Mongabay.co.id

Potret Pemukiman Terapung Suku Bajo Torosiaje, Adaptif Perubahan Iklim?

 

 

 

 

 

Ratusan rumah berjejer rapi di perairan Teluk Tomini,  sekitar 600-an meter dari daratan. Rumah-rumah itu adalah pemukiman Suku Bajo. Suku ini jadikan laut sebagai ruang hidup. Ia tepatnya berada di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo.

“Pemukiman itu sudah ada sejak 1901 dihuni Masyarakat Bajo. Wilayah itu dipilih karena sangat strategis untuk jadi pemukiman untuk masyarakat yang terbiasa hidup di laut,” kata Umar Pasandre, Tokoh Suku Bajo kepada Mongabay, Oktober lalu.

Suku Bajo, adalah kelompok pelaut pengembara yang tersebar di beberapa negara berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Keberadaan mereka pertama kali dicatat penjelajah Venesia, Antonio Pigafetta, awal abad ke-16. Di nusantara, Indonesia, mereka menyebar ke Sumatera, Riau, Maluku, Flores, dan Sulawesi, termasuk Gorontalo.

Suku ni memiliki kearifan yang menginspirasi James Cameron untuk membuat film Blockbuster pada 2022, “Avatar: The Way of Water.”  Mereka jadikan laut sebagai tempat penghidupan, sekaligus tempat tinggal, seperti di Desa Torosiaje.

Dalam penelitian dari di Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo menyebutkan, Suku Bajo sudah menempati teluk di wilayah barat Gorontalo itu sejak 1901. Saat itu, kolonial Belanda di Sulawesi mengorganisir pemukiman para pelaut Bajo ke dalam sebuah desa yang disebut Toro Siajeku, yang belakangan disebut Desa Torosiaje.

Nama Desa Torosiaje,  berasal dari Bahasa Bajo, yaitu Toro berarti Tanjung dan Siaje bermakna Persinggahan. Awalnya, Suku Bako di sana sekitar 11 keluarga atau 35 jiwa. Seiring berjalannya waktu, dari Sulawesi Tengah datang dan ikut menempati teluk itu.

“Suku Bajo yang menetap di Torosiaje saat ini, dahulu hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan perahu tradisional. Pada 1901 itu pun Suku Bajo masih tinggal di perahu sampai 1930-an,” kata Umar.

 

Perempuan Bajo di Desa Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo.. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Awal 1935, katanya, Suku Bajo mulai membangun babaroh merupakan tempat tinggal sementara untuk istirahat dan mengolah hasil laut. Konstruksi tempat tinggal mereka dari lingkungan sekitar seperti kayu dari pohon mangrove sebagai tiang penyangga, rumbia untuk penutup atap dan bambu sebagai lantai atau dinding.

Saat merasa puas dengan hasil laut di Torosiaje, kelompok pengembara pelaut yang telah mengarungi perairan di lepas pantai Pulau Sulawesi, dan lebih jauh lagi selama berabad-abad, akhirnya memilih menetap di wilayah itu.

Umar bilang, Suku Bajo memiliki kearifan lokal tersendiri dalam memilih suatu tempat untuk jadi pemukiman. Dari kearifan lokal itu, mereka mengembangkan hunian dari babaroh jadi papondok, dengan bentuk lebih besar dari sebelumnya, namun material konstruksi masih sama.

Dengan berjalannya waktu, kata Umar, pemukiman terapung Suku Bajo di Desa Torosiaje mulai berkembang menjadi rumah panggung dengan tinggi sekitar 3-4 meter yang tetap dibangun di laut. Meskipun begitu, katanya, mereka tetap mempertahankan pola kehidupan tradisional yang merupakan suatu tradisi turun temurun.

“Suku Bajo membangun rumah-rumah panggung yang sekarang ini tetap berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya, menentukan zona pemukiman yang bisa terhindar dari berbagai bencana pesisir.”

Dengan meningkatnya penduduk, pemukiman Torosiaje pun ikut berkembang. Kalau dilihat dari udara, pemukiman ini berbentuk linear dengan susunan rumah berderet seperti menyerupai huruf “U” yang langsung menghadap ke laut lepas Teluk Tomini.

Sisi kanan dan kiri diapit dua sungai yaitu Popayato dan Dudewulo. Di bagian depan ada dua pulau yaitu Iloluta dan Ilosangi. Masyarakat Desa Torosiaje hanya menamakan dua pulau itu dengan sebutan Pulau Besar dan Kecil.

Dalam pola pemanfaatan ruang terbuka di desa ini terdiri dari dua jalur sirkulasi, yaitu; sirkulasi darat dan dan jalur sirkulasi laut. Sirkulasi darat jadi untuk penghubung ke setiap rumah berupa prasarana jembatan, sedangkan jalur sirkulasi laut berfungsi menghubungkan pemukiman Torosiaje dengan daratan dengan perahu sebagai transportasi utama.

 

Pemukiman Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Rumah-rumah di pemukiman terapung ini tersebar secara padat dengan jarak rumah antar 2-3 meter dengan susunan berbentuk lajur atau linear mengikuti jalur sirkulasi darat atau berupa jembatan yang jadi penghubung antar rumah.

Semua rumah berbentuk panggung berbahan kayu dengan model atap berbentuk pelana dan sebagian berbentuk perisai berbahan seng dan rumbia. Rata-rata ketinggian tiang rumah Bajo ini sekitar 3-4 meter yang ditancapkan ke dasar laut sedalam 1-3 meter.

Di dalam pemukiman Torosiaje ada juga ruang terbuka berupa lapangan untuk fasilitas olahraga, sosial, dan bermain. Umar bilang, pemanfaatan ruang permukiman dan bangunan hanya bisa dibangun di sepanjang tanjung yang berbentuk menyerupai huruf “U” itu.

“Untuk pengembangan hanya bisa pada ruang yang berada di sebelah kiri, kanan dan belakang dari pemukiman Desa Torosiaje. Untuk bagian depan tidak boleh karena 500 meter ke depan dari ujung pemukiman sudah berupa terumbu karang yang tidak boleh untuk mendirikan bangunan,” kata Umar.

Dari atas udara terlihat antar Desa Torosiaje dengan daratan, terdapat hutan bakau sebagai benteng penyanggah dari erosi pantai atau laut. Desa ini memiliki panjang kurang lebih dua kilometer dengan sekitar 245 rumah.

Pemerintah sempat mencoba merelokasi Suku Bajo ke daratan. Namun, kebijakan ini menuai kontroversi antara sesama mereka. Suku Bajo pro terkesan menerima kebijakan pemerintah karena merasa tak berdaya.

Suku Bajo kontra kebijakan tetap menolak dengan alasan mereka akan kehilangan jati diri dan basis budaya karena entitas budaya mereka tidak bisa dilepaskan dari laut.

Berkat perjuangan yang sangat panjang, negosiasi dengan pemerintah daerah dan pusat akhirnya kebijakan hanya bersifat pilihan. Yang ingin pindah disediakan lahan di daratan, yang tidak mau dibiarkan tinggal di laut.

Dari situ, Suku Bajo di Kecamatan Popayato akhirnya mendiami dua desa yakni Torosiaje di laut  dan Torosiaje Jaya di daratan.

 

Prang Bajo di pemukiman mereka di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Pemukiman ini disebut adaptip perubahan iklim. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Adaptif perubahan iklim

Menariknya, Pemukiman Terapung Suku Bajo di Desa Torosiaje ini dinilai adaptif dengan perubahan iklim. Ini terlihat dari penelitian Umar Mt,  dosen Prodi Arsitektur Universitas Ichsan Gorontalo (Unisan) berjudul “Pola Pemanfaatan nan Penataan Ruang Kawasan Pemukiman Terapung yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim.”  Penelitian ini mengambil studi kasus di Desa Torosiaje,  Pohuwato.

Penelitian itu menyebutkan, tata letak pemukiman Torosiaje agak menjorok keluar dari bibir pantai atau tak berhubungan langsung dengan daratan itu sangat adaptif dengan perubahan iklim. Pemukiman itu tidak akan terpengaruhi bencana pasang surut air laut.

Dua pulau di depan permukiman Suku Bajo itu juga ternyata memiliki fungsi melindungi Desa Torosiaje dari angin barat dan angin timur. Selain itu, terumbu karang di depan desa ternyata berfungsi menahan dan memecah ombak sebelum masuk ke pemukiman terapung itu.

Di belakang pemukiman ini ada dua gunung kembar yang digunakan Suku Bajo sebagai penunjuk arah pulang dan pergi melaut. Gunung ini disebut gunung ganakan di Desa Dombalo.

“Dua gunung kembar yang digunakan Suku Bajo sebagai penunjuk arah pulang-pergi melaut karena mereka tidak gunakan kompas,” tulis Umar dalam penelitiannya.

Pola bentuk bangunan dan sirkulasi di pemukiman terapung Torosiaje juga sangat adaptif dalam menanggapi perubahan iklim. Artinya, pemukiman terapung Bajo tidak mudah terkikis dengan dampak perubahan yang terjadi di pesisir.

Sebagai negeri kepulauan, Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim terutama di wilayah pesisir. Data BPS (2022) menyebut, sekitar 42 juta orang tinggal pada daerah kurang dari 10 meter diatas permukaan laut.

Kajian USAID (2016) menyebutkan, kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada 2050, berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya.

Penelitian Muh. Rizal Mahanggi, Dosen Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Negeri Gorontalo juga menemukan bagaimana Suku Bajo di Torosiaje punya strategi tersendiri dalam menata permukiman yang menyesuaikan dengan kondisi iklim laut.

Dinding papan tipis ternyata berfungsi sebagai pelindung untuk menangkap angin sepoi-sepoi dan sebagai fasilitas pelepasan panas.

 

Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Hidup Orang Bajo bergantung laut. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Adapun bentuk rumah tinggal yang menyediakan fasilitas aliran udara dari bawah (kolong) ternyata berfungsi sebagai akuarium. Desain atap tinggi dengan sudut 45 derajat berfungsi melindungi rumah dari hujan deras dan menjauhkan bangunan dari panas.

Zulfikar Niode, dari Architecture Peduli Lingkungan Gorontalo (Archipelago) sependapat dengan penelitian itu. Dia bilang, hunian Suku Bajo dengan rumah panggung sangat adaptif perubahan iklim.

Penempatan pemukiman itu, katanya, merupakan kearifan lokal atau keahlian Suku Bajo. Arsitektur hunian Bajo di Torosiaje juga menjawab berbagai permasalahan permukiman di pesisir.

Misal, masalah luas lahan pemukiman seiring jumlah penduduk. Juga reklamasi pantai yang kerap jadi solusi keliru karena banyak mengakibatkan kerugian, seperti kerusakan ekosistem laut.

Dia bilang, perubahan iklim sangat mempengaruhi perencanaan tata ruang yang pada dasarnya bentuk interaksi manusia atau makhluk hidup dengan lingkungan.

Salah satunya, kata Zulfikar, hunian Suku Bajo di Torosiaje yang berbentuk huruf “U” dalam ilmu arsitektur dapat jadi satu solusi meminimalisir hawa panas dari angin laut. Pemukiman terapung berbentuk “U,” katanya, berfungsi sebagai ruang penghawaan alami.

“Bentuk “U” berfungsi jadi ventilasi silang dalam pemukiman Suku Bajo di Torosiaje. Dengan itu, di dalam rumah mereka tidak akan terasa panas,” kata Zulfikar kepada Mongabay, 4 November lalu.

Selain itu, katanya, rumah panggung Suku Bajo di Torosiaje termasuk kokoh kalau dibandingkan hunian yang gunakan beton.

Rumah panggung, katanya,  bisa elastis kalau ada bencana gempa bumi, apalagi material kayu sebagai tiang rumah itu ditanam di tanah berpasir sangat dalam. Sruktur bangunan rumah Bajo, katanya,  tak mudah roboh.

Bukan hanya itu, katanya, suku penyelam ulung ini juga memiliki aturan khusus orang yang bisa membangun rumah di desa terapung. Apapun dalilnya, hanya orang berdarah Suku Bajo asli yang boleh membangun rumah di situ.

“Kecuali, dalam satu keluarga atau pasangan, istri atau suami berdarah Suku Bajo, baru bisa membangun rumah di Torosiaje. Ini termasuk orang yang ingin membangun wisata.”

Umar Pasandre membenarkan itu.

Meski begitu, kata Zulfikar, masyarakat Bajo di sana perlu memikirkan sanitasi yang belum sepenuhnya jadi perhatian serius di sana. Selama ini,  masih dibuang ke laut. Hal itu, katanya, akan berdampak ke lingkungan.

“Model sanitasi begitu belum masuk dalam rumah kategori sehat sederhana.”

 

Pemukiman Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Tommy Pramono/ Mongabay Indonesia

******

 

Exit mobile version