lestari memiliki 2 unit usaha. PLTMH serta pusat pengolahan kopi arabika dan robusta.

“Karena disarankan untuk membentuk kelembagaan, maka tahun 2010 kami bikin koperasi. Tujuannya agar lebih terorganisir. Namun, seiring berjalannya waktu, koperasi berkembang dan pengolahan kopi masuk sebagai unit usaha baru,” terang Toto.

Unit pengolahan kopi memiliki 100 anggota dengan cakupan wilayah tanam 50 hektar. Dua puluh anggota diantaranya merupakan warga kampung sebelah, sisanya adalah warga sekaligus pelanggan PLTMH.

baca juga : Hebatnya Mata Air Jiwata, yang Mampu Terangi Desa Tepian Terap Lewat Mikro Hidro

 

Foto udara Kampung Tangsijaya yang memanfaatkan mikrohidro untuk menghasilkan listrik bagi 80 rumah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dalam pengelolaan kopi, sejumlah anak muda turut menggawangi agar bantu petani tetap sejahtera. Mereka ikut berbagi ide. Oleh karenanya, sebagian petani diberdayakan menanam kopi demi menjaga kawasan resapan air untuk dapat memanen energi berkelanjutan.

Juan Mulyana (33), misalnya. Pemuda Tangsijaya tersebut pernah memenangi Kontes Barista pada Festival Kopi Bandung Barat 2022 lalu.

Keahlian meracik kopi, sukses membikin produk kopi dengan merek Tangsi Wangi diminati pasar. Peluang ini, kata Aweng, sapaan Juan, cukup menjanjikan. Sebab dalam setahun ada potensi panen buah ceri kopi hingga 40 ton.

“Untuk itu, kami mencoba berkreasi melakukan pengolahan yang baik,” katanya.

Aweng menuturkan, sebelumnya buah ceri kopi dijual dengan harga di bawah Rp10.000 per kilogram kepada pengepul. Melalui koperasi, petani diberi berbagai pelatihan, mulai dari cara menanam kopi hingga proses pasca panen. Petani semakin terampil. Buah ceri bisa dihargai Rp18.000 per kg.

Dengan budi daya dan pengolahan yang tepat, cita rasa kopi asal Gunung Halu mampu bersaing. Terbukti pada 2022, Pameran World of Coffee di Milan, Italia, kopi arabika Gunung Halu masuk 10 besar kopi terbaik. Dan juara pertama kontes kopi untuk kategori arabika full wash di Jakarta.

Penghargaan itu cukup menggenjot penjualan. Untuk Produksi green bean dijual seharga Rp120.000 per kg. Sementara bubuk kopi full wash dihargai Rp120.000 per kg.

“Rata-rata 150 kg tiap bulan. Omset sekitar Rp20 jutaan. Alhamdulillah,” ucap Aweng tersenyum.

baca juga : Nyala Terang Listrik di Boon Pring Bersumber dari Mikro Hidro

 

Kegiatan pengolahan kopi berbasis di Koperasi Rimba Lestari. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tidak ingin sekadar menyuguhi aroma dan rasa. Aweng juga cakap menangkap peluang sekaligus membuat standar baru tentang pengolahan kopi berbasis mikrohidro.

“Ke setiap konsumen pasti saya ceritakan bahwa kopi di sini memakai energi bersih dan berkelanjutan,” ujar Aweng. Strategi marketing semacam ini dibuat agar orang-orang paham bahwa rasa yang otentik hadir dari keasrian alam.

 

Komitmen Pembangunan Berkelanjutan

Toto menjelaskan, pusat pengolahan kopi diprakarsai dukungan Universitas Darma Persada (Unsada) lewat program desa mandiri energi dan ekonomi. Berawal dari kelebihan daya 3 KW menjadi jalan mengoperasikan energi terbarukan ke sektor ekonomi. Apalagi selama ini aliran listrik 18 KW lebih banyak dimanfaatkan oleh warga pada malam hari.

Pusat pengelolaan ini pun mendapat donor dari Jepang sebesar Rp1,98 miliar pada 2017 untuk menerapkan ekonomi sirkular yang mampu berkontribusi positif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Dalam aspek sosial, misalnya, koperasi selalu membuka lowongan pekerjaan kepada ibu-ibu ketika panen raya. Harga kopi dari petani dibeli lebih tinggi, tujuannya agar mereka mau merawat tanaman dan juga hutannya.

Belakangan pikiran warga perlahan mengakar. Mereka patuh pada aturan tumpang sari oleh Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan. Dengan sendirinya warga turut ambil bagian menjaga aset negara berupa hutan lindung seluas 7.639 hektar di Gunung Halu.

Khusus untuk pemeliharaan, Toto memberdayakan pemuda demi keberlangsungan PLTMH. Iden dan empat pemuda lain mendapat upah Rp100.000 per bulan. Tugas mereka adalah menagih dan memastikan arus air tidak terhambat.

“Mereka adalah generasi ketiga kampung yang meneruskan PLTMH,” tutur Toto.

Toto percaya, pembangunan PLTMH tidak akan lancar tanpa kerja sama yang sinergis. Pemerintah membantu dalam penyediaan jaringan listrik, pengusaha menyediakan peralatan permesinan, dan masyarakat bertugas merawat fasilitas yang ada. Tanpa kerja sama ini, PLTMH hanya akan menjadi museum di kemudian hari.

Ke depan, mimpi Toto masih panjang. Apalagi wacana menambah PLTMH II berkapasitas 30 KW tinggal menunggu realisasi dari Kementerian ESDM.

“Rencananya tahun depan mulai pembangunan,” kata Toto penuh harap.

baca juga : Menanti Listrik Mikro Hidro Menerangi Ampiri Lagi

 

Foto udara Kampung Tangsijaya yang memanfaatkan mikrohidro untuk menghasilkan listrik bagi 80 rumah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, puluhan kilometer dari Tangsijaya, Pemprov Jabar punya West Java Energy Forum (WJEF) yang mengejar 12 proyek EBT sebesar 145 MW dengan nilai investasi hingga pembiayaan hijau mencapai 82 juta dolar AS. Mungkin dengan skala yang lebih besar, pemerintah berkeinginan memberi banyak manfaat berlipat bagi warga Jabar di kemudian hari.

Di Forum yang sama, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jabar Erwin Gunawan Hutapea, mengatakan, BI punya fokus dorongan investasi food security dan renewable energy. Kendati potensi energi terbarukan cukup melimpah bagi pembangunan hijau di masa depan, namun dari sisi perbankan perlu ditingkatkan lagi dukungan pembiayaan hijau bagi investor.

Memang tidak mudah. Butuh kebijakan dan komitmen yang kokoh dalam menjalankan transisi energi. Tapi apa boleh buat, pembiayaan dan pembangunan yang rakus energi fosil perlu ditinggalkan demi bumi yang kini sering kali salah musim akibat perubahan iklim. (***)

 

 

Exit mobile version