Mongabay.co.id

Sarat Masalah DAS Kota Ambon: Sampah Plastik, Bangunan Ilegal, dan Cemaran Logam Berat

 

Menuju rumah Dodi di ujung jalan setapak RT 01/RW 17, kawasan IAIN, Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Ambon, tampak berjejer bangunan beton di kiri dan kanan sempadan Sungai Wai Ruhu. Palung sungai ini tampak dangkal, air yang mengalir pun tidak lagi deras.

Di sela-sela bebatuan di sungai tampak sampah, yang didominasi plastik, termasuk kemasan deterjen, bahkan ada pula pakaian bekas.

Kepada Mongabay, Dodi bilang jika sampah-sampah itu hasil buangan warga. Sebagian lagi, sampah kiriman dari aktivitas mencuci bagian atas aliran sungai.

”Tong sampah tidak disediakan pemerintah dalam permukiman,” ujarnya (25/10/2023).

Dia berdalih, sampah warga berakhir di sungai ini disebabkan minimnya fasilitas tempat sampah. Warga pun tak pernah dapat sosialisasi yang cukup dari pemerintah daerah tentang dampak membuang sampah ke sungai.

Jika dicermati, di sepanjang Jalan Kebun Cengkih hingga IAIN, memang tempat pembuangan sampah (TPS) hanya tersedia di jalan-jalan utama, seperti Tanjakan Kapok, Kanawa, Tanjakan 200, dan terakhir Jalan Baru.

Titik-titik pembuangan sampah itu jauh dari permukiman. Misalnya, TPS di kawasan Jalan Baru berjarak 6 kilometer dari rumah Dodi.

Ini yang membuat, Rahmi warga RT 05/RW 17 di kawasan IAIN, setiap kali bersih-bersih pekarangan membuang sampahnya langsung ke selokan di depan rumah. Selokan itu, terhubung dengan Sungai Wai Ruhu.

”Kalau hujan pasti air bawa [sampah]. Kalau tidak sampah akan menumpuk,” ujarnya (26/10/2023).

 

Salah satu tumpukan pada bibir aliran Sungai Wai Ruhu di bawah jembatan kawasan Warasia. Foto: M Jaya Barends/ Mongabay Indonesia

Baca juga: ‘Ambon Keringe’ Krisis Air di Kota Ambon dan Hilangnya Wilayah Resapan

 

Cerita Dodi dan Rahmi adalah bagian kecil dari mayoritas warga yang bermukim di sempadan sungai di atas perbukitan datar, yang tidak terjangkau fasilitas sampah oleh Pemerintah Kota Ambon.

Alfredo Jansen Hehamahua, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan Kota Ambon, membenarkan jika jalur inspeksi sampah belum menjangkau sebagian warga. Dia bilang 73 persen wilayah permukiman warga adalah wilayah berbukit dan lereng terjal dengan kemiringan di atas 20 derajat.

Persoalan lainnya adalah terbatasnya sarana prasarana angkutan. ”Tetapi kita tetap berupaya memaksimalkan kerja pengangkutan sampah,” ujarnyanya kepada Mongabay (30/10/2023).

Akses permukiman ini yang membuat akses truk dan motor roda tiga pengangkut sampah sulit masukke gang-gang permukiman warga yang sempit.

Soal pesatnya permukiman Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di seantero Ambon sudah diteliti Heinrich Rakuasa, bersama rekannya, Daniel Anthoni Sihasale dan Philia Christi [2022].

Mereka meyebut DAS Wai Batu Gantung, Wai Batu Gajah, Wai Tomu, Wai Batu Merah, dan Wai Ruhu mengalami peningkatan permukiman dan lahan terbuka.

Menurut penelitian ini, perkembangan lahan permukiman antara 2012 hingga 2022 di  Wai Batu Gajah 575,19 hektar,  Wai Tomu 809,51 hektar, Wai Batu Merah 797,63 hektar, Wai Batu Gantung 778,88  hektar, dan—yang terpesat–Wai Ruhu seluas 1.214,22 hektar.

Pada periode yang sama, lahan terbuka berupa tanah pertanian dan non-pertanian, yang sebelumnya berguna untuk menyerap air hujan, menyusut.

 

Papan hutan lindungan Gunung Sirimau yang terpasang kawasan DAS Sungai Wai Ruhu. Kawasan tangkapan air, banyak berubah dari area lindung menjadi permukiman dan perladangan. Foto: M. Jaya Barends/Mongabay Indonesia

Pertumbuhan permukiman di wilayah DAS, menurut Jusmy Dolvis Putuhena, Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, mengubah karakter pergerakan air di atas permukaan dan di dalam tanah.

“Karakter pergerakan air dalam tanah akan berubah, berdasarkan satuan tutupan lahan,” ujarnya.

Air masuk dan tersimpan dalam tanah dalam bentuk infiltrasi, jelasnya. Yang terserap akan menjadi air tanah. Yang tidak terserap oleh tanah akan mengalir ke sungai.

Dampak ini tidak hanya mempengaruhi pergerakan air, namun keseluruhan ekologi yang mencakup wilayah resapan dan tangkapan yang ada di gunung, perbukitan, punggung bukit, termasuk sungai.

Dengan wilayah topografi Kota Ambon yang berlereng dan terjal, maka kerusakan di hulu DAS akan membawa masalah di hilir.

 

Foto tangkapan satelit perkembangan permukiman di Kota Ambon. Dok: Yayasan Auriga Nusantara

 

Bangunan Tanpa IMB

Indikasi ancaman kerusakan di hulu DAS akibat pembangunan juga ditemukan dalam survei Ombudsman Perwakilan Maluku tentang wilayah tangkapan (catchment area). Hasan Slamat, Kepala Ombudsman Maluku, mengatakan ada sejumlah masalah di wilayah genting ini.

Di antara yang krusial adalah banyaknya bangunan pada wilayah DAS, resapan dan tangkapan air, yang tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). ”Kebanyakan pembangunan yang dilakukan itu ketika konflik sosial 1999,” ujarnya.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Ambon, Melianus Latuihamallo, tak membantah temuan Ombudsman. Ia menjelaskan, persoalan IMB ini agak rumit karena keterbatasan petugas.

Namun, jika saat melakukan pengawasan rutin ditemukan pembangunan tanpa IMB, pihaknya akan langsung menyuruh pembangunan tersebut disetop.

Dia pun menyebut ada kesadaran dari sebagian warga. Ada juga warga yang sebelum membangun meminta informasi terlebih dahulu kepada dinasnya. Pemiliknya biasanya meminta pola ruang. ”Apakah di wilayah itu bisa dibangun atau tidak,” sebutnya menirukan pertanyaan warga.

Permohonan IMB itu sebagian disetujui, ada juga yang ditolak karena tidak bisa ada bangunan pada wilayah tersebut. Misalnya karena itu merupakan wilayah resapan dan tangkapan air.

 

Tim Ekspedisi Sungai ECOTON tengah meneliti kemasan sampah di aliran Sungai Wairuh, Kecamatan Sirimau Ambon. Dok: Tim Ekspedisi Sungai Nusantara Ecoton

 

Sungai yang Dipenuhi Sampah dan Logam Berat

Pada tahun 2022, tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), menelusuri tiga sungai yang ada di Kota Ambon, Wai Ruhu, Batu Merah dan Batu Gajah. Ketiganya berstatus Sungai Strategis Nasional sesuai Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai.

”Dalam badan sungai banyak ditemukan sampah yang mayoritas sampah plastik,” Amirudin Muttaqim, peneliti Ecoton memberi penjelasan.

Sampah didominasi bungkus sabun cuci pakaian dan shampo dari merek yang dikeluarkan oleh perusahaan Unilever, Wings, Kao, serta bungkus makanan siap saji dari Indofood dan Danone.

Penelitian ini tak hanya melakukan brand audit sampah, tapi juga mengukur kualitas air. Hasilnya, kandungan fosfat di hilir Sungai Batu Gajah sebesar 1,25 ppm. Padahal merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, baku mutu normalnya hanya 0,2 ppm.

Fosfat ini, ujarnya, kemungkinan besar dari aktivitas domestik, seperti penggunaan sabun cuci dan sabun mandi.

Selain fosfat, logam berat Mangan (Mn) juga sudah melebihi baku mutu 0,1 ppm di semua sungai. Di Wai Batu Gajah Hulu kadarnya 0,2 ppm; Wai Batu Merah hilir 0,3 ppm; Wai Ruhu hulu 0,3 ppm.

 

Sampah palstik bertebaran di aliran Sungai Wai Batu Merah. Dok: Tim Ekspedisi Sungai Nusantara Ecoton

 

Merujuk sejumlah jurnal, Izmail [2011] mengatakan kandungan fosfat akan berdampak buruk pada pencernaan bila dikonsumsi terus menerus. Adapun mangan, menurut Satmoko Yudo [2006], bisa menyebabkan keracunan.

Keracunan metal kelabu-kemerahan ini seringkali  bersifat  kronis. Gejalanya bisa berupa gangguan pada sistem syaraf: dari insomnia, lemah pada kaki dan otot  muka, hingga menyebabkan ekspresi  muka  beku seperti  topeng.

Tim survey Ecoton juga menemukan limbah medis di perairan Teluk Ambon, yang terbawa dari aliran sungai. Ada indikasi kesengajaan limbah ini dibuang oleh masyarakat ke sungai, karena tidak adanya informasi soal bahaya sampah medis ini.

Amirudin menilai, sungai yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan air baku air minum seharusnya nihil sampah. Apabila masih ditemukan sampah, berarti sistem pengelolaan sampah kurang baik dilakukan oleh pemerintah.

“Banyaknya tumpukan sampah di pinggiran jalan, sungai, dan teluk, maka kami menyimpulkan secara keseluruhan pengelolaan sampah di Ambon sangat buruk,” sebutnya.

Menanggapi kritik tersebut, Alfredo menegaskan pihaknya sudah bekerja ekstra, meski minim armada. Hal itu bisa dilihat dari volume timbunan sampah di Kota Ambon yang per hari 225 ton dan hanya bisa terangkut 180-185 ton/hari ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Kota Ambon.

Dia menyebut, -khusus pengelolaan sungai dan sampah, tanggung jawab tak hanya melekat pada Pemkot Ambon, melainkan juga Pemerintah Pusat melalui Balai Wilayah Sungai Maluku dan Pemerintah Provinsi Maluku.

Rabu, 25 Oktober 2023, Mongabay coba meminta keterangan ke Kantor Balai Wilayah Sungai Maluku, di kawasan Wailela. Namun, kepala balai tak bisa ditemui.

Melalui staf humasnya, dia berjanji akan menghubungi Mongabay setelah berkonsultasi dengan pimpinan. Namun, hingga tulisan ini dibuat, tak kunjung menghubungi.

 

*Liputan ini merupakan program Fellowship “Archipelago of Drought 2023” terlaksana dengan dukungan Society Indonesian Science Journalism (SISJ), CNN Id Academy, dan US Embassy.

 

Referensi:

Ismail Z., [2011], Monitoring Trends of Nitrate, Chloride and Phosphate Levels in an Urban River, International Journal of Water Resources and Environmental Engineering, vol3 no 7, 132-138.

Satmoko Yudo [2006]. Kondisi Pencemaranlogam Beratdi Perairan Sungaidki Jakarta. JAI  Vol. 2, No.12006

 

Exit mobile version