Mongabay.co.id

Saling Bantah Antara Greenpeace dan APP tentang Pelanggaran Janji Tanpa Deforestasi

 

Satu dekade setelah Asia Pulp & Paper (APP) meluncurkan kebijakan penting tanpa deforestasi, Greenpeace menyebut APP terus menebangi hutan dan mengeksploitasi lahan gambut, yang jelas-jelas adalah pelanggaran komitmen kebijakan mereka.

APP adalah salah satu produsen pulp dan kertas terbesar di dunia yang memasok beragam produk pulp dan kertas seperti tisu kertas, kemasan dan alat tulis ke merek global, termasuk Unilever, Nestlé, ASKUL dan Mattel.

Sebelum tahun 2010 APP telah melakukan deforestasi hutan alam menjadi perkebunan kayu pulp dengan perkiraan perkiraan 2 juta hektar, –hampir 4 kali Pulau Bali, selama tiga dekade di Riau dan Jambi.

Di bulan Februari 2013, APP meluncurkan Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy, FCP), dimana perusahaan berjanji untuk tidak lagi membuka hutan alam untuk perkebunan kayu pulp. Greenpeace, -yang saat itu membantu merumuskan kebijakan tersebut, menyebut momen itu sebagai janji perusahaan yang terbesar untuk mengakhiri deforestasi dan perusakan lahan gambut.

Untuk mendukung implementasi FCP, APP mengambil langkah seperti penerapan Pendekatan Stok Karbon Tinggi (High Carbon Stock, HCS) yang membedakan kawasan hutan dilindungi dalam area konsesi dengan kawasan terdegradasi yang dapat dikembangkan.

Selain itu APP memberlakukan moratorium pembukaan hutan alam untuk pengembangan perkebunan kayu pulp, sampai penilaian kawasan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value, HCV) dan HCS selesai.

Memperkuat kebijakan keberlanjutan, APP mengumumkan komitmen untuk “memulihkan dan mendukung konservasi satu juta hektar hutan hujan di seluruh Indonesia” pada tahun 2014 dan melestarikan lebih dari 500.000 hektar hutan alam pada tahun 2016.

Dalam laporan terbarunya, Greenpeace mencatat berbagai pelanggaran, mulai dari perusakan ekosistem gambut, perubahan tanggal batas akhir deforestasi, maraknya pembakaran hutan, hingga konflik masyarakat yang berkepanjangan.

“Sepuluh tahun, kami menemukan banyak janji yang diingkari oleh APP Sinarmas,” jelas Kiki Taufik, Greenpeace Global Project Leader of Indonesia Forest Campaign.

 “Sangat mengecewakan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia terus-menerus ingkar janji dan tidak dapat dipercaya.”

 

Perkebunan akasia di lahan gambut yang telah dibuka dan dikeringkan di konsesi PT Bina Duta Laksana. Konsesi yang berafiliasi dengan grup Sinar Mas, pemasok kayu pulp ke Asia Pulp and Paper (APP), di Kerumutan, Riau. Dok: ©Kemal Jufri / Greenpeace.

 

Deforestasi Terus Berlangsung

Analisis pemantauan hutan Nusantara Atlas yang dioperasikan konsultan teknologi The TreeMap, menemukan 75.000 hektar deforestasi di area konsesi pemasok APP atau perusahaan yang terhubung dengan APP diantara Februari 2013- 2022.

Laporan Greenpeace juga mengutip temuan sebelumnya deforestasi, seperti laporan tahun 2022 oleh Koalisi Eyes on the Forest, yang menemukan bukti pembukaan hutan dan kawasan HCS di Cagar Biosfer UNESCO. Kawasan tersebut dikenal sebagai habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang terancam punah.

Laporan Greenpeace pada tahun 2018 juga menemukan hampir 8.000 hektar deforestasi di konsesi dua perusahaan yang diduga terkait dengan APP.

Di sisi lain APP membantah tuduhan atas berlanjutnya deforestasi, dengan mengatakan seluruh pemasok perusahaan telah menghentikan konversi hutan alam sejak tahun 2013. APP menyebut perusahaan yang terlibat dalam deforestasi dalam laporan Greenpeace bukan pemasok APP sama sekali.

“Mengapa kami harus melakukan deforestasi, padahal APP merupakan salah satu bisnis kehutanan yang paling banyak disorot di Indonesia?” kata APP dalam pernyataannya .

Selain dugaan deforestasi yang telah terjadi sejak FCP, Greenpeace menunjukkan bahwa sejak 2022, APP berniat melanjutkan deforestasi, caranya dengan menggeser batas waktu dari 2013 menjadi 2020.

Perubahan ini terungkap dalam laporan keberlanjutan APP tahun 2022. Di halaman 121, APP menyatakan telah memperbarui proses Evaluasi Pemasok dan Penilaian Risiko (SERA), salah satu poin perubahannya adalah perpanjangan batas waktu hingga 2020.

APP mengatakan pergeseran ini dilakukan karena menyelaraskan dengan standar internasional yang digunakan oleh standar Tropical Forest Alliance (TFA) dan Forest Stewardship Council (FSC), yang juga menggeser batas waktu kerja dari 1994 menjadi 2020.

Pada 1 September 2023, APP menerbitkan pernyataan di situs webnya, mengklaim mereka tidak melakukan perubahan apa pun terhadap FCP, meski FSC telah mengubah tanggal batas akhir.

“Kami tegaskan tidak ada perubahan [terhadap kebijakan awal] FCP. Batas akhir tahun 2013 dalam FCP tetap tidak berubah .”

APP mengakui mereka mengubah batas waktu menjadi tahun 2020, adalah untuk memperbarui proses SERA di tahun 2022, setelah melakukan konsultasi dengan para pemangku kepentingan pada Forum Penasihat Tahunan.

Ini dilakukan setelah APP kembali bergabung dengan FSC setelah perusahaan sertifikasi ini memutuskan diri dari APP pada tahun 2007, setelah menilai perusahaan pulp tersebut terlibat dalam praktik kehutanan yang merusak.

Dengan adanya perubahan itu, APP menyebut pemasok selain konsesi afiliasi APP yang telah ada, masih bisa diterima, meski mereka masih melakukan deforestasi hingga Desember 2020. Hal itu, disebut APP bukanlah bentuk pelanggaran dari FCP-nya.

Namun APP mengaku perubahan batas waktu memungkinkan suatu saat di masa depan, perusahaan bisa menerima pemasok baru yang melakukan deforestasi hingga tahun 2020.

Dalam menyikapi pernyataan tersebut, Greenpeace hal itu adalah suatu bentuk pengingkaran janji.

“Saya terkejut dan tidak percaya bahwa APP Sinarmas akan mengingkari janjinya dan menyalahgunakan batas waktu FSC yang baru,” kata Grant Rosoman, Senior Campaigner Greenpeace International.

Dia mengatakan APP tidak boleh menggunakan perubahan batas waktu yang ditetapkan FSC sebagai dalih mengubah tenggat waktu yang mereka tetapkan sebelumnya.

 

Hutan hujan di samping lahan gambut yang dibuka dan dikeringkan di konsesi PT Bina Duta Laksana. Konsesi yang berafiliasi dengan grup Sinar Mas, pemasok kayu pulp ke Asia Pulp and Paper (APP), di Kerumutan, RiauDok: ©Kemal Jufri/Greenpeace.

 

Lahan Gambut

Dalam janji penghentian deforestasi, APP berkomitmen melindungi dan merestorasi lahan yang terdegradasi melalui sejumlah kebijakan, seperti larangan pembangunan kanal atau infrastruktur lainnya dan pembakaran. Lahan gambut sendiri berjumlah 1,2 juta hektar di seluruh konsesi perusahaan.

Greenpeace menuduh perusakan lahan gambut masih terjadi setelah penerapan FCP.

Greenpeace mengidentifikasi hampir 3.500 hektar pembukaan lahan gambut di Sumatera telah dilakukan oleh perusahaan pemasok kayu pulp ke APP. Pembukaan ini terjadi diantara periode Agustus 2018 hingga Juni 2020. Ini diindikasikan adanya saluran drainase sepanjang 53 kilometer yang melintasi lahan gambut dan 50 hektar lahan gambut yang dibakar.

“APP harus kembali ke masa penghentian deforestasi, dan menunjukkan kemajuan yang jelas dalam pembendungan saluran drainase gambut, rehabilitasi dan restorasi seluruh wilayah gambut dalam,” kata Kiki.

Dalam tanggapannya, APP mengatakan belum ada pembukaan lahan baru di lahan gambut yang dilindungi sejak tahun 2013. APP menyebut tudingan Greenpeace keliru, karena menggunakan data peta yang ‘ketinggalan zaman’.

“Tuduhan ini sebagian besar disebabkan oleh peta, definisi, dan garis waktu yang saling bertentangan,” kata APP.

Sebagai bagian dari komitmen, di tahun 2015 APP mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan konsesi gambut seluas 7.000 hektar di Sumatera Selatan dan Riau. Khususnya di wilayah yang berbatasan dengan taman nasional yang terletak di sebelah konsesi mereka.

APP juga menyatakan telah membangun lebih dari 5.000 blok kanal perimeter untuk menjaga ketinggian di kawasan lindung yang berbatasan dengan wilayah konsesi para pemasoknya.

 

Komitmen APP Sinarmas untuk menghentikan konsesi lahan gambut seperti yang disampaikan pada forum REDD Oslo pada bulan Juni 2016.

 

Greenpeace menganalisis tiga konsesi yang sudah pensiun dengan menggunakan platform pemantauan hutan milik APP , dan verifikasi lapangan dan gambar drone. Greenpeace menemukan bahwa banyak lahan gambut tampaknya masih belum direhabilitasi dan masih berproduksi. Gambar drone pengeringan dan pengembangan lahan gambut di PT Tri Pupajaya, dimana 4.834 hektar lahan gambut yang disebut telah dipensiunkan oleh APP. Dok: Greenpeace

 

APP pun menyebut pihaknya telah menghentikan total lahan gambut seluas 26.883 hektar, dan telah melakukan pekerjaan restorasi di lahan gambut seluas 81.245 hektar. Ini bakal bertambah dengan lahan gambut seluas 7.300 hektar.

Sebaliknya Greenpeace menegaskan hingga saat ini belum ada cara untuk verifikas bahwa APP telah menghentikan 26.883 hektar pengembangan perkebunan di lahan gambut. Perusahaan jelasnya belum mempublikasikan dimana lokasi yang mereka sebutkan. Selain itu, area seluas 26.883 hektar hanyalah sebagian kecil dari 1,2 juta hektar lahan gambut yang ada di konsesi APP.

 

Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada bulan September 2015. Gambar oleh World Resources Institute melalui Flickr (CC BY-NC-SA 2.0).

 

Pembakaran

Meskipun APP telah mengadopsi kebijakan tanpa pembakaran, faktanya kebakaran terus terjadi di konsesi.  Analisis Greenpeace menemukan 314.000 hektar area telah terbakar di konsesi APP dari tahun 2015 hingga 2019, yang menjadikan APP adalah penyebab kebakaran terbesar dan produsen kabut asap di Sumatera.

Pada 8 Oktober 2023, kebakaran kembali terjadi di konsesi APP seluas 12.749 hektar.

APP menanggapi temuan kebakaran di konsesinya dengan mengatakan mereka telah melarang keras penggunaan api untuk membuka lahan di konsesi mereka dan para pemasoknya.

“Apa manfaatnya buat kami melakukan pembakaran di dalam konsesi kayu pulp milik kami?” lanjut perusahaan itu.

 

Warga desa didampingi aktivis WALHI Jambi menggelar aksi protes di depan sidang pembunuhan Indra Pelani, 22 tahun, di tangan satpam kontrak Wirakarya Sakti (WKS), sebuah perusahaan perkebunan yang dimiliki APP. Dok: WALHI Jambi.

 

Konflik sosial

Konsesi APP mencakup total 2,6 juta hektar wilayah di Indonesia. Konsesi ini tumpang tindih dengan 668 desa.

Laporan tahun 2020 yang diterbitkan oleh Environmental Paper Network, sebuah koalisi LSM, mengidentifikasi setidaknya 107 desa berkonflik dengan APP atau pemasoknya.

Pada tahun 2016, APP menyatakan telah menyelesaikan 42% konflik dengan masyarakat sekitar. Pada tahun 2023, mereka mengklaim 63,3% konflik dengan masyarakat lokal telah diselesaikan.

Namun APP hanya mencantumkan 30 keluhan di dasbor pengaduannya. Mereka bilang kasus-kasus ini hanya akan dipublikasikan jika para pemangku kepentingan yang terlibat setuju untuk mempublikasikan informasi tersebut.

Dalam laporan terbarunya, Greenpeace kembali mengutip sengketa lahan antara PT Wirakarya Sakti (WKS), konsesi milik APP di Jambi. Di tahun 2015, terjadi insiden pembunuhan seorang warga desa bernama Indra Pelani, oleh satpam WKS. Pasca kejadian itu, perusahaan pun telah mengakui kesalahannya.

Namun, ketegangan kembali terjadi di akhir 2019-awal 2020, saat sebuah drone penyemprot herbisida milik perusahaan dilaporkan terbang di atas kebun warga dan menyemprot tanaman warga. Akibatnya, tanaman sawit dan karet warga pun mati.

WKS juga dilaporkan telah mengintimidasi warga desa dengan mengerahkan aparat TNI dan melepaskan tembakan peringatan ke kepala mereka.

Dalam tanggapannya, APP menyatakan WKS tidak sengaja menerbangkan drone tersebut ke kebun warga. Ganti rugi pun telah diberikan kepada warga yang kebunnya terkena dampak.

Greenpeace juga mengatakan tentang konflik antara afiliasi APP lainnya, PT Arara Abadi dengan Masyarakat Adat Sakai di Riau.

Perusahaan mengajukan tuntutan pidana kepada petani bernama Bongku karena menebang pohon akasia dan eukaliptus milik perusahaan di lahan yang diklaim kedua belah pihak.

Para pembela Bongku menyebut dia hanya membuka lahan untuk menanam ubi jalar, namun pengadilan memutuskan dia bersalah dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta.

APP mengatakan lahan yang diperebutkan tidak pernah ditempati atau dikelola oleh masyarakat Sakai, melainkan oleh pihak ketiga yang merupakan warga pendatang yang menempati wilayah itu secara ilegal.

Dalam tanggapannya terhadap laporan Greenpeace yang baru, APP mengatakan bahwa tuduhan penganiayaan terhadap komunitas adat Sakai itu “dibesar-besarkan”.

Tim pencari fakta dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyebut masyarakat Sakai telah tinggal dan bertani di wilayah tersebut sejak tahun 1830, -jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka diberikan kepemilikan resmi. tanah tersebut pada tahun 1940 oleh Sultan Siak yang dibenarkan oleh Lembaga Adat Melayu Riau.

Tulisan asli Report alleges APP continues deforestation 10 years after pledge to stop. Artikel ini diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit

 

Exit mobile version