Mongabay.co.id

Petani Sawit Swadaya Membutuhkan Dukungan Pemerintah dan Uni Eropa

Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun industri ini sejak lama dikaitkan dengan berbagai permasalahan lingkungan seperti penggundulan hutan dan perusakan habitat. Luasan perkebunan sawit yang menjadi penyebab hilangnya tutupan hutan seluas 3,1 juta hektar antara tahun 1990 dan 2010 (seperempat luas Pulau Jawa). Pada saat yang sama, sektor ini menjadi mata pencaharian bagi jutaan masyarakat Indonesia – sekitar 2,6 juta petani swadaya kelapa sawit dan keluarganya, serta sekitar 16 juta pekerja.

Salah satu importir minyak sawit terbesar Indonesia adalah Uni Eropa. Dalam upaya untuk menghentikan relasi antara konsumsi pasarnya dengan deforestasi global, baru-baru ini Uni Eropa telah mengadopsi Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang mewajibkan perusahaan yang memperdagangkan komoditas tertentu, -termasuk sawit, memastikan produknya tidak berasal dari deforestasi dan degradasi hutan terkini.

Meskipun tujuan EUDR ini mulia, dampaknya terhadap petani swadaya di Indonesia akan sangat buruk jika tidak ada upaya yang dilakukan Pemerintah dan konsumen.

 

Buah kelapa sawit di keranjang sepeda motor. Petani kecil sering kali mempekerjakan pekerja dari komunitas mereka, sehingga menciptakan dampak aktivitas ekonomi dan ikatan unik pembentukan sosial baru. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

Baca juga: Uji Tuntas Uni Eropa Dorong Tata Kelola Sawit, Bagaimana Penguatan Petani Mandiri

 

Mengapa Petani Swadaya Penting?

Industri sawit Indonesia sering sekali dikaitkan dengan perkebunan milik perusahaan agribisnis raksasa. Namun, terdapat juga segmen lain dari industri ini yang penting dan sering diabaikan yaitu petani swadaya yang memiliki dan mengolah lahan yang relatif lebih kecil, namun memainkan peran penting dalam sektor sawit di Indonesia.

Pentingnya posisi mereka melebihi sekadar angka; kontribusi terhadap mata pencaharian dan ekonomi di daerah pedesaan, pengentasan kemiskinan, dan ikut membentuk struktur sosial secara keseluruhan.

Petani sawit swadaya di Indonesia umumnya hanya mengelola lahan beberapa hektar. Meski kepemilikan individu mereka mungkin kecil, namun dampak kolektifnya sangat besar. Diperkirakan petani kecil menyumbang sekitar 40% dari total produksi sawit Indonesia. Hal ini membuat peran mereka tidak tergantikan untuk mendukung kinerja dan keluaran industri secara keseluruhan.

Salah satu kontribusi paling signifikan petani sawit swadaya adalah di aspek mata pencaharian daerah perdesaan. Banyak dari mereka tinggal di perdesaan dan daerah-daerah yang secara ekonomi kurang beruntung di Indonesia. Budidaya sawit tidak hanya menjadi sumber pendapatan bagi diri mereka sendiri, tetapi turut menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.

Para petani sawit swadaya sering mempekerjakan anggota komunitas mereka, yang menciptakan dampak lanjut dari aktivitas ekonomi dan membentuk ikatan sosial baru yang unik. Selain itu, pendapatan dari budidaya sawit tidak hanya dipergunakan untuk belanja rumah tangga, tapi juga menopang perekonomian lokal di tingkat mikro.

Meskipun para petani sawit swadaya berperan penting bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia, ada berbagai tantangan yang menghambat kemampuan mereka untuk berkembang dan terlibat dalam praktik-praktik berkelanjutan.

Salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi petani sawit swadaya adalah lemahnya pengakuan hukum dari Pemerintah.  Pengakuan hukum terkait hak atas tanah bagi petani sawit swadaya adalah isu warisan yang kontroversial di Indonesia, dan meski ada upaya mendorong pengakuan, prosesnya berjalan lambat dan dipenuhi hambatan birokrasi.

 

Tumpukan buah kelapa sawit yang telah dipanen. Foto: Rhett A. Butler / Mongabay.

 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan keragu-raguan Pemerintah dalam mengakui hak atas tanah bagi para petani sawit swadaya.

Pertama, kompleksitas sistem kepemilikan tanah di Indonesia, seringkali mengabaikan hak-hak petani atas tanah yang mengakibatkan lahirnya konflik agraria, akibatnya timbul ketidakpastian hukum yang menghambat akses petani terhadap sumber daya dan pendanaan.

Kedua, perusahaan agribisnis besar di Indonesia secara historis mempunyai pengaruh yang lebih signifikan dalam tata politik dan perumusan kebijakan. Pengaruh ini sering menciptakan situasi yang tidak menguntungkan bagi petani kecil yang mencari pengakuan hukum.

Kurangnya pengakuan hukum juga berdampak besar pada kemampuan petani sawit swadaya untuk mengadopsi praktik berkelanjutan. Tanpa pengakuan formal, petani akan menghadapi kesulitan dalam mengakses sumber daya dan sistem pendukung yang dapat membantu penerapan metode pertanian berkelanjutan.

Hambatan besar lain yang dihadapi oleh petani sawit swadaya yang belum mendapat pengakuan hak atas tanah, adalah terbatasnya akses mereka terhadap sumber pendanaan.

Bank dan lembaga-lembaga keuangan seringkali ragu dalam memberikan pinjaman atau kredit kepada petani yang tidak memiliki sertifikat tanah yang jelas. Akibatnya, petani menjadi kesulitan berinvestasi dalam praktik pertanian berkelanjutan, seperti penanaman kembali dengan varietas bibit sawit yang lebih produktif atau menerapkan teknik pertanian ramah lingkungan.

Selain itu, petani sawit swadaya juga menghadapi tantangan dalam mengakses layanan penyuluhan, bantuan teknis, dan program pelatihan yang bertujuan mendorong produksi sawit berkelanjutan. Layanan-layanan ini biasanya lebih mudah tersedia bagi entitas yang sudah diakui dan terdaftar secara formal, yang membuat petani swadaya sering berada di posisi kurang diuntungkan dalam hal memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan.

 

Seekor sapi di perkebunan sawit. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Mahalnya Harga Kepatuhan

Standar sertifikasi seperti skema Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dirancang untuk memastikan agar sawit diproduksi dengan cara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial.

Standar ISPO menetapkan kriteria ketat untuk praktik berkelanjutan, seperti keharusan untuk tidak adanya eksploitasi terhadap pekerja, dan pengurangan penggunaan bahan kimia berbahaya. Meskipun di atas kertas tujuan-tujuan tersebut sangat ideal, namun konsekuesinya sangat signifikan terhadap petani sawit swadaya.

Proses sertifikasi membutuhkan berbagai pengeluaran, seperti biaya dokumentasi dan administrasi, dimana petani harus berinvestasi untuk mendokumentasikan segala sesuatu yang diperlukan untuk membuktikan kepatuhan mereka terhadap standar sertifikasi.

Hal ini melibatkan banyak dokumen, pencatatan, dan ongkos hukum, yang semuanya membutuhkan biaya. Investasi modal ini dapat membebani petani swadaya secara finansial.

Tantangan lainnya adalah pelatihan dan peningkatan kapasitas. Petani kecil seringkali membutuhkan pelatihan untuk memahami dan menerapkan praktik berkelanjutan. Hal ini mencakup pelatihan tentang penggunaan pestisida yang benar, pengelolaan limbah, dan teknik konservasi. Program pelatihan ini mempunyai sejumlah biaya, termasuk honor pelatih dan ongkos transportasi.

Setelah investasi awal dilakukan, petani swadaya harus menjalani audit dan verifikasi rutin untuk mempertahankan status sertifikasi mereka. Hal ini memerlukan biaya yang besar, seperti perekrutan auditor pihak ketiga untuk menilai kepatuhan dengan meninjau dokumentasi, melakukan kunjungan lapangan, dan mewawancarai pekerja.

Selain memakan waktu, seluruh proses ini juga mengharuskan petani swadaya untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif, mengikuti program pelatihan, dan menjalani audit, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk fokus pada pertanian.

Banyak petani swadaya yang bertahan dengan kecilnya margin, kesulitan dalam menanggung biaya awal sertifikasi. Mereka tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk investasi infrastruktur atau mengikuti program pelatihan tanpa mendapatkan dukungan eksternal.

Inilah mengapa pemenuhan standar sertifikasi dan peningkatan pengetahuan di kalangan petani swadaya di Indonesia masih bergantung pada bantuan dari organisasi masyarakat sipil dan serikat petani kecil seperti Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Yayasan FORTASBI (Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia). Lembaga-lembaga tersebut pun memiliki keterbatasan dalam melakukan sosialisasi dan dukungan pendanaan kepada petani.

Inilah akar mengapa mahalnya biaya kepatuhan justru memperdalam kesenjangan yang ada di industri sawit Indonesia. Perusahaan perkebunan skala besar dengan kelimpahan sumber daya keuangan dapat lebih mudah menanggung biaya sertifikasi.

Ketidakmampuan memenuhi persyaratan kepatuhan menyulitkan petani swadaya untuk bersaing. Di saat yang bersamaan, sawit berkelanjutan yang tersertifikasi memiliki harga jual yang lebih tinggi di pasar premium.

Artinya, petani swadaya yang tidak bersertifikasi akan terdiskriminasi dari rantai pasok pasar atau terpaksa menjual sawit mereka dengan harga lebih rendah. Dampaknya adalah makin lebarnya kesenjangan ekonomi antara produsen yang bersertifikat dan tidak bersertifikat.

 

Buah kelapa sawit. Petani kecil kesulitan untuk berinvestasi dalam praktik pertanian berkelanjutan, seperti penanaman kembali dengan varietas kelapa sawit yang memiliki hasil lebih tinggi dan lebih berkelanjutan, atau menerapkan teknik pertanian ramah lingkungan. Foto: Rhett A. Butler / Mongabay.

 

Pemerintah dan Uni Eropa Harus Bergandengan Tangan Membantu Petani Swadaya

Persyaratan uji tuntas EUDR berpotensi mengecualikan petani swadaya dari pasar Eropa, sehingga melanggengkan kesenjangan ekonomi dalam industri sawit dan membahayakan sumber penghidupan yang menjadi tumpuan banyak keluarga.

Kepatuhan terhadap persyaratan uji tuntas yang ketat, -termasuk aspek ketertelusuran dan praktik bebas deforestasi, menimbulkan tantangan besar yang memerlukan pendekatan kolaboratif antara Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia.

Kemitraan ini harus berakar pada saling pengertian dan komitmen bersama terhadap keberlanjutan dan keadilan sosial. Kedua belah pihak harus menyadari kemendesakan situasi ini dan bekerja sama untuk menciptakan solusi yang komprehensif.

Salah satu solusi utama dalam kerja sama ini adalah dengan menciptakan mekanisme dukungan pendanaan kepada petani kecil dalam memenuhi persyaratan EUDR.

Untuk memantapkan komitmennya sebagai negara pasar, Uni Eropa dapat memberikan pendanaan dan bantuan teknis, sementara pemerintah Indonesia dapat memfasilitasi pencairan sumber daya dan menyederhanakan proses birokrasi dengan melibatkan masyarakat sipil dan serikat petani swadaya.

Inisiatif ini akan membangun ekosistem keuangan yang transparan, inklusif, dan demokratis yang meningkatkan kapasitas petani untuk berinvestasi di aspek-aspek keberlanjutan.

Hal tersebut harus diikuti dengan serangkaian inisiatif dalam bentuk peningkatan kapasitas, yang mencakup program pelatihan tentang praktik pertanian berkelanjutan, proses pendokumentasian, dan penilaian lingkungan, yang akan membekali petani swadaya dengan alat yang mereka perlukan untuk memenuhi standar EUDR.

Program-program ini harus dirancang agar dapat diakses dan disesuaikan dengan kebutuhan spesifik para petani swadaya, termasuk memberdayakan petani kecil cara menggunakan teknologi dan platform digital untuk meningkatkan ketertelusuran, memantau dampak lingkungan, dan menyederhanakan proses sertifikasi.

Indonesia dan Uni Eropa juga perlu mengatasi hambatan pendanaan yang sering menghalangi inisiatif petani untuk mendapatkan sertifikasi dan mendorong praktik pertanian berkelanjutan. Misalnya dengan membuat program pinjaman berbunga rendah yang disesuaikan dengan kebutuhan petani swadaya dengan syarat pembayaran yang fleksibel dan suku bunga yang wajar.

Selain itu, hibah dapat diberikan untuk mendukung proyek keberlanjutan tertentu yang diprakarsai oleh kelompok atau serikat petani swadaya.

 

Petani sawit berkontribusi kepada sekitar 40 persen dari produksi sawit di Indonesia. Dok: Icaro Cooke Vieira/CIFOR via Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Untuk melengkapi inisiatif tersebut, Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa perlu mendorong sektor swasta untuk berinvestasi mendukung inisiatif-inisiatif petani swadaya.

Kemitraan dengan perusahaan agribisnis dan lembaga keuangan dapat menghasilkan model dukungan pendanaan yang didedikasikan untuk mendukung petani. Insentif, seperti keringanan pajak atau akses pasar preferensial, dapat ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa kepada perusahaan yang secara aktif terlibat dalam kolaborasi tersebut.

Untuk meringankan beban proses sertifikasi, Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia perlu bekerja sama menyederhanakan persyaratan dokumentasi dan proses audit terhadap petani swadaya. Prosedur yang disederhanakan, formulir yang distandarisasi, dan mengurangi beban dokumen dapat membuat proses sertifikasi lebih mudah diakses.

Pada saat yang bersamaan, Pemerintah dan Uni Eropa harus mempromosikan model sertifikasi secara berkelompok melalui koperasi petani atau serikat, yang membuka peluang para petani swadaya dapat memenuhi aspek kepatuhan secara kolektif.

Dengan menyatukan sumber daya dan berbagi beban pembiayaan, diharapkan dapat mengurangi beban keuangan bagi individu petani, sekaligus memberikan insentif dan memfasilitasi kepada kelompok-kelompok petani bersertifikat agar praktik ini meluas dan diakses lebih banyak petani.

Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia juga perlu memastikan bahwa petani swadaya bersertifikat akan terhubung dengan pembeli di Eropa yang juga berkomitmen terhadap keberlanjutan dan praktik bertanggungjawab di industri sawit.

Meskipun masih harus terus diperbaiki dan ditingkatkan, Pemerintah Indonesia dapat memfungsikan ISPO sebagai sarana bagi petani swadaya yang ingin memenuhi standar EUDR.

Untuk itu, Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia harus bekerja sama untuk meningkatkan kredibilitas dan efektivitas ISPO, serta menyelaraskannya dengan standar keberlanjutan internasional.

ISPO perlu diperkuat dan ditingkatkan sebagai komitmen penuh Indonesia untuk menjadi contoh bagaimana negara produsen mempromosikan keberlanjutan, dan mengembangkan kerangka implementasi, pemantauan dan evaluasi yang kuat untuk memastikan ISPO sebagai standar yang kredibel.

Penyelarasan ini akan menempatkan petani swadaya sawit Indonesia sebagai penerima manfaat nyata dari tren positif di negara-negara pasar dan negara produsen untuk memerangi deforestasi dan bergerak menuju pertanian berkelanjutan.

 

* Andre Barahamin, penulis adalah Juru Kampanye Senior Perkumpulan Kaoem Telapak. Tulisan ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: Petani mandiri Desa Mondi, yang sedang memanen sawit. Foto: Siti Salbiyah

 

Exit mobile version