Mongabay.co.id

27 Tahun Lagi, Tangkapan Ikan di Laut Diprediksi Turun Drastis

 

Menjaga wilayah pesisir dan aset sumber daya ikan (SDI) di perairan laut Nusantara bukan menjadi pekerjaan yang mudah untuk dilakukan Pemerintah Indonesia. Bertahun-tahun lamanya, upaya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian di pesisir dan laut sudah dilakukan Pemerintah.

Namun, upaya yang dilakukan melalui beragam cara itu, masih tetap belum bisa menghalau dampak perubahan iklim yang semakin bergerak cepat. Fenomena alam itu, tak hanya mengancam perubahan alam dan kebiasaannya, namun juga segala potensi sumber daya alam di laut.

Ketua Tim Kerja Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Fegi Nurhabni membeberkan sejumlah fakta mengerikan berkaitan dengan dampak perubahan iklim di pesisir dan laut.

Menurut dia belum lama ini, laut Indonesia saat ini sedang mengalami kenaikan suhu lebih dari 0,5 derajat Celsius dan kondisi tersebut diprediksi akan semakin menghangat hingga puluhan tahun ke depan. Ada prediksi skenario emisi global rendah dan tinggi di masa mendatang.

Jika skenario melalui upaya mitigasi dijalankan, maka emisi global rendah (SSP1-2.6) diperkirakan suhu permukaan air laut akan terus menghangat hingga 0,86 derajat celsius. Namun, jika tanpa upaya mitigasi, maka emisi global tinggi (SSP1-8.5) diperkirakan akan naik hingga 3,68 derajat celsius.

Penjelasan Fegi itu diamini Ekonomi Senior Bank Dunia David Kaczan. Dia mengatakan kalau peningkatan temperatur atmosfer dan karbondioksida (CO2) akan mengubah kondisi laut secara signifikan.

“Mencakup penurunan tingkat keasaman, kadar oksigen, dan tingkat salinitas laut,” ungkap dia.

baca : Perubahan Iklim, Satu dari Banyak Tantangan Perikanan

 

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Kondisi itu diyakini akan memengaruhi populasi, persebaran, dan perilaku migrasi biota laut. Juga, berdampak pada semua jenis ikan yang dievaluasi, termasuk 47 spesies perikanan penting yang ada saat ini.

Akan tetapi, dari semua jenis ikan, ikan spesies demersal akan terdampak paling besar. Ikan tersebut biasa hidup dan ditemukan di sekitar perairan yang dangkal. Dampak serupa juga akan dialami pada beberapa jenis ikan spesies pelagis.

Mengacu pada skenario emisi rendah, pada 2050 nanti diperkirakan akan terjadi penurunan hasil tangkapan ikan sebesar 20 persen di beberapa daerah, dan 5-15 persen pada kebanyakan daerah. Prediksi tersebut merujuk pada potensi tangkapan maksimum pada 2010.

Selain itu, jika mengacu pada skenario emisi tinggi, maka pada 2050 diprediksi akan terjadi penurunan hasil tangkapan dengan angka antara 20 hingga 30 persen. Penurunan hasil tangkapan ini akan meyebabkan penurunan pendapatan ekonomi sektor perikanan pada 2050 nanti.

Menurut David Kaczan, penurunan pendapatan ekonomi akan berkisar antara 10 hingga 22 persen, dengan penurunan terbesar akan terdampak pada nelayan skala kecil antara 17 hingga 19 persen. Kondisi itu akan terjadi, karena nelayan skala kecil memiliki ketergantungan pada spesies yang lebih rentan terhadap perubahan iklim.

Sementara, nelayan skala besar atau kelompok industri perikanan akan terdampak lebih kecil, yakni antara 13 hingga 14 persen. Semua itu akan dialami para nelayan, karena dampak perubahan iklim yang sangat cepat terjadi.

Selain faktor fenomena alam tersebut, penurunan hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh faktor eksploitasi berlebih yang diakibatkan tata kelola yang buruk. Hal itu akan memicu penurunan hasil tangkapan berlipat ganda yang bisa mengancam kelangsungan hidup stok ikan.

“Proyeksi kerugian ekonomi pada situasi pengelolaan yang buruk dapat mencapai 28 hingga 30 persen pada 2050,” jelasnya.

Penurunan hasil tangkapan sendiri dipengaruhi oleh turunnya populasi jenis ikan yang terdampak langsung oleh perubahan iklim. Di antaranya, adalah sarden (Sardinella gibbosa dan S. lemuru), selar tetengkek (Megalaspis cordyla), makarel (Scomberomorus commerson dan S. guttatus), dan cakalang (Katsuwonus pelamis).

baca juga : Penangkapan Ikan Terukur, Bisa Tekan Laju Perubahan Iklim

 

Nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Dampak di Indonesia

Dampak tersebut akan dirasakan langsung oleh warga pesisir yang tinggi di sekitar Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), dan 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur).

Atau, dengan kata lain warga yang tinggal di wilayah perairan yang secara geografis dan administrasi masuk Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Laut Arafura, Laut Banda, dan Laut Timor akan merasakan dampaknya secara langsung.

“Beberapa wilayah ini diproyeksikan memiliki ketergantungan tinggi pada sumber daya perikanan yang akan terdampak serta memiliki kapasitas adaptasi iklim yang rendah pada infrastruktur dan pelayanan sosial,” ungkap dia.

Baik Fegi maupun David sama-sama menyampaikan bahwa respon berupa adaptasi dan intervensi bisa berdampak baik karena mengurangi resiko pada sektor perikanan. Respon terhadap dampak perubahan iklim itu dilakukan melalui dunia perikanan biru (blue fish world).

Itu adalah bentuk kerugian ekonomi dan kerusakan ekosistem yang terjadi di dunia akibat perubahan iklim, yang bisa dilakukan mitigasi melalui sistem tata kelola perikanan yang tangguh dan adaptif. Juga, melalui perencanaan wilayah dan perlindungan ekosistem pesisir.

Menurut keduanya, strategi tersebut bisa diterapkan pada perlindungan ekosistem pesisir, pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan memperkuat masyarakat pesisir dan ekonomi lokal. Semuanya berujung pada pendanaan program pembangunan yang bisa dilakukan melalui instrumen pendanaan biru (blue finance).

“Namun pendanaan ini membutuhkan serangkaian kebijakan dan desain kerja yang perlu disusun terlebih dahulu,” terang keduanya.

baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

 

Sekelompok nelayan tradisional menarik jaring ikan di tepi pantai di Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Adaptasi dan Mitigasi

Fegi Nurhabni dan David Kaczan mengatakan, temuan ilmiah yang dipaparkan di atas diharapkan bisa menjadi landasan perencanaan berbagai pihak yang berwenang dalam pengelolaan perikanan, utamanya dalam menghadapi perubahan iklim yang sedang berlangsung.

Langkah mitigasi yang tangguh dan adaptif di tingkat nasional, sangat diperlukan untuk merumuskan serangkaian kebijakan yang dapat diturunkan pada skala lokal, sebagai respon situasi skenario rendah maupun tinggi emisi karbon global.

Menurut keduanya, daerah dengan sektor perikanan yang paling terdampak telah menjadi prioritas program KKP, dan memerlukan implementasi yang efektif dalam hal transportasi dan logistik. Juga, bantuan desa nelayan dan program perlindungan sosial.

Belum lama ini, David Kaczan juga secara khusus menyoroti upaya Indonesia untuk menjalankan kebijakan ekonomi biru. Kebijakan tersebut, dinilai bisa mengendalikan dampak perubahan iklim di wilayah pesisir dan laut.

Salah satu usulan itu, adalah meningkatkan pengelolaan aset laut dan pesisir yang meliputi perikanan, mangrove, dan terumbu karang. Dia menyebut kalau Indonesia sudah mengembangkan sistem wilayah pengelolaan perikanan sebagai sebuah struktur untuk pengambilan keputusan.

Konsep tersebut dinilai sudah bagus, namun tetap memerlukan anggaran dalam pelaksanaannya, sumber daya manusia (SDM), dan rencana pengelolaan untuk mencegah berkurangnya stok ikan. Termasuk, memastikan batas panen yang jelas berdasarkan sains dan data yang memadai.

Selain konsep di atas, Indonesia juga sudah menyusun rencana tata ruang laut dengan mengidentifikasi wilayah laut yang sesuai untuk kegiatan ekonomi, dan wilayah laut yang tetap harus dilindungi.

Integrasi antara rencana tata ruang laut ini dengan sistem perizinan usaha, katanya, diperlukan untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan telah mematuhi peraturan zonasi. Sistem scorecard dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan dan merencanakan implementasi pembangunan.

Tentu saja, dengan melakukan penilaian terhadap berbagai indikator yang mengukur status sumber daya pesisir dan laut. Misalnya saja, luas ekosistem pesisir seperti mangrove dan kualitas terumbu karang.

baca juga : Kala Nelayan dan Petani Terdampak Perubahan Iklim

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

David Kaczan melanjutkan, di masa mendatang Indonesia juga bisa mempertimbangkan untuk menyiapkan kadaster bagi kawasan laut dan pesisir, untuk mengatasi persoalan atau konflik tata guna wilayah laut dan pesisir. Kadaster adalah badan pencatat tanah milik yang menentukan letak rumah, luas tanah, serta ukuran batasnya untuk menentukan pajak dan sebagainya.

Kemudian, bisa juga menerapkan pengelolaan perikanan yang berbasis hak, dan menopang praktik-praktik terbaik di sektor perikanan di dunia. Sistem ini memberikan hak panen dari Pemerintah kepada masyarakat yang tinggal di kawasan pantai atau memberikan hak panen kepada perusahaan hingga jumlah tertentu dalam batas panen.

Dia menyebut kalau pengaturan seperti ini menjadikan para nelayan sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan perikanan, mendorong pengelolaan yang baik, dan meningkatkan produktivitas.

 

Program Pemerintah

Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menjelaskan, pembangunan berketahanan iklim kini sudah menjadi prioritas nasional dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPMJN) periode 2020-2024.

Melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, ditetapkan rencana untuk menerapkan pembangunan berketahanan iklim dan dijelaskan dalam poin enam.

Di antaranya, adalah membangun lingkungan hidup, serta meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Kedua rencana kebijakan tersebut dinilai harus ada perencanaan yang matang dan perlu disusun berdasarkan temuan ilmiah dan perlu terus diperbaharui.

baca juga : Air Semakin Dekat, Ikan Semakin Jauh : Perubahan Iklim dan Kerentanan Pangan Masyarakat Pesisir Lombok (1)

 

Dua orang perempuan gembira menunjukkan ikan cakalang segar di Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Foto : shutterstock

 

Upaya seperti itu dilakukan, karena dunia tengah menghadapi era pemanasan global (global boiling), dan karenanya perubahan iklim menjadi isu yang harus diperhatikan semua sektor, termasuk sektor kelautan dan perikanan.

“Potensi karbon biru di Indonesia dari lamun dan mangrove mencapai sekitar 17 persen dari total karbon biru dunia,” jelas dia.

Menurutnya, dalam konteks perubahan iklim, laut dan ekosistem pesisir memiliki fungsi penting dalam pengendalian perubahan iklim. Salah satunya dapat dilihat dari kemampuan ekosistem pesisir, yakni mangrove, padang lamun, dan rawa pasang surut dalam menyerap dan menyimpan karbon.

Dia mengatakan kalau Indonesia sudah menetapkan komitmennya dalam dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC). Pada September 2022 2023, Indonesia menyampaikan Enhanced NDC dengan meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.

Namun demikian, dia mengakui kalau mempersiapkan ekosistem karbon biru dari lamun membutuhkan berbagai hal yang harus diperbaiki dan ditingkatkan. Misalnya, standardisasi metodologi, peningkatan kapasitas dan kompetensi SDM, alih dan transfer teknologi, serta penguatan kerja sama.

Sementara, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf juga menyampaikan bahwa hasil temuan ilmiah ini merupakan implementasi science to policy dalam menghadapi perubahan iklim.

“Penelitian ini juga diharapkan dapat mengurangi dampak perubahan iklim pada sektor perikanan dan sumber daya alam pesisir,” tegasnya. (***)

 

 

Exit mobile version