Mongabay.co.id

Waspada Ekstraktivisme Berbalut ‘Hijau’

 

 

 

 

 

 

Ekstraktivisme era kini berupaya menyamarkan wujud dengan tampil berbalut label ekonomi hijau maupun transisi energi, padahal tak lebih dari upaya para kapitalis mengakumulasi modal dengan cepat lewat mengeruk kekayaan alam. Ekstraktivisme pun jadi masalah hampir di seluruh belahan dunia, utara maupun selatan termasuk Indonesia.

Rodrigo de Castro, anggota Stering Committee Tematic Social Forum (TSF) on mining and economy extractive mengatakan, ekstravisme, menjadikan masyarakat bergantung pada pola konsumsi tidak berkelanjutan, menghancurkan cara-cara produksi lebih pro lingkungan. Juga, jadikan jutaan orang kehilangan tanah dan air serta mata pencaharian mereka.

Di tempat produksi kapitalis–yang jadi pusat pertambangan dan ekstraksi saat ini– menimbulkan krisis di berbagai belahan dunia.

“Ambisi pemerintah untuk pembangunan dan mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek, merusak masa depan masyarakat di tingkat lokal dan regional,” katanya di sela TSF, Oktober lalu di Semarang.

Dalam forum ini ada sekitar 300 peserta hadir dari 60 negara, mulai Afrika Selatan, Amerika Latin, Asia, Oceania hingga Asia Pasifik. Mereka saling berbagi cerita pengalaman bagaimana ekstraktivisme menghancurkan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.

Ekstraksi tambang, katanya, memicu gelombang migrasi, menyebabkan pembengkakan dan disorganisasi kota, serta peningkatan pengangguran maupun kekerasan terutama di kalangan anak muda. Banyak pula, katanya,  lubang-lubang tambang beracun dibiarkan begitu saja tanpa proses reklamasi memadai.

Belum lagi, dampak industri ekstraktif, kata Rodrigo, menyebabkan mata pencaharian dan rantai pasokan lokal terganggu, pada gilirannya berdampak buruk pada pasokan barang dan jasa lingkungan. Hal ini pula yang pada akhirnya memunculkan diskursus mengenai konsep ‘pembangunan untuk siapa?’

 

Spanduk penolakan relokasi warga dibentangkan saat Menteri Bahlil berkunjung ke Pulau Rempang, 13 Agustus lalu. Pulau Rempang akan jadi kawasan industri dengan nama seolah-olah bisnis ramah lingkungan “Rempang Eco-city.” Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

HAM dan alam

Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, mengatakan, industri ekstraktif massif menciptakan praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di banyak tempat. Terutama di negara-negara dunia ketiga yang jadi sasaran pengerukan sumber daya oleh pemodal besar, termasuk Indonesia.

Celakanya, praktik-praktik ekstraktivisme itu dikemas dengan narasi yang seolah-olah pro terhadap keberlanjutan, misal, ekonomi hijau dan transisi energi. “Ini jadi makin rumit karena solusi yang ditawarkan pemerintah justru memicu persoalan baru,” katanya.

Menurut dia, ada banyak wilayah adat dan komunitas di Maluku dan Sulawesi, misal, terdampak tambang nikel tanpa ganti rugi yang adil.

Negara, kata Melky,  seharusnya hadir memastikan hak rakyat terpenuhi, justru berlaku sebaliknya. Alih-alih membantu rakyat, kebijakan yang dibuat negara justru terkesan memberi karpet merah melalui serangkaian revisi regulasi demi membuka jalan bagi korporasi besar.

 

Seorang petani di Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jabar di tengah sawah berlatar belakang PLTU I Indramayu yang asapnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Sekarang pemerintah punya program transis energi dengan mencampur biomassa  (5-10%) dengan batubara (95-90%)  sudah dapat label hijau. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Transisi adil

Dewasa ini dunia tengah dihadapkan pada persoalan krisis iklim. Suhu bumi terus meningkat memicu perubahan cuaca ekstrem dan bencana di banyak tempat hingga memunculkan pertanyaan nasib bumi di masa depan.

Dalam waktu sama, fenomena itu kian membuka kesadaran dan aksi-aksi demi bumi layak ditinggali. Salah satunya, mendorong transisi energi dari fosil ke terbarukan lebih cepat. Masalahnya, di banyak negara, upaya mempercepat transisi ini dimanifestasikan dalam sudut sempit, seperti ggunaan kendaraan listrik.

Sejumlah pihak pun menilai, cara itu sebagai solusi palsu pemerintah yang akhirnya memicu persoalan baru. Ambisi mengganti kendaraan berbahan fosil jadi kendaraan listrik telah meningkatkan praktik ekstraktivisme di banyak negara, termasuk Indonesia. Buntutnya, terjadi kerusakan lingkungan, maupun pelanggaran hak-hak masyarakat.

Laporan yang rilis oleh War or Want menyebutkan, setiap teknologi berlabel ramah lingkungan yang baru berpotensi menimbulkan kekerasan ekstraktivis dan eksploitasi pekerja. Ancaman pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan komunitas sekitar lokasi meningkat.

Perusahaan-perusahaan pertambangan berkolaborasi dengan berbagai lembaga dan pemerintah untuk agresif memasarkan kegiatan mereka yang merusak dan tidak adil secara sosial sebagai solusi palsu terhadap krisis iklim di bawah istilah-istilah seperti “pertambangan iklim” dan ekstraktivisme ‘hijau’.

Melalui narasi tentang transisi pertambangan dan energi, sejumlah pihak memberi pemakluman untuk mengekstraksi lebih banyak mineral dengan dalih demi energi terbarukan atau energi bersih.

“Mereka berkampanye, membangun narasi tentang green energy, green economy. Padahal, semua itu tidak pernah ada,” kata Suheyla, insinyur asal Turki juga hadir dalam kegiatan ini.

Masyarakat yang terkena dampak dan para pembela hak asasi manusia menekankan, mineral transisi menambah beban ancaman masyarakat di sekitar area tambang. Karena itu, dia sepakat tak seorang pun boleh dikorbankan demi dan atas nama pembangunan.

“Pemeritah harus menghargai hak masyarakat untuk mengatakan tidak dan menolak proyek-proyek pertambangan yang berdampak pada wilayah dan perairan mereka,” katanya.

Andy Whitmore, perwakilan London Mining Network (LMN) mengamini pernyataan Suheyla.

Menurut dia, implementasi transisi energi saat ini belum pada tahap ideal. Alih-alih melibatkan masyarakat, narasi justru terkesan menjadi monopoli korporasi yang pada akhirnya jadi pembenar untuk terus mengeruk mineral dalam perut bumi.

Andy sepakat, untuk mengatasi krisis iklim perlu transisi cepat dari energi fosil ke terbarukan. Namun, katanya, itu tak akan pernah dicapai dengan hanya mengandalkan bahan baku mineral yang tidak berkelanjutan atau terbarukan. “Kita memerlukan solusi terencana, rendah karbon, dan tidak banyak mengeruk sumber daya di bumi.”

Melky mengatakan, problem tambang dan ekonomi ekstraktif tidak hanya dialami Indonesia juga negara lain di berbagai belahan dunia ini.

“Ada banyak perampasan tanah dan praktik pelanggaran oleh negara dan korporasi. Karena itu, kita ingin bergerak saling mendukung dan bersolidaritas.”

Menurut Melky, apa yang terjadi di Sulawesi, Maluku,  dalam kaitan dengan penambangan ore nikel untuk memproduksi baterai kendaraan listrik merupakan bukti paling kongkret. Gagasan transisi energi, katanya, justru diwarnai deforestasi besar-besaran, dan pelanggaran hak masyarakat lokal dan adat.

“Situasi makin rumit karena pemerintah dengan mudah mengalihfungsikan seluruh wilayah. Tidak hanya daratan, juga laut untuk ditambang.”

 

Land clearing lahan untuk bangun infrastruktur PLTA Batangtoru. Energi terbarukankah kalau dalam prosesnya seperti ini?  Foto: Nanang Sujana

 

Bangun kekuatan dan solidaritas

Selama pertemuan, para peserta mendapat kesempatan berbagi pengalaman bagaimana perjuangan mereka di wilayah masing-masing. Para peserta juga diajak membaca dan menganalisa bagaimana lanskap industri pertambangan dan ekstraktivisme yang lebih luas baik tingkat lokal, nasional, dan internasional.

Rodrigo mengatakan, para peserta juga diajak mengidentifikasi dan memetakan berbagai isu untuk membuka peluang kolaborasi antar komunitas.

Yang tak kalah penting, katanya, memperkuat mekanisme koordinasi struktural TSF untuk mengintensifkan kampanye dan tindakan di tingkat global, regional, maupun nasional.

Rodrigo berharap, para peserta dari berbagai belahan dunia ini dapat memberi perspektif dan wawasan penting mengenai logika kapitalisme ekstraktif dalam mengeruk sumber daya alam.

“Inilah pentingnya forum ini. Saat negara tak lagi mampu melindungi rakyatnya, rakyatnya-lah yang harus berhimpun, membangun jaringan untuk melindungi diri sendiri,” kata Melky di sela kegiatan.

Karena itu, dia pun sepakat bila pelanggaran HAM dan hak-hak alam masih menjadi tantangan besar hingga kini. Faktanya, hukum dan mekanisme negara masih jauh dari melindungi masyarakat dan alam, kalaupun ada, hanya parsial.

Melky berharap,  forum ini dapat memperkuat kembali perjuangan di tingkat komunitas, mendorong kedaulatan, kontrol, dan pengelolaan sumber daya alam arif di berbagai tempat.

“Harapannya ini mampu menjadi penghubung perjuangan komunitas lintas batas. Baik nasional, regional hingga global untuk menuntut transisi yang adil dan lestari, tanpa pertambangan.”

 

 

 

 

Exit mobile version