Mongabay.co.id

‘Ambon Keringe’ Krisis Air di Kota Ambon dan Hilangnya Wilayah Resapan

 

Wajah Syahrudin Wattimena fokus pada aliran air di keran dapur rumahnya. Meski hari telah malam, pria 36 tahun warga Batu Merah Puncak, Kecamatan Sirimau, Ambon itu enggan tidur. Jerigen dan tong kosong masih tampak di sisi kiri dapur rumahnya.

“Kalau tidur khawatir, air terisi tidak merata [ke jerigen dan tong]. Apalagi dalam satu minggu air cuma mengalir sekali, itu pun cuma satu-dua jam,” ujarnya kepada Mongabay pada akhir September 2023 lalu.

Keadaan ini sudah berlangsung sejak awal 2023. Dalam sebulan, aliran air dari PT Dream Sukses Airindo (DSA) Ambon, -tempatnya berlangganan air minum, hanya menyuplai air empat kali. Biasanya tiap hari Sabtu, pernah ke bergeser ke hari Minggu. ”Pokoknya jadwal air mengalir tak menentu.”

Hal serupa dialami Kaharudin Mahmud, warga lorong Gadihu, Batu Merah, pelanggan PT DSA lainnya. Dia bilang suplai air ke rumahnya sudah tidak lancar sejak 2017, seminggu hanya empat kali, sekarang bahkan hanya sekali. Bahkan pada Agustus 2023, air baru mengalir setelah 9 hari.

Dia menyiasati dengan tanki penampung air. Meski demikian, dia mengaku harus tetap berhemat karena cadangan air tak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Dia akhirnya harus membeli air dari truk tangki. “Harganya Rp250 ribu, patungan dengan tetangga.” jelasnya (16/10/2023).

Nasir Rumra, warga lain pun bernasib serupa. Dia membeli stok air dari truk tanki, Satu drum dijual Rp15 ribu. Demi hemat air, dia menerapkan aturan ekstrem. Mandi hanya menggunakan air satu ember. Cuci piring hanya sekali bilas.

“Kalau cadangan air kosong, mandi pakai air hujan,” jelasnya.

 

Salah satu warga di kawasan Wara, Kecamatan Sirimau Ambon, menengok air di tong rumahnya. Krisis air telah dirasakan oleh warga Kota Ambon. Foto: M Jaya Barends/Mongabay Indonesia

 

Pelanggan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Ambon pun memiliki nasib serupa.

”Air baru bisa ngalir jam 3 sore, kadang baru jam 8 malam. Air mengalir tiga-empat jam sehari, tidak pernah 24 jam,” sebut Yeni, seorang warga Kudamati Farmasi Atas, Kecamatan Nusaniwe pelanggan PDAM. Dia mengaku ini sudah 10 tahun terakhir.

Kepala Bagian Langganan PT DSA Ambon, Jefri Riri, tak menampik jika ada masalah distribusi air kepada pelanggan. Dia sebut masalahnya di debit air yang mengalami penyusutan di mata air utama Sungai Wairuhu, Waineo, dan Air Panas, kawasan Air besar.

“Debit sudah kecil, hampir seng [tidak] ada lagi,” ungkapnya tentang sumber mata air Wairuhu yang telah kritis.

Dari tiga mata air tersebut, sekarang PT DSA per hari dapat menyerap 3 ribu meter kubik air. Sedangkan pelanggan PT DSA, lebih dari 10 ribu.

Untuk mengatasi hal itu, PT DSA mengandalkan sumur dalam di sejumlah titik di Kota Ambon. Contohnya, di kawasan Karang Panjang. Air ke rumah-rumah pelanggan disuplai dari empat sumur dalam, yang masing-masing dalamnya 100 meter.

Perusahaan juga membor sumur dalam di belakang Soya, Flamboyan, Batu Merah Atas, Tanjong, Arema, Galunggung-Tanah Rata, dan Kampong Tomia. Berkat upaya ini, jumlah air naik menjadi 6 ribu meter kubik.

“Tapi masih kurang 4 ribu meter kubik air/hari,” ungkapnya (9/8/2023).

Jhon Pattinaja, Kepala Bagian Perencanaan PDAM Kota Ambon menjelaskan dari empat sungai yang mata airnya dimanfaatkan oleh PDAM. Satu diantaranya, -yaitu Sungai Wainitu, debitnya telah menyusut.

”Untuk memenuhi kebutuhan suplai air ke pelanggan, dibantu dengan tiga sumur dalam saat musim kemarau,” kata Jhon (10/8/2023).

 

Sempadan Sungai Wairuhu yang dipenuhi permukiman penduduk di kawasan Jembatan Jodoh IAIN, Kecamatan Sirimau Ambon. Foto: M Jaya Barends/Mongabaya Indonesia.

 

Wilayah DAS Kritis, Tersesak Bangunan  

Kota Ambon, ibukota Maluku berada di Pulau Ambon yang luasnya 74.340 hektar. Topografi wilayah Kota Ambon meliputi area berlereng terjal dengan kemiringan di atas 20 persen seluas 73 persen. Sisanya daratan landai (17 persen), dan pantai, pesisir dan laut (10 persen).

Terdapat 15 aliran sungai yang mengalir di Kota Ambon. Dari yang terpanjang Wai Sikula (15,5 km), sampai yang terpendek Wai Webi (2,5 km), keduanya mengalir ke Teluk Ambon. Karakteristik ini menyebabkan air permukaan (run off) yang tidak terserap tanah, sangat mudah terbuang ke sungai dan laut di musim hujan.

Sepanjang Agustus-Oktober 2023, Mongabay menyusuri Daerah Aliran Sungai (DAS) di Ambon, yaitu DAS Wairuhu, Wai Batu Merah, Waitomu, Wai Batu Gajah, dan Wai Batu Gantung.

Dari kelima DAS itu yang seharusnya menjadi wilayah hijau resapan, telah terjadi perubahan bentang lahan. Seperti yang terjadi di bagian hulu dan tengah DAS Wai Ruhu dan Wai Batu Merah, Kecamatan Sirimau.

Perumahan dan permukiman warga, -termasuk rumah pejabat, hingga fasilitas pemerintahan ada di situ. Bahkan ada sebagian gedung perguruan tinggi yang dibangun dalam kawasan hutan alam. Beberapa kawasan lindung, hutan dan wilayah resapan pun telah digarap jadi ladang pertanian.

Pembangunan dan kegiatan di kawasan itu jelas menyalahi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Ambon Tahun 2011-2031.

 

Jusmy Dolvis Putuhena, Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon menjelaskan wilayah DAS Kota Ambon. Foto: M Jaya Barends/Mongabay Indonesia

 

Jusmy Dolvis Putuhena, Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon menyebut, mata air dari sungai lima DAS itu adalah pemasok air bersih bagi warga Kota Ambon. Sumber mata air terbesar ada di Wairuhu yang dimanfaatkan PT DSA dan Wai Batu Gantung yang dipakai PDAM.

Dari analisis citra satelit terlihat, pada 2002 tak banyak permukiman di wilayah DAS tersebut. Pada 2009, permukiman di sana tumbuh pesat.

“Di 2020, permukiman sudah tersambung di antara DAS Wairuhu dan Batu Merah,” ujarnya (2/8/2023).  Selain permukiman, dia bilang ada fasilitas pemerintah termasuk kampus seperti di Batu Merah Atas.

Kondisi wilayah DAS yang sama juga terjadi di kawasan Kusu-Kusu, Kecamatan Nusaniwe, menuju Negeri Soya, Kecamatan Leitimur Selatan. Sebagian wilayah ini masuk DAS Waitomu dan Wai Batu Gajah. Demikian pula DAS Batu Gantung, meskipun tren laju pemukimannya di sini tidak signifikan.

Jusmy menyebut, awal sebab permukiman mendorong perubahan bentang kawasan lindung karena dibukanya akses jalan utama, pasca konflik sosial di akhir 1999.

Perubahan bentang alam menyebabkan karakteristik hidrologi yang berubah. Bangunan beton menghalangi serapan air ke dalam tanah. Lebih banyak air yang langsung terbuang (run off) ke saluran yang menuju sungai, dan bermuara ke laut.

“Prediksi saya, sampai 2050 akan bertambah lagi permukiman.  Menimbang kondisi ini, -yang diperkuat hasil penelitian dan data, saya perkirakan pada 2050 nanti permukiman di tengah pusat Kota Ambon akan mengalami kesusahan air yang parah.”

Susutnya pasokan air, menyebabkan warga mencari alternatif air. Banyak yang beralih menggunakan sumur bor pribadi, seperti yang terjadi di Wainitu dan beberapa kawasan lain Kota Ambon.

Dalam jangka panjang ini bakal jadi masalah. Intrusi air laut dan penurunan permukaan tanah bisa terjadi. Penelitian Tamrin Robo et al (2016) menyebut pemakaian air tanah berlebihan menyebabkan ruang pori-pori batuan menganga di pesisir pantai. Akibatnya air laut menginstrusi masuk ke arah daratan, menggantikan air tanah.

 

Tutupan lahan Kota Ambon tahun 2009 berdasarkan penelitian. Dok: Jusmy Dolvis Putuhena

 

Susut Debit Air Meluas

Banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak mendapatkan jatah air saat musim kemarau mendorong Ombudsman RI Perwakilan Maluku pada 2021 melakukan survei tentang krisis air.

Hasil survei menemukan, penyebabnya karena wilayah resapan dan tangkapan dalam hutan lindung di Kota Ambon, telah rusak. Hasil survey ini telah disampaikan ke Pemerintah Kota Ambon dan Pemerintah Provinsi Maluku.

“Perlindungan kawasan hutan tangkapan air diamanatkan dalam UU nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan UU nomor 37 tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan air,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Maluku, Hasan Slamat.

Di atas wilayah yang seharusnya jadi kawasan lindung hijau, sekarang berdiri gudang, perumahan, permukiman, gedung perguruan tinggi dan fasilitas pemerintahan. Areanya meliputi kawasan IAIN Batu Merah Atas, Soya, Bere-Bere, Karang Panjang dan Dusun Siwang Gunung Nona.

Dia mengakui Pemerintah Kota Ambon tidak punya kemampuan dalam mengatur wilayah resapan dan menghentikan pembangunan.

“Kawasan hutan lindung itu masuk hak ulayat adat sejumlah negeri atau desa di Kota Ambon, sehingga mereka bebas menjual.”

Hasil survei yang dibuat bagaimanapun harus dijadikan dokumen korektif. Hasan berharap pemerintah dapat melakukan pemetaan ulang kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

”Ombudsman tidak punya keahlian dalam bidang pemetaan wilayah, maka kami undang pakar dari Universitas Pattimura dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [untuk urun rembug],” ungkap Hasan.

 

Lahan pertanian di kawasan Air Besar yang sebagaian wilayahnya masuk hutan lindung Gunung Sirimau. Foto: M Jaya Barends/Mongabya Indonesia

 

Melianus Latuihamallo, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Ambon, mengungkap pemerintah daerah masih merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Ambon Tahun 2011 – 2031.

Dasar revisi RTRW tersebut, karena ada sebagian wilayah resapan atau penyangga yang justru ada bangunan.

”Sebenarnya melanggar, tetapi permukiman dibangun sebelum RTRW diterbitkan,” jelasnya.

Dalam RTRW yang baru, wilayah resapan seperti Gunung Nona, kawasan Negeri Soya, tetap terjaga. ”Sehingga jika ada pembangunan langsung kita cegah,” kata dia.

*Liputan ini merupakan program Fellowship “Archipelago of Drought 2023” terlaksana dengan dukungan Society Indonesian Science Journalism (SISJ), CNN Id Academy, dan US Embassy.

 

Referensi Jurnal:

Tamrin Robo, Adnan Sofyan, Juanda Banapon.[2019] ‘Kajian Intrusi Air Laut Terhadap Kualitas Air Tanah Di Kelurahan Gambesi Kecamatan Ternate Selatan Kota Ternate’. Pangea Jurnal Geografi, PANGEA Juni 2019, 1(1):20 – 28.

 

Exit mobile version