Mongabay.co.id

Permen Sedimentasi Laut Rampung, Walhi: Bukti Bluewashing Pemerintah

 

Meskipun beberapa waktu lalu banyak mendapat penolakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mengesahkan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi laut. Progresnya satu minggu yang lalu, pemerintah baru merampungkan aturan turunannya dalam bentuk Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2023, tentang peraturan pelaksanaan PP Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Aturan tersebut menjadi acuan pengusaha atau industri untuk ikut dalam pengelolaan sedimentasi pasir laut tersebut. “Bagaimana proses bisnis (pengelolaan sedimentasi pasir laut) sudah ada disana (Permen KP RI No.33/2023),” kata Dr. Miftahul Huda Direktur Jasa Kelautan Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, usai menjadi narasumber dalam kegiatan Sosialisasi dan Konsultasi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Sumberdaya dan Ruang Laut di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Hotel Best Western Panbil Batam, Rabu 25 Oktober 2023.

Huda mengatakan, pengusaha yang ingin berpartisipasi dalam pengelolaan sedimentasi laut sudah bisa mempersiapkan dokumen  berdasarkan aturan Permen KP No.33/2023 tersebut. “Setelah permen itu keluar, makanya kami langsung sosialisasi kesini (Batam), karena yang paling banyak timbul pertanyaan dari Batam dan Karimun,” kata Huda.

“Sekarang (pengusaha) sudah bisa siapkan dokumen kalau mau ikut partisipasi (pengelolaan sedimentasi laut), silahkan ikuti dokumen sesuai Permen 33, habis itu bidding, kalau dokumen lengkap bisa lanjut,” katanya.

baca : Kabar Rencana Penambangan Pasir Laut Khawatirkan Warga Pesisir Demak

 

Kegiatan Sosialisasi dan Konsultasi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Sumberdaya dan Ruang Laut di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Batam, Rabu 25 Oktober 2023. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Dalam pemaparan Miftahul Huda, setidaknya ada empat poin khusus penyebab pengelolaan sedimentasi laut tidak bisa dilaksanakan yang harus diperhatikan pengusaha. Diantaranya, pertama sedimentasi laut tidak bisa dilakukan di daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan pelabuhan, dan terminal khusus yang telah dimuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.

Kedua, wilayah izin usaha pertambangan dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. Ketiga, alur pelayaran dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. “Dan juga terakhir, pengelolaan sedimentasi laut ini juga dilarang di zona inti kawasan konservasi kecuali untuk kepentingan pengelolaan kawasan konservasi,” ujarnya.

Huda menegaskan, saat ini selain sudah terbitnya Permen yang menjadi acuan pengusaha sedimentasi laut mengajukan izin, tim pakar juga sedang bekerja memastikan titik lokasi perairan bisa dilaksanakan sedimentasi pasir laut hingga volume. “Tim sedang bekerja, lokasi potensi sedimentasi laut di Indonesia sangat tergantung proses kerja tim kajian,” katanya.

Sosialisasi dan konsultasi publik terkait aturan sedimentasi laut terus dilaksanakan KKP, terutama di Batam. “Kita laksanakan di Batam, karena kita sangat konsen, Batam punya isu ini (sedimentasi laut),” katanya.

Namun, Huda menepis soal dugaan potensi sedimentasi laut yang paling banyak berada di Batam ataupun Kepulauan Riau. PP No.26/2023 itu mengatur di seluruh Indonesia, baik itu Ambon, Jakarta, Makasar dan lainnya.

Huda juga menegaskan, pengelolaan sedimentasi laut ini diprioritaskan untuk kebutuhan reklamasi dalam negeri, setelah semua terpenuhi baru kemudian kebutuhan ekspor.

Huda menegaskan, pengusaha yang memiliki IUP atau izin tambang berbeda dengan izin sedimentasi laut. Makanya dalam poin pengecualian, sedimentasi laut tidak bisa dilakukan di kawasan pertambangan. “Tadi dalam diskusi masih banyak yang menanyakan itu, sudah kita sampaikan itu berbeda,” katanya.

baca juga : Ekspor Pasir Laut Dibuka Jokowi, Mimpi Buruk Nelayan Kepri Terjadi Lagi

 

Aksi aktivis WALHI Sulsel bentangkan spanduk menolak kehadiran PP No.26 tahun 2023 tentang pengelolaan sedimentasi laut, di wilayah bekas tambang pasir laut di perairan Sangkarrang, Makassar, Senin (31/7/2023). Foto: WALHI Sulsel.

 

Pengawasan Ketat

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam Turman Hardianto Maha memastikan, pihaknya sudah mempersiapkan sistem pengawasan ketat untuk kapal perusahaan yang melakukan pengelolaan sedimentasi laut.

“Kita mempersiapkan pengawasan di kapal, dengan tracking VMS (Vessel Monitoring System), kapal dari manapun harus instal VMS,” kata Turman.

Turman memastikan, kalau kapal besar VMS tidak mungkin dimatikan dengan alasan apapun. Apalagi di atas kapal tersebut juga ada yang mengawasi. “Jadi kalau buat nyolong bawa ke Singapura, bisa dideteksi,” katanya.

Turman tidak menyangkal selama ini banyak yang mencuri pasir di perairan Kepri kemudian dibawa ke Singapura. “Karena selama ini belum ada kewajiban (pasang VMS), makanya selama ini ada yang nyuri, termasuk misalnya kasus penyelundupan BBL (Benih Baby Lobster), memang susah dideteksi, kalau sudah pasang VMS susah sangat susah untuk mereka melakukan pencurian,” katanya.

Konsultasi publik ini banyak dihadiri oleh pengusaha tambang pasir laut yang memegang izin usaha pertambangan (IUP). Beberapa dari mereka masih menanyakan terkait perusahaan tambang pasir laut sampai sekarang belum bisa beraktifitas. Namun, KKP menegaskan perusahaan pertambangan berada di Kementerian ESDM.

Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL) Kepulauan Riau Irsafwin mengatakan, meski banyak anggota APPL memiliki pengelolaan IUP tambang pasir laut,  tetapi sampai saat ini tambang pasir laut masih terhambat.

Irsafwin belum memutuskan apakah akan ikut mengajukan izin pengelolaan sedimentasi laut tersebut. “Sekarang lagi kita coba akan mengadakan FGD (focus group discussion) bersama pengusaha yang memegang izin tambang, kita yang jelas sekarang masih terhambat melakukan aktivitas,” katanya. Setidaknya di Kepri terdapat 20 perusahaan tambang pasir laut yang sudah memiliki IUP, paling banyak di Kabupaten Karimun.

baca juga : Dampak Tambang Pasir Laut dan Perubahan Iklim yang Mengancam Nelayan Pulau Kodingareng

 

Aktivitas penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : independensi.com

 

PP Sedimentasi Laut Harus Dicabut

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, merespon atas terbitnya Permen KP Nomor 33 Tahun 2023 tersebut. Menurutnya, Pemerintah Indonesia tidak mau memperdulikan aspirasi masyarakat pesisir di seluruh Indonesia, khususnya nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, perempuan nelayan, serta pelaku perikanan rakyat. Kehadiran PP 26 tahun 2023 itu tentu belakangan menimbulkan penolakan dari nelayan, seperti ketakutan nelayan pada tulisan Mongabay sebelumnya disini (https://www.mongabay.co.id/2023/06/04/ekspor-pasir-laut-dibuka-jokowi-mimpi-buruk-nelayan-kepri-terjadi-lagi/)

Parid menilai bahwa penerbitan Permen KP Nomor 33 Tahun 2023 semakin mengokohkan peran dan posisi pemerintah Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan pengusaha besar di sektor tambang pasir laut. “Kami melihat, permen itu terbit bukti kepentingan Pemerintah untuk memberikan karpet merah bagi perusahaan skala besar yang akan mengeksploitasi pasir laut di Indonesia dari Sabang sampai Merauke,” kata Parid dalam pernyataan tertulisnya, yang diterima Mongabay Indonesia, Rabu, 25 Oktober 2023.

Parid menjelaskan aturan itu merupakan bentuk bluewashing. Dengan kata lain, Pemerintah mengklaim bahwa melalui PP No.26/2023 dan Permen KP No 33/2023 akan melindungi pesisir dan laut serta menjaga kesehatan laut, tetapi sesungguhnya regulasi ini akan semakin menghancurkan ekosistem pesisir dan laut serta merugikan kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia.

Hal tersebut, kata Parid tergambar dalam Pasal 2 Permen KP No.33/2023 yang menyebut pengelolaan hasil sedimentasi di laut dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut; dan mengoptimalkan Hasil Sedimentasi di Laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

“Namun, jika dilanjutkan membaca pasal-pasal selanjutnya, terutama pasal 19 sampai dengan selanjutnya, akan terlihat tujuan asli dari regulasi ini, yaitu memberikan karpet merah untuk pengusaha skala besar. Kami mendesak Pemerintah untuk segera mencabut PP No.26/2023 dan Permen KP No.33/2023,” ungkapnya. (***)

 

Exit mobile version