Mongabay.co.id

Kajian Seksama Penting untuk Keberlanjutan Perikanan Demersal Indonesia

 

Studi terbaru dalam jurnal Fisheries Research menyebut bahwa produksi perikanan Indonesia telah berkurang secara signifikan, jika dibandingkan dengan perkiraan pemerintah.

Stok delapan spesies ikan demersal (jenis-jenis yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan) bernilai ekonomi di Indonesia tidak baik-baik saja. Sebagian besar jenis menunjukkan penurunan kapasitas pemijahan, yang mengindikasikan tingkat penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan pada populasi jenis-jenis ini.

Menurut makalah tersebut temuan ini 1,4-2,4 kali lebih rendah dari perkiraan stok spesies yang disediakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP).

“Perikanan Indonesia sering kali dikategorikan “kurang data”, terutama dalam hal data panjang, berat, dan detail. Kami coba merumuskan pengelolaan perikanan berbasis sains untuk mengatasi hal ini,” jelas Elle Wibisono, ilmuwan asal Universitas Rhode Island yang menjadi penulis utama penelitian ini, kepada Mongabay melalui email wawancara.

Kelompok peneliti, yang terdiri dari ilmuwan, ahli dan pejabat pemerintah dari AS dan Indonesia, memfokuskan riset pada delapan spesies utama ekonomi, termasuk kakap merah malabar (Lutjanus malabaricus), anggoli (Pristipomoides multidens) dan kakap merah (L. erythropterus). Mereka pun menyoroti dua jenis alat tangkap utama yang digunakan, yaitu dropline dan longline.

 

Ikan anggoli (Pristipomoides multidens). Foto: Agustinus Sutandar via Wikimedia Commons (CC BY 3.0 DEED).

Baca juga: Melestarikan Potensi Perikanan Kakap dan Kerapu di Laut Dalam

 

Kerangka kerja penelitian lalu menggabungkan antara tingkat tangkapan/catch rates (CPUE) dan rasio jumlah pemijahan yang dihasilkan/spawn produced (SPR). Hasilnya dipakai untuk memberikan gambaran tentang status stok perikanan yang ada.

Mereka menemukan bahwa tidak satu pun dari angka yang diteliti, menunjukkan tren CPUE yang meningkat atau stabil yang disertai dengan nilai SPR yang tinggi. Dengan kata lain, tidak satu pun kegiatan yang tampak sehat atau dilakukan secara berkelanjutan.

Mereka juga menemukan perbedaan signifikan hasil riset dengan perhitungan dan perkiraan yang dilakukan KKP. Peneliti menyebut ada perbedaan faktor penilaian seperti metode dan data yang digunakan untuk menilai stok ikan.

“Penjelasan paling mungkin, adalah adanya bias dari spesies yang di hitung, yaitu indikasi status stok, yang biasanya bukan bagian dari perikanan demersal,” kata studi tersebut.

Tanpa kerangka metodologis data yang kuat, -dengan berbagai indikator untuk mencapai kesimpulan akhir, maka hasil akhir yang dibuat otoritas pengelola dapat berbeda.

Misalnya pembuat kebijakan yang fokus pada produksi, cenderung mengambil keputusan berdasarkan CPUE, kebijakna yang dibuat akan mengizinkan upaya penangkapan ikan yang sama atau lebih banyak pada perikanan dengan CPUE tinggi. Sementara pembuat kebijakan yang lebih hati-hati mungkin memilih menggunakan SPR.

 

Kakap merah, komoditas andalan perikanan Indonesia. Foto: Ralf Roletschek melalui Wikimedia Commons (CC BY 3.0 DEED).

Baca juga: Kakap Merah Strain Taiwan, Inovasi Baru Perikanan Budidaya Indonesia

 

“Salah satu cara untuk meningkatkan pemahaman kita adalah dengan menggunakan atau menggabungkan beberapa indikator. Kalau hanya mengandalkan satu indikator saja bisa bahaya,” kata Wibisono.

Perikanan demersal lereng dalam di Indonesia telah menempatkan Indonesia sebagai eksportir spesies kakap terbesar kedua di dunia, dengan gabungan nilai pasar domestik dan internasional sebesar USD382 juta dan USD176 juta, untuk dua spesies primadona yaitu L. malabaricus dan P. multidens.

Perikanan jenis demersal bersifat multispesies dan multigear, yang sebagian besar menargetkan kakap dan kerapu dengan kedalaman antara 50 meter dan 500 meter dan sebagian besar menggunakan alat pancing dropline dan longline.

Daerah penangkapan ikan demersal meliputi perairan penting Indonesia seperti Laut Jawa, Selat Makassar, dan Laut Arafura.

KKP saat ini sedang mengembangkan strategi pengendalian penangkapan ikan demersal di kemiringan laut dalam, di luar penggunaan alat pengelolaan perikanan yang ada saat ini, tulis makalah tersebut.

Para penulis menyebut temuan mereka dapat membantu para pihak untuk mendiskusikan rancangan strategi pengendalian produksi dalam ruang-ruang diskusi publik bersama dengan KKP.

“Kami ingin berbagi bahwa saat nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, bukan berarti otomatis di wilayah tersebut masih banyak ikan yang tersisa di lautan.”

Tulisan asli: Key Indonesian fish population depleted new assessments needed study shows.  Diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit

 

Referensi:

Dimarchopoulou, D., Wibisono, E., Saul, S., Carvalho, P., Nugraha, A., Mous, P. J., & Humphries, A. T. (2023). Combining catch-based indicators suggests overexploitation and poor status of Indonesia’s deep demersal fish stocks. Fisheries Research, 268. doi:10.1016/j.fishres.2023.106854

Exit mobile version