Mongabay.co.id

Penelitian tentang Kecerdasan Gajah dapat Membantu Mitigasi Konflik Manusia dan Satwa

 

Membuka putaran pintu mungkin bukan perkara sulit, namun jika Anda tidak memiliki tangan namun belalai, segalanya bisa jadi berbeda. Hal itu yang membuat para peneliti berkeinginan menguji bagaimana gajah liar dapat memecahkan masalah itu.

Gajah adalah satwa cerdas, dewasanya memiliki otak seberat 5 kilogram, ukuran ini merupakan otak terbesar satwa darat (atau tiga kali ukuran otak manusia).

Ia hidup di dalam kelompok sosial yang kompleks. Gajah dapat berduka atas kematian kawanannya, hingga menemukan sumber air yang sulit dipahami. Berbagai perilaku ini indikator bahwa mereka cerdas.

“Pada spesies lain yang telah diuji cara berinovasinya, otak yang lebih besar berhubungan dengan lebih banyak inovasi,” jelas Sarah Jacobson dari Comparative Cognition for Conservation Lab di City University of New York. “Kami ingin memahami jika untuk gajah liar.”

Jacobson dan timnya lalu merancang eksperimen yang melibatkan gajah asia (Elephas maximus) di Cagar Alam Salakpra, Thailand, melalui uji teka-teki terbuka.

Mereka menyediakan alat dengan tiga kompartemen kecil yang memiliki pintu yang dapat dibuka dengan tiga cara berbeda: didorong, ditarik, dan digeser. Di dalam setiap sudut terdapat sepotong nangka segar, buah camilan favorit mereka.

 

Para peneliti menyediakan sebuah alat dengan tiga kompartemen kecil yang memiliki pintu yang dapat dibuka dengan tiga cara berbeda: didorong, ditarik, dan digeser. Di dalam setiap sudut terdapat sepotong nangka yang segar. Dok: Jacobson dkk.

 

Lima dari 44 individu gajah yang terlibat dengan eksperimen kotak ini berhasil membuka ketiga pintu. Delapan berhasil membuka dua, dan sebelas lainnya hanya membuka satu. Temuan ini diterbitkan dalam jurnal Animal Behavior.

Jumlah pintu yang mereka buka mencerminkan kemampuan mereka untuk berinovasi dalam percobaan tersebut.

Lima individu yang berhasil membuka semua pintu adalah jantan yang berumur lebih senior. Dari data yang ada, tidak jelas apakah ada peran gender dalam kesuksesan mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa kegigihan membuahkan hasil.

Semakin banyak waktu yang dihabiskan gajah untuk berinteraksi dengan teka-teki tersebut, semakin tinggi peluang keberhasilannya. Mencoba tindakan yang berbeda juga membuahkan hasil.

Sebelumnya, pertama kali Jacobson melakukan percobaan ini di sebuah kebun binatang di AS, di mana lebih dari 60 persen (delapan dari 14) gajah berukuran jumbo mampu membuka ketiga pintu tersebut. Jacobson menghubungkan kinerja itu dengan lingkungan dan pengalaman mereka.

“Semua makanan dan kebutuhan mereka terpenuhi,” katanya. Seraya menambahkan bahwa gajah yang dipelihara di penangkaran “lebih sejahtera” dibandingkan gajah liar.

Gajah yang dipelihara di kebun binatang juga dihadapkan pada lingkungan yang lebih mendukung. Penjaga (keeper) kerap melakukan hal-hal menarik yang berguna dalam menstimulasi kecerdasan mereka.

“Penting untuk mempelajari kognisi gajah. Mereka begitu cerdas dan terancam punah,” kata Lisa P. Barrett, pakar kognisi hewan dari Indiana University Bloomington, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

“Kita dapat belajar bagaimana cara melestarikan gajah asia, dengan memahami bagaimana cara mereka melakukan pendekatan dan memecahkan persoalan baru.”

Dengan meningkatnya tekanan terhadap habitat gajah, mereka menghadapi perubahan lingkungan dan tantangan baru.

 

Salma, anak gajah sumatera di CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Namun, kepintaran itu bisa jadi menyulitkan manusia yang berbagi ruang dengannya. Salah satu alasannya karena gajah akan terus menemukan cara mengatasi hambatan yang dibuat warga lokal untuk melindungi aset, ternak, dan harta benda mereka.

Di Lewa Wildlife Conservancy, Kenya, misalnya, pagar listrik belum mampu menghalangi gajah. Gajah afrika di sana segera mengetahui bahwa gadingnya bukan penghantar listrik. Mereka mulai menggunakan pengetahuan itu untuk menerobos penghalang.

Dalam salah satu video yang diunggah para peneliti di Lewa, seekor gajah terlihat memegang kawat dengan gadingnya, sehingga gajah lain bisa lewat di bawahnya.

Pertunjukan cerdik seperti itu mungkin menarik untuk ditonton di media sosial, namun di lapangan, hal ini bisa menjadi pertanda akan adanya masalah.

Di Cagar Alam Salakpra misalnya, intensitas konflik manusia gajah cukup tinggi. Masyarakat yang tinggal di sekitar cagar alam telah mencoba segala cara mulai dari petasan, pembatas listrik, hingga sarang lebah pengusir gajah.

“Kami berencana menguji [respon] gajah yang hidup di pinggir cagar alam,” kata Jacobson. Diharapkan ini dapat memberi informasi lebih banyak kepada peneliti tentang profil kawanan dan individu yang mungkin berkontak dengan komunitas manusia.

Saat mencoba meredakan konflik antara dua spesies – manusia dan gajah – maka fokus pada gajah menjadi perhatian. Ini berarti mempelajari semua aspek kecerdasan gajah: termasuk bagaimana cara mereka memandang dan menavigasi dunia.

Pada akhirnya, ada kemungkinan untuk membuat profil masing-masing gajah. Ini mungkin berguna dalam kasus di mana beberapa individu yang sangat bersemangat dan cerdik menyebabkan banyak masalah.

Sebaliknya, ini dapat menjadi cara yang lebih baik untuk mitigasi konflik yang terjadi. Misalnya, jika gajah yang bersangkutan penakut, suara keras mungkin cukup untuk mengusirnya, alih-alih pagar yang mahal.

Meskipun ini tampaknya seperti memberi hukuman pada gajah. Namun mengurangi interaksi berbahaya dapat menyelamatkan hidup mereka.

“Jacobson dan timnya menunjukkan bahwa pada spesies gajah terdapat faktor variasi individual dalam kemampuan pemecahan masalahnya,” kata Barrett.

Tulisan asli: How wild elephants solve puzzles may help humans resolve wildlife conflicts. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

Referensi:

Jacobson, S. L., Dechanupong, J., Horpiencharoen, W., Yindee, M., & Plotnik, J. M. (2023). Innovating to solve a novel puzzle: Wild Asian elephants vary in their ability to problem solve. Animal Behaviour, 205, 227-239. doi:10.1016/j.anbehav.2023.08.019

Plotnik, J. M., & Jacobson, S. L. (2022). A “thinking animal” in conflict: Studying wild elephant cognition in the shadow of anthropogenic change. Current Opinion in Behavioral Sciences46, 101148. doi: 10.1016/j.cobeha.2022.101148

Jacobson, S. L., Puitiza, A., Snyder, R. J., Sheppard, A., & Plotnik, J. M. (2021). Persistence is key: Investigating innovative problem solving by Asian elephants using a novel multi-access box. Animal Cognition, 25(3), 657-669. doi:10.1007/s10071-021-01576-3

Mutinda, M., Chenge, G., Gakuya, F., Otiende, M., Omondi, P., Kasiki, S., … Alasaad, S. (2014). Detusking fence-breaker elephants as an approach in human-elephant conflict mitigation. PLOS ONE, 9(3), e91749. doi:10.1371/journal.pone.0091749

 

Exit mobile version