Mongabay.co.id

Jaga Hutan Batutegi dengan Agroforestri dan Pertanian Organik

 

 

 

 

 

Sri Atmiatun memegang empat botol berisi cairan. Di dalamnya ada pupuk organik cair, mikro organisme lokal (MOL), pestisida nabati, dan pestisida ‘dua kaki’ – penamaan yang merujuk fungsi membunuh hama dan mengobati penyakit.

Sri, adalah anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sumber Makmur, yang mengelola hutan kemasyarakatan (HKm) di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Batutegi, Lampung.

Dia bilang, petani di sana mulai gunakan pupuk dan pestisida  organik itu untuk menjaga kesuburan tanah, menyehatkan tanaman hingga membasmi hama dan penyakit.

Pertanian organik dinilai memberi keuntungan ekonomis, karena bahan dasar dapat ditemukan di sekitar kebun. Dampak lanjutannya, kata Sri, para petani bisa mengirit anggaran produksi dan ramah alam.

“Terakhir bikin pupuk organik, kami produksi dua ton sekian,” katanya, seraya bilang,  dari Januari-Mei 2023,  mereka bikin pupuk organik padat sekitar 11 ton.

Selain dari tanaman sekitar, bahan pupuk organik adalah kotoran kambing.

Dayat, Ketua Gapoktan Sumber Makmur mengatakan, kotoran kambing itu mereka kumpulkan dari kandang-kandang ternak warga.

Mereka bikin kandang dari bambu. Kandang ini didesain ada beberapa bilik dan memiliki sela-sela di bagian lantai. Di balik lantai bambu terdapat terpal yang akan menampung kotoran, mengalirkan urin melalui paralon, yang berakhir di ember.

“Kotoran kambing inilah yang nantinya diolah jadi pupuk kompos dan pupuk organik cair,” ujar Dayat.

 

Pupuk organik yang diproduksi Gapoktan Sumber Makmur. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Dalam beberapa tahun belakangan, petani memang menerapkan model pertanian agroforestri, lebih spesifik pola agrosilvopastura yang merupakan kombinasi pertanian berkelanjutan dengan peternakan. Metode ini juga untuk menekan biaya produksi, menyediakan bahan utama pembuatan pupuk organik, serta membantu perbaiki kondisi lahan di HKm.

Di sekitar hutan kelola petani, katanya,  juga ada rumah persemaian, fasilitas untuk memenuhi ketersediaan bermacam bibit tanaman dan bibit unggul.

Dayat mengatakan, bibit di rumah persemaian antara lain kemiri, alpukat dan pinang. Lewat penyediaan bibit ini, katanya, petani punya opsi tanaman selain kopi.

“Kami pilih pinang, kemiri dan alpukat, karena ada kesinambungan dan pengolahan ringan. Beda dengan kopi. Kalau [kopi] sudah berbuah, tinggal sistem cara pengambilan saja. Hanya ambil yang matang saja, tetap ada pendapatan tiap bulan.”

Saat ini, persemaian memasuki tahun ketiga. Tiap tahun mereka memproduksi lebih dari 1.000 bibit. Bahkan, pada 2023, kata Dayat, semaian mereka mencapai 3.500 bibit. Bibit-bibit itu mereka simpan dalam ecopolybag, terbuat dari bambu.

Selain ekonomis, penggunaan bambu dinilai dapat meminimalisir dampak lingkungan karena tak pakai sampah plastik.

 

Kebun warga di KPH Batutegi. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Belajar dari sekolah lapang

Pertanian organik yang diterapkan Gapoktan Sumber Makmur hasil belajar dari program Sekolah Lingkungan yang digagas Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).

Sejak September 2022, petani dilatih membuat pupuk kompos, mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) serta mengembangkan Trichoderma, atau jamur yang berfungsi membunuh jamur.

Eko Sukamto, mentor petani dalam program Sekolah Lapang menilai, pertanian organik Gapoktan Sumber Makmur merupakan praktik pemecahan masalah secara alami. Melalui praktik itu, katanya, petani diharapkan dapat mengidentifikasi tanaman yang mengundang serangga, mengetahui binatang-binatang pembasmi hama, hingga pakai limbah kotoran ternak sebagai pupuk.

“Harapannya, bisa jadi solusi bagi masalah mereka, terutama harga pupuk yang mahal,” katanya.

Menurut Eko, prinsip dasar pertanian organik adalah menjaga kesehatan tanah dan keseimbangan alam. Sebab, tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman subur. Sementara, keseimbangan alam diyakini akan memberi timbal balik bagi lingkungan usaha tani.

“Kalau ada hama, kita tidak bunuh sampai tuntas karena efeknya akan timbul imun pada anakannya.”

Upaya mengembangkan pertanian organik, katanya,  juga harus didukung dengan memecahkan sejumlah kendala, seperti produksi minim dan pasar terbatas.

Perbaikan di sektor produksi maupun pemasaran diyakini akan meningkatkan pendapatan petani berkali-kali lipat, dan mendukung praktik pertanian berkelanjutan.

“Kita harus ubah pola pikir, karena masyarakat maunya yang praktis. Kalau organik itu pelan, tapi pasti,” katanya, menyebut tujuan akhir pertanian organik adalah kesehatan konsumen.

 

Perjalanan menuju KPH Batutegi. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Jaga hutan tersisa

KPH Batutegi seluas sekitar 58.000 hektar, hanya 17,4% hutan tersisa kategori alami, selebihnya kebun-kebun warga maupun lahan terbuka. Karena itu, sejak 2017, YIARI bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Lampung di hutan lindung Batutegi berupaya menjaga hutan tersisa.

YIARI berdiri sejak 2008, dengan penyandang utama dari International Animal Rescue (IAR) yang berpusat di Inggris. Salah satu fokus kegiatan organisasi ini adalah melindungi hutan sebagai area habitat satwa liar.

Robithotul Huda, Senior Manager Program Resiliensi Habitat YIARI mengatakan, pada tahun-tahun awal mereka masih berfokus pada perlindungan satwa dan habitat. Kegiatannya,  seperti patroli kawasan, dan pelepasliaran satwa hasil rehabilitasi YIARI.

KPH Batutegi, katanya,  merupakan habitat bagi berbagai satwa, seperti harimau Sumatera, kucing emas, musang bulan, siamang,  beruk, monyet ekor panjang, simpai, dan kukang Sumatera.

 

Polibag dari bambu buatan Gapoktan Sumber Makmur. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Alih fungsi luas hutan lindung jadi kebun, mendorong YIARI lakukan intervensi. Dengan mengajak warga bersama-sama mengelola sekaligus menjaga hutan tersisa dan memulihkan yang rusak.

Huda menyebut, pendekatan yang ditawarkan dengan agroforestri. Melalui pendekatan itu, mereka ingin bersama membenahi pengelolaan lahan pertanian.

Metode yang diperkenalkan pada petani adalah agrosilvikultur. Secara teknis, metode ini dengan mempertahankan atau memulihkan tegakan hutan, sambil menyediakan ruang tanaman pertanian yang bisa dikelola secara intensif.

Pola pemanfaatan ini dipercaya dapat menjaga manfaat ekologis kawasan hutan, sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi petani HKm.

“Kami identifikasi dulu situasi yang dihadapi petani, menanyakan harapan mereka, baru mulai. Dengan cara ini, kami harap petani bisa mandiri ke depan,” kata Huda.

 

Rumah persemaian bibit Gapoktan Sumber Makmur. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2022, petani HKm yang masuk program pendampingan YIARI-KPH Batutegi terdiri dari 10 Kelompok Tani Hutan (KTH) di tiga gapoktan yakni Sumber Makmur, Wana Tani Lestari dan Mandiri Lestari.

Pada tahun itu, petani yang terlibat dalam pendampingan YIARI ada 133 orang. Mereka mendapat bantuan dua rumah persemaian, 1.414 bibit tanaman, 10 ternak bergulir, dan berbagai pelatihan.

Qodri, Kepala UPTD KPH Batutegi mengatakan, dukungan YIARI membantu upaya perlindungan hutan dan pemberdayaan masyarakat. Kawasan hutan seluas 58.000 hektar itu disebut terlampau luas untuk diawasi mereka sendiri dengan personil yang terbatas.

Menurut Qodri, salah satu hasil paling terlihat dari program di KPH Batutegi adalah keragaman jenis tanaman. Para petani yang awalnya hanya mengandalkan tanaman monokultur, seperti kopi, perlahan mulai menerapkan agroforestri.

Sampai 2022, YIARI mencatat keragaman tanaman terlihat di tiga gapoktan itu. Meski masih didominasi kopi, namun tanaman-tanaman lain sudah dikembangkan, seperti lada, pisang, kakao, pepaya, padi, singkong dan vanili.

“Kami beruntung terbantu YIARI, hingga tahun ini KPH Batutegi mendapatkan predikat KPH efektif tingkat nasional,” kata Qodri.

 

Bendungan kering di musim kemarau di KPH Batutegi. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

*********

Exit mobile version