Mongabay.co.id

Kala Kebun di Pekalongan Terlibas Rob, Sebagian Warga Upayakan ‘Urban Farming’ dan Budidaya Ikan

 

 

 

 

 

 

Bunga melati banyak ditemui di kebun-kebun warga di area pesisir Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dua kelurahan,  Kandang Panjang dan Bandengan terkenal dengan perkebunan melati yang berkualitas bagus. Sayangnya, kini kebun-kebun itu tinggal kenangan. Kebun-kebun warga itu nyaris sirna berubah menjadi lautan terkena abrasi.  Banjir pasang air laut (rob) bedar pada 2010 menyirnakan semua.

Dulu, Sobirin memiliki setengah hektar kebun melati, dua hektar sawah, satu hektar tambak bandeng. Masih segar dalam ingatan Sobirin, dulu setiap hari memetik melati di kebun. Dia menggantungkan hidup dari berkebun, bertani, dan beternak bandeng.

“(Panen melati) setiap hari … hari ini umpama 10 kg, besok paling cocok lima kg, naik turun,” katanya,  belum lama ini.

Saat pekebunan melati masih jaya di Pekalongan,  banyak jurangan dan tengkulak datang ke sana untuk bisnis melati, tidak jarang dari luar kota, seperti Demak. Kualitas melati Pekalongan, katanya, terkenal bagus.

“Melati itu kalau daerah sini, daerah Kandang Panjang itu, kualitase yo ra ono sing lawan, mas. Baune ra ono sing lawan.”

 

Lara pekebun

Sobirin punya lima anak, semua sudah berkeluarga. Kini, dia tinggal seorang diri di Desa Bandengan. Umur sudah 70-an tahun. Anak-anaknya sempat mengajak tinggal di tempat lain, yang lebih aman dan nyaman, namun dia tidak mau. Dia memilih tinggal di rumah asalnya meski harus menimbun beberapa kali karena terkena banjir rob.

Sejak 2010, setidaknya Sobirin sudah menimbun lantai rumah tiga kali, setengah meter sekali timbun. Dinding rumah yang semula 3,5 meter, kini tinggal dua meter.

Setelah tak jadi petani dan pembudidaya, dia hanya mengandalkan kiriman uang dari anak-anaknya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dia juga buka jasa sewa keranjang makanan, wadah, untuk hajatan walau pun hanya sedikit. Dia pernah mendapat bantuan Rp7 juta dari pemerintah, buat menimbun lantai rumah.

Lahan-lahan terendam itu dia biarkan saja karena meski dijual harga sangat murah Rp10.000 per meter.

Luas Kelurahan Bandengan sekitar 200 hektar: pemukiman sekitar 22 hektar, sawah 115 hektar, sisanya tambak.

Aji, Kasi Pemberdayaan Ketenteraman dan Ketertiban, Kelurahan Bandengan, Pekalongan Utara, menyebut, semua lahan pertanian di kelurahan ini sudah tenggelam setelah 2010.

“Kalau tambak sekarang ya mungkin tinggal satu, dua, yang masih aktif. Yang lain  sudah gulung tikar semua. Untuk sawah pun juga sudah tidak ada kelihatan daratnya sama sekali,” katanya.

 

Baca juga: Banjir Rob Pekalongan, Bagaimana Mitigasi dan Adaptasinya?

Kebun melati yang dulu banyak di Pekalongan, kini nyaris sirna. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Lahan-lahan di sana pernah terlihat kembali selama beberapa bulan setelah tanggul laut selesai dibangun, tetapi tak bertahan lama, kembali tenggelam hingga kini.

“Mungkin karena penurunan tanah, sawah itu kembali tenggelam lagi sampai sekarang.”

Ketika banjir kembali melanda, air yang menggenang dipompa ke laut. Di Desa Bandengan, katanya,  ada satu rumah pompa walau sudah tua.

Aji bilang, pompa itu hanya berfungsi baik selama empat jam, setelah itu tidak berfungsi dengan baik, harus diistirahatkan agar jalan lagi.

“Mudah-mudahan kalau ada tambahan lagi bisa mengatasi,” kata Aji.

Syafi’i Latuconsina, Dewan Pakar Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan,  melati punya prospek bagus di pasaran antara lain sebagai campuran teh.

Dulu,  Pekalongan dan Bukateja di Purbalingga jadi pusat perkebunan melati bagus. Sayangnya, di Pekalongan kini habis karena banjir rob.

Seandainya warga mau, katanya, masih bisa bikin kebun melati lagi di sisa lahan yang ada, yang penting media tanam atau pun  tanah diperbaiki.

“Bunga melati bisa tumbuh di daratan, mulai rendah sampah ke menengah-tinggi. Hanya memang kualitas bagus itu di daratan rendah sampai menengah, aroma lebih keluar. Aroma lebih bagus ketimbang di daratan tinggi.”

 

Baca juga: Kala Kota Batik Pekalongan Alami Banjir Rob

Lahan tenggelam dimanfaatkan jadi budidaya ikan. Foto: Moh tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Adaptasi

Lahan pertanian dan perkebunan warga yang tenggelam bukan hanya di Kelurahan Kandang Panjang dan Bandengan, setidaknya ada delapan kelurahan di Pekalongan Utara, termasuk di Kelurahan Krapyak.

Di Kelurahan Krapyak, sebagian warga mencoba beradaptasi dengan ruang hidup baru, antara lain urban farming sistem vertikultur dan budidaya ikan.

Nur Rahmah, ibu rumah tangga asal Kelurahan Krapyak, salah satu yang buat urban farming. Bersama tetangganya di RW10, dia bikin kelompok pertanian dengan sistem vertikultur.

Tanaman di  dalam pot, polibek, dan kompos blok. Kompos blok bisa selama satu tahun, tanaman tidak usah diberi  pupuk lagi dalam rentang waktu itu.

Mereka menanam berbagai sayuran dan buah sejak 2022. Awalnya, mereka swadaya, lama-lama dapat bantuan dari beberapa lembaga, seperti Kemitraan, baik berupa dana, pelatihan, maupun pendampingan.

Anggota kelompok masih 10 orang. Rahmah,pegiat urban farming,  bilang, mau mulai skala kecil dulu, ingin tunjukkan dulu ke warga lain. Kalau berhasil, katanya, biar otomatis yang lain mengikuti langkahnya.

“Sementara kita tidak perlu orang banyak dulu, yang konsisten saja dulu. Nanti, dengan mereka melihat hasil bisa kan bertambah sendiri, gak perlu ngoprak-ngoprak sudah, kita tunjukin saja hasilnya.”

Mereka kini punya lahan seluas 90 meter persegi untuk bertani dengan gunakan pupuk kompos buat sendiri hasil pelatihan. Bahan dasar enceng gondok dan sekam. Takarannya, sekarung enceng gondok, sekarung sekam, setengah karung tanah, dan sedikit tetes tebu. Ada juga yang pakai bahan bulu ayam buat bikin pupuk organik.

“Kita ada konsultan dari UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), bagaimana caranya mempercepat tanaman itu cepat berbuah, cepat subur. Kita konsultasikan,” kata Rahmah.

Mereka sudah panen dua kali. Rahmah bilang, waktu panen jadi lebih singkat berkat pupuk kompos. Dia contohkan, terong biasa panen saat tanaman berusia tiga sampai empat bulan, dengan kompos bisa dua bulan saja.

“Daun lebat dan terong besar. Kita saja kaget karena cepat banget,” katanya.

Untuk budidaya ikan, sebagian warga Krapyak coba pelihara nila dan bandeng. Kedua jenis ikan itu bisa beradaptasi dengan mudah.

“Sebenarnya kalau bandeng, nila, itu relatif adaptif ikannya. Jadi, salinitas berapapun bisa beradaptasi,” kata Hari Ariadi, pendamping budidaya ikan di Krapyak.

Saat budidaya kepiting tak berkembang baik dan hasil tidak bagus karena kadar garam di tempat budidaya terlalu rendah.

Dosen Fakultas Perikanan, Universitas Pekalongan (Unikal) itu bilang, air dengan kadar garam rendah itu miskin mineral.

“Ketika kepiting ganti kulit, gak balik lagi kulitnya. Jadi soft, akhirnya mati, dimakan temannya.”

 

Baca juga: Banjir Rob Pekalongan Hidup Pembatik Makin Tak Menentu 

Nur Rahman, yang upayakan urban farming dengan sistem vertikultur. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Masa depan Pekalongan

Eko Teguh Paripurno, Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, bilang,  kadar tanah setelah terkena banjir rob akan meningkat. Air tawar jadi payau.

Tak ada pencucian sempurna untuk mengembalikan kadar garam tanah pada keadaan semula. Untuk itu,  kata Eko, tanaman yang bisa hidup adalah yang mampu dengan perubahan peningkatan kadar garam.

“Setiap pohon punya ambang batas pertahanan terhadap salah satu atau salah banyak unsur di sana,” katanya kepada Mongabay, Oktober lalu.

Secara teoritis, penetralan garam dalam tanah bisa tetapi ongkos mahal. “Artinya,  gak ada yang tidak mungkin, tinggal apakah ekonomis?”

Tanah yang turun di Pakalongan tidak akan meninggi lagi kecuali ada fenomena tektonik. Fenomena seperti itu terjadi di Semarang, katanya,  tetapi jauh lebih signifikan penurunan tanah daripada kenaikan.

Eko bilang, penurunan tanah selalu berhubungan dengan eksploitasi air tanah berlebihan. Kecepatan penurunan berbeda-beda, tergantung struktur tanah batuan di suatu daerah.

 

Pesisir yang kini sudah jadi laut itu dulu kebun melati di Pekalongan. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Sella Lestari Nurmaulia, Dosen Prodi Teknik Geodesi & Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,  Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, pengambilan air tanah berlebihan punya dampak terhadap penurunan permukaan tanah sebagaimana di Pekalongan.

Satu sisi, penyediaan air baku perlu terjamin, terutama untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat. Sisi lain, katanya, regulasi pengambilan air tanah harus tegas dan memperhatikan kelestarian sumber daya air dan lingkungan.

“Perlu ada solusi-solusi yang bisa dihadirkan pemerintah, semua pihak perlu saling bekerja sama.”

Dia bilang, dulu mahasiswanya pernah KKN di Kelurahan Degayu, Pekalongan Utara. Mereka desalinasi air laut karena air permukaan sudah kurang aman untuk konsumsi. Hasilnya, kurang baik dan biaya mahal.

Penggunaan air juga perlu memperhatikan keberlanjutan.

Sella bilang, gerakan konservasi air dan semacamnya harus masif.  Instansi yang menangani juga harus jelas dan tak saling lempar.  Mereka harus punya inovasi dan adaptasi yang baik serta bergerak berkesinambungan.

Kendati teknologi mengatasi fenomena ini mahal alias perlu investasi besar, Sella bilang, harus ada aksi, tidak bisa dibiarkan begitu saja dan menyerah.

“Harus cari solusi atau alternatif-alternatif lain yang memang tidak bertumpu pada struktur saja, pembangunan infrastruktur.”

Dia bilang, tak hanya infrastruktur, aktivitas ekonomi juga perlu dibangun. Sella bilang, percuma fasilitas publik terbangun tetapi aktivitas ekonomi tak ada. Masyarakat, katanya,  tidak bisa mengakses fasilitas dengan baik.

Kalau harus memindahkan masyarakat ke daerah lain, katanya, juga pilihan sulit. “Pindah ke mana, penghasilan masyarakat di tempat baru itu bagaimana?” Belum lagi, katanya, hubungan antara manusia dan lahan atau ruang hidup itu kuat.

“Mereka berdamai dengan bencana tetapi tidak semua bisa melakukan itu.”

 

Langit-langit rumah yang dulu 3,5 meter makin rendah karena lantai terus ditinggikan karena rob. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

******

 

Exit mobile version