Mongabay.co.id

Terbitkan Sertifikat HPL di Wilayah Adat, Menteri ATR/BPN Tuai Kritik

 

 

 

 

 

Hadi Tjahjanto,  Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN, menyerahkan sertifikat hak penggunaan lahan (HPL) kepada Masyarakat Adat Sawoi Hnya di Kampung Sawoi,  Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, baru-baru ini. Berbagai kalangan mengkritik penyerahan sertifikat HPL untuk  Papua ini. Mereka menilai, penyerahan sertifikat ini bukanlah wujud penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat.

Franky Samparante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, pemerintah seharusnya memberikan hak pengakuan tanah adat bukan sertifikat HPL.

“Karena yang punya tanah itu kan masyarakat adat. Mestinya mereka tidak perlu lagi diberikan, tapi diakui haknya atas tanah adat itu,” katanya.

Penyerahan sertifikat HPL di tanah adat, katanya, jadi membingungkan karena HPL hanya untuk tanah negara yang kuasa pemanfaatan kepada masyarakat.

Senada disampaikan Nico Wamafma dari Greenpeace Indonesia. Menurut dia, pemberian seritifkat HPL ini menunjukkan dominasi negara atas wilayah masyarakat adat.

“Itu bukan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.  Itu melegitimasi status tanah atau lahan itu milik negara.”

Dia menduga, masyarakat adat  tidak mendapat informasi lengkap hingga menerima sertifikat HPL untuk tanah adat mereka.

“Negara mengakui hak masyarakat untuk melaksanakan pengelolaan tanah, baik digunakan masyarakat maupun nanti apabila ada peluang-peluang untuk dikerjasamakan dengan pihak lain,”  kata Hadi Tjahjanto,  Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN, saat menyerahkan sertifikat HPL 17 Oktober lalu.

 

Berikan hak hutan dan lahan adat Papua, bukan hak pengelolaan lahan .  Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Penyerahan sertifikat HPL seluas 699,7 hektaritu kali kedua dari pemerintah. Sebelumnya,  untuk komunitas adat di Sumatera Barat. Pemberian sertifkat HPL, katanya, menjamin perlindungan tanah adat.

“Apabila tanah tumpang tindih dengan HGU dan masyarakat belum memiliki sertifikat, potensi tanah itu hilang dari tanah adat sangat besar. Jika, masuk ke HGU, dalam kurun waktu sekian tahun jangka waktu HGU habis, tanah itu jadi tanah negara.”

Hadi mengimbau, kepada kepala daerah segera membantu menindaklanjuti proses sertifikat tanah-tanah adat. “Kalau bisa dibantu di-HPL kan semua itu.”

Kakanwil ATR/BPN wilayah Papua, Kepala Kantor ATR/BPN Kabupaten Jayapura, Pejabat Bupati Jayapura, dan Ketua Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura turut hadir dalam kesempatan itu.

Elvina Situmorang,  Ketua GTMA Kabupaten Jayapura menyampaikan laporan kemajuan kerja dalam program pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat di Kabupaten Jayapura.

Elvina juga Asisten I Setda Kabupaten Jayapura menyatakan,  GTMA bersama masyarakat adat di Kabupaten Jayapura telah melakukan pemetaan.

Proses pemetaan menghasilkan peta indikatif dan defenitif. Dari sana, sudah ada komunitas adat di Kabupaten Jayapura yang mendapat SK penetapan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kini, sertifikat HPL dari Menteri ATR/BPN.

Adapun luas wilayah adat sembilan suku di Kabupaten Jayapura mencapai 27.940.009 hektar. Luas wilayah yang sudah diusulkan GTMA ke Kantor ATR/BPN Papua baru 744,10 hektar.

Dari pengukuran Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura diperoleh luas akhir 699,7 hektar yang sertifikat diserahkan kepada masyaralat adat di Kampung Sawoi.

“Pada 17 Oktober, Kementerian  ATR/BPN menyerahkan langsung sertifikat tanah komunal kepada Masyarakat Adat Sawoi Kelurahan Hatib, Distrik Kemtuk Gresi. Negara telah mempertegas kepemilikan hak atas tanah bagi masyarakat adat,”  kata menteri.

 

Suku Asmat, di Kabupaten Asmat, Papua, sedang melakukan satu upacara adat di tengah hutan mereka. Masyarakat adat Papua, perlu pengakuan hak wilayah adat, bukan dengan pemberian HPL yang bisa  membingungkan itu tanah adat atau tanah negara? Foto : shutterstock

 

Dasar hukum keliru

Yance Arizona, pakar hukum agraria dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada, Yogjakarta mengatakan, KATR/BPN menggunakan dasar hukum keliru. Pasalnya, penerbitan HPL di tanah adat tidak ada dalam UU Cipta Kerja tetapi muncul dalam peraturan pelaksana.

HPL, katanya,  diatur dalam UU No 11/2021 tentang  Cipta Kerja. HPL itu kemudian diatur lebih lanjut dengan PP No.12/2021. Dalam PP itu dibuka kemungkinan memberikan HPL di atas tanah ulayat.

“Sebenarnya, PP tidak boleh menciptakan sesuatu yang baru. PP menjalankan yang ada di UU.  Karena itu, ini rentan dipersoalkan melalui judicial review ke Mahkamah Agung.”

Selain itu, katanya, Pasal 16 UU Pokok Agraria, HPL tidak termasuk hak atas tanah. HPL, katanya,  adalah bentuk penguasaan pemerintah terhadap bidang tanah. Dalam praktiknya, pemerintah menerbitkan sertifikat.

“Pemberian sertifikat untuk HPL saja kalau pakai logika hak atas tanah itu keliru. Lalu yang keliru ini mau jadi alas untuk pemberian sertifikat tanah ulayat.”

Kerangka hukum di Indoensia, kata Yance,  saat ini belum menyediakan mekanisme untuk pendaftaran tanah ulayat.

Yang baru tersedia, katanya,  aturan tentang penatausahaan tanah ulayat. Penataan tanah ulayat diatur dalam  Permen ATR/BPN Nomor 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

Namun, katanya,  permen ini tak bisa dilaksanakan karena pembuatan tak sesuai kondisi lapangan. Permen ini, katanya,  sedang direvisi oleh KATR/BPN.

Sembari menunggu revisi permen, Arizona menduga tindakan BPN/ATR memberikan sertifkat HPL di tanah adat adalah untuk mempercepat pendaftaran bidang tanah di seluruh Indonesia melalui program pendaftaran tanah sistematik lengkap (PTSL).

Padahal, katanya,  untuk tanah ulayat, pemerintah bisa memberikan sertifkat hak ulayat dengan membuat aturan operasional bukan HPL.

Konstruksi HPL dalam UU Cipta Kerja maupun UUPA, katanya,  untuk pengembangan bisnis. Masyarakat adat mengadministrasikan tanah mereka bukan semata untuk pengembangan bisnis. Sebaliknya, mereka melakukan agar aman dari penguasaan pihak luar.

Pemerintah, katanya,  harus mempertimbangkan dampak sosial dan hukum dari penerbitan sertifkat HPL ini. Konstruksi HPL mewajibkan masyarakat adat membuat rencana penggunaan tanah.  “Itu akan menjadi beban baru bagi masyarakat.”

Selain itu, katanya, status tanah jadi tidak jelas antara tanah negara atau tanah ulayat.

“Kalau status HPL-nya dicabut, itu statusnya bagaimana nanti? Apakah jadi tanah negara? Kan repot juga. Kalau tanah ulayat, apa keputusan administrasinya?”

Yance mengatakan,  upaya  pengadministrasian tanah-tanah masyarakat adat harus benar-benar mengecek kondisi lapangan.

“Misalkan, yang saya amati di Papua Barat, banyak tanah dimiliki kelompok yang secara genealogis sama misalkan keret. Bisa saja didaftarkan sebagai milik bersama keret itu.”

 

Hadi Tjahjanto, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN (baju putih ketiga dari kanan), menyerahkan sertifikat hak penggunaan lahan (HPL) kepada masyarakat adat di Papua. Foto: dokumen warga

 

Di Bali, misal, desa adat bisa jadi subyek milik tanah adat. Meski tak ada cantolan hukum, KATR/BPN masa kepemimpinan Sofyan Djalil membuat peraturan yang memungkinan desa adat bisa menjadi subyek milik. Skema seperti itu bisa dipakai di Papua.

Yance berharap, hasil revisi Permen ATR/BPN Nomor 18/2019  akan lebih akomodatif terhadap situasi masyarakat adat.

Tak jauh dari lokasi menteri ATR/BPN memberikan sertifikat HPL, KLHK juga baru menyerahkan sekitar enam surat keputusan hutan adat.

Nico Wamafma menyatakan, masyarakat adat di Papua perlu pengakuan atas wilayah adat, bukan sektoral sebagaimana yang sedang dijalankan KLHK dan ATR/BPN saat ini.

“Masyarakat adat butuh pengakuan atas eksistensi dan wilayah adat mereka. Wilayah adat tak boleh dilihat sepotong-sepotong. Kampung, hutan, kebun, air yang mengalir, sumber daya alam, semua terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah adat.”

Hal sama disampaikan Franky. Menurut dia, skema pengakuan yang banyak dan rumit ini membingungkan dan akan menyulitkan masyarakat memperoleh pengakuan.

“Menurut saya, negara cukup memberikan pengakuan atas wilayah adat yang dimintakan masyarakat. Kalau seperti ini kan sektoral banget. Hutan diberikan oleh Kehutanan, tanahnya diberikan oleh BPN. Sementara, di masyarakat adat mereka tidak mengenal pemisahan seperti itu.”

Eko Cahyono dari Sajogjo Institute mengatakan, pemerintah harus melakukan pengakuan sungguh-sungguh dan tidak sekadar mensukseskan program-program mereka.

Dia khawatir, reforma agararia yang dijalankan rezim Pemerintahan Joko Widodo cenderung hanya melakukan legalisasi aset. Legalisasi aset tanpa penguatan sosial ekonomi justru akan memudahkan pasar tanah. Hal ini, katanya,  akan sangat berbahaya untuk Papua.

Hasil  evaluasi menunjukkan, program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) KATR/BPN memudahkan tanah masuk dalam sirkulasi pasar.

“Dengan cara apa? Mereka mengagunkan tanah di bank untuk dapat fresh money. Syukur kalau bisa bayar, kalau tidak, bisa hilang tanahnya.”

Dari proses legalisasi aset pemerintah, Pemerintah tampak menyederhanakan hubungan masyarakat dengan tanah semata hubungan ekonomi. Padahal, katanya,  hubungan masyarakat adat dengan tanah juga termasuk hubungan sosial, ekologi, bahkan hingga religi.

Pemerintah,  harus melihat lebih dalam pengakuan yang diperlukan masyarakat adat di Papua.

“Penerbitan HPL di tanah ulayat oleh Menteri ATR harus jadi refleksi bahwa belum ada reforma agraria di wilayah adat. Papua bisa menjadi contoh karena selain sistem adat masih kuat, juga karena hutan itu hutan terakhir yang harus diselamatkan.”

 

 

******

Exit mobile version