Mongabay.co.id

Kejar Tayang Target Kawasan Konservasi “30×30”: Harap dan Ragu Konsep “Kawasan Konservasi Lain”

 

Di tahun 2022, negara-negara di dunia berkomitmen melindungi 30 persen daratan dan lautan mereka pada tahun 2030 (yang disebut inisiatif “30×30”). Di area laut, hal ini memerlukan pembangunan kawasan konservasi laut (KKL/Marine Protected Arieas/MPA) secara besar-besaran, dan negara-negara telah mengumumkan kawasan baru secara berkala.

Namun ada juga pilihan lain yang selama ini kurang dikenal untuk memenuhi target 30 persen, yaitu: “langkah-langkah konservasi berbasis kawasan efektif lainnya” (other effective area-based conservation measures/OECM). Seperti apa itu?

Berbeda dengan KKL, OECM tidak dirancang untuk melindungi keragaman hayati, namun dengan cara membatasi aktivitas penangkapan ikan dan manfaat keragaman hayati sebagai upaya memenuhi syarat keberlanjutannya.

Bagi kalangan aktivitis, OECM dapat membawa dampak positif, termasuk pengakuan dan pengembangan kawasan yang dikelola oleh komunitas lokal atau masyarakat adat, dan melindungi kawasan larangan. OECM juga dipandang dapat memberi sistem yang melindungi nelayan skala kecil dari persaingan dengan industri perikanan besar.

“KKL sering dianggap angan-angan yang bersifat top-down,” jelas Arthur Tuda, Sekretaris Eksekutif Western Indian Ocean Marine Science Association (WIOMSA), sebuah badan ilmiah yang berbasis di Tanzania kepada Mongabay melalui email.

“OECM akan memberikan berbagai pilihan untuk menyeimbangkan pemanfaatan laut sekaligus memberikan hasil konservasi.”

Namun, Tuda juga punya kekhawatiran jika sistem OECM pada akhirnya akan disalahgunakan bagi keuntungan negara atau pengelola kawasan untuk memenuhi target 30×30.

“Sekedar tumpukan kertas, yang diciptakan untuk [mengejar] target 30×30,” kata Tuda.

Wanti-wanti serupa juga disampaikan Daniel Pauly, ilmuwan perikanan di Institut Kelautan dan Perikanan di University of British Columbia di Vancouver.

“Semua wilayah di mana perikanan dikelola akan diklaim sebagai OECM, itu jelas,” kata Pauly kepada Mongabay. “Terutama dalam enam tahun ke depan.”

 

Kawasan konservasi di dorong 30 persen dari kawasan laut global. Konsep OECM digadang-gadang menjadi salah satu instrumennya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Baca juga: Peta Jalan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: 2045 Harus 30 Persen

 

Peluang baru

Di luar kontroversi dan pertanyaan yang muncul, OECM diharapkan dapat menjadi bagian penting upaya 30×30

Saat ini, hanya ada 195 OECM kelautan yang dilaporkan, yang mencakup 0,11 persen lautan di dunia, menurut Pusat Pemantauan Konservasi Dunia Program Lingkungan PBB (UNEP-WCMC), yang mengelola peta OECM. Itu pun baru mencakup 6 negara di dunia yang menerapkannya.

Pembahasan tentang “langkah-langkah konservasi berbasis kawasan yang efektif lainnya” pertama kali dibuat dalam perjanjian Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) tahun 2010, dan OECM sendiri baru ditetapkan secara formal dalam keputusan CBD tahun 2018.

Untuk memenuhi syarat sebagai OECM, suatu wilayah harus dikelola dan harus memberikan manfaat percakapan di lapangan yang “berkelanjutan” dan “efektif”.

Dalam studi tahun 2023, para ahli menganggap OECM akan membuka keseimbangan antara peluang konservasi dan pembangunan. OECM kelautan sendiri akan mendorong “pengakuan dan dukungan terhadap hak penguasaan adat,” “pengakuan dan penyertaan keberagaman bentuk konservasi” dan “keseimbangan yang lebih besar antara pencapaian manfaat keanekaragaman hayati dan kesejahteraan manusia.”

 

Kekhawatiran akan ‘bluewashing’

Target 30×30 dalam kerangka perjanjian CBD dalam bidang kelautan dianggap sangat ambisius, mengingat cakupan perlindungan lautan dunia yang saat ini hanya sekitar 8 persen.

Namun ketergesa-gesaan memenuhi tenggat waktu 2030 juga dapat menimbulkan bahaya; termasuk penyalahgunaan akuntabilitas 30×30 dan risiko penerapan praktik secara top-down yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau komunitas lokal.

“Tantangan utama yang terkait dengan OECM adalah bagaimana menghindarkan bluewashing,” kata Estradivari, peneliti kelautan di Pusat Penelitian Kelautan Tropis Leibniz Jerman.

“OECM bisa menjadi hanya sebuah praktik pelabelan, tanpa adanya keuntungan yang nyata atau bahkan kerugian bagi keanekaragaman hayati.”

Dalam sebuah kasus, Andrew Clayton, seorang analis perikanan di Pew, Washington, D.C., mengutip praktik OECM yang kontroversial di Newfoundland, Kanada yang dibuka untuk eksplorasi pengeboran minyak lepas pantai.

Para pengambil kebijakan setempat mengatakan jika minyak ditemukan, maka peruntukkan wilayah itu akan diubah. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang seberapa berarti dan kuatnya perlindungan OECM.

Kanada adalah salah satu negara yang mengakui OECM pada akhir tahun 2010-an sebagai target CBD di tahun 2020.

“Hanya ada sedikit bukti bahwa pedoman OECM internasional digunakan [dengan benar] dalam penerapannya,” jelas ahli geografi lingkungan di Wilfrid Laurier University di Ontario, Kanada, Christopher Lemieux kepada Mongabay.

Dia mengkritik praktik pelabelan kosong itu dalam judul makalah yang dia tulis pada tahun 2022 yang berjudul: “Running to stand still.

 

Pelepasliaran tukis. Foto: Sabahat Penyu. Kawasan konservasi didorong untuk menyeimbangkan aspek perlindungan dan pembangunan. Foto: Sabahat Penyu

 

Lalu bagaimana mengukur akuntabilitas OECM?

Heather Bingham, Kepala Inisiatif Protected Planet di UNEP-WCMC menyebut jika suatu negara menunjuk OECM maka otoritas nasional negara tersebut yang bertanggung jawab untuk memverifikasi bahwa OECM itu memenuhi kriteria.

“Pemerintah bertanggung jawab memverifikasi data yang mereka laporkan ke database [internasional], dan tidak ada verifikasi independen atas data ini,” katanya kepada Mongabay melalui pernyataan email.

Namun, dia menyebut UNEP-WCMC membuka transparansi dan akurasi dan sedang mengembangkan verifikasi sukarela tambahan dari komponen non-negara seperti kelompok masyarakat adat maupun kelompok masyarakat sipil.

Ketelitian dalam proses penunjukan OECM di bidang kelautan memang masih perlu di lihat, namun upaya ini juga penting untuk terus dilakukan.

“Yang terpenting, penetapan apa pun harus melalui proses multi-pihak dan bukan perbaikan instan untuk mengejar 30×30,” kata Tuda.

 Tulisan asli: Not MPAs but OECMs: Can a new designation help conserve the ocean? Diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

Referensi:

Maini, B., Blythe, J. L., Darling, E. S., & Gurney, G. G. (2023). Charting the value and limits of other effective conservation measures (OECMs) for marine conservation: A Delphi study. Marine Policy, 147, 105350. doi:10.1016/j.marpol.2022.105350

Lemieux, C. J., Gray, P. A., Devillers, R., Wright, P. A., Dearden, P., Halpenny, E. A., … Beazley, K. (2019). How the race to achieve Aichi target 11 could jeopardize the effective conservation of biodiversity in Canada and beyond. Marine Policy, 99, 312-323. doi:10.1016/j.marpol.2018.10.029

Lemieux, C. J., Kraus, D. T., & Beazley, K. F. (2022). Running to stand still: The application of substandard OECMs in national and provincial policy in Canada. Biological Conservation, 275, 109780. doi:10.1016/j.biocon.2022.109780

 

Exit mobile version