Mongabay.co.id

Sonic/Panic, Album Para Musisi Suarakan Krisis Iklim

 

 

 

 

 

 

“Apalah artinya keindahan senja kalau bumi mati,” kata Guritan Kabudul, duo musisi dari Palu, di Festival Iklim, 4 November lalu di Ubud, Bali.

Keduanya tak sendiri. Sejumlah karya anyar dalam kompilasi album krisis iklim Sonic/Panic ini terasa menyiratkan kemurungan dan kegusaran. Bumi makin rentan, perubahan merusak makin cepat.

Ada juga lagunya bertajuk Tua Renta. “Dari mana datang cahaya jika kita menutup mata. Menolak mati, seirama menolak mati. Sudikah kau menyanyi bagi bumi yang mati. Lagu sedih pun tak kan berarti.”

Guritan Kabudul juga yang membuka track pertama di album kompilasi bertajuk Sonic/Panic, yang baru rilis di festival ini. Sebanyak 13 musisi bikin lagu untuk menyuarakan perubahan iklim. Sebelumnya,  mereka menggelar workshop untuk memahami masalah-masalah lingkungan saat ini, terutama yang dipicu industri musik.

Konser peluncuran album kompilasi ini mencoba mempraktikkan perubahan yang dituju. Misal, mengurangi emisi dengan melarang pedagang makanan gunakan bungkus atau kemasan sekali pakai. Diganti alat makan pakai ulang yang disediakan Dietplastik Indonesia.

Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia dalam rilis pers mengatakan, alat guna ulang ini emisi paling rendah dari semua sistem pengolahan yang ada.

“Bayangkan saja kita menggunakan wadah makanan yang kita cuci 100 kali itu emisi 80% lebih rendah daripada plastik sekali pakai yang kita daur ulang lagi,” katanya.

 

Titik pengembalian wadah pakai ulang di venur konser. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Terlihat ada piring dan gelas plastik ulang pakai yang dipinjamkan ke semua pedagang. Ada juga yang menyediakan seperti pakai anyaman ingka sebagai piring dengan alas daun. Di tiap meja pedagang ada petunjuk anjuran pakai ulang.

Para pedagang, katanya, menanyakan ke konsumen apakah membawa wadah atau pakai wadah tenant. Lalu, mengingatkan pengembalian ke tempat pengumpulan barang dan makanan maupun minuman hanya dihidangkan di tempat, kecuali bawa pulang wadah sendiri.

Bagusnya, titik pengembalian wadah makanan dan minuman ini ada beberapa di sejumlah sudut hingga memudahkan pengunjung. Apalagi, saat nonton konser bawa wadah piring atau gelas.

Di titik pengembalian ada tong sampah tempat membuang limbah. Hanya terlihat wadah minuman kaleng di tong sampah ini.

Penonton juga disediakan air isi ulang. Meja air isi ulang juga lebih dari satu. Untuk venue konser di areal parkir Monkey Forest, Ubud, yang bisa dijelajahi dengan mudah, sarana ini lebih dari cukup.

Ada dua panggung, satu panggung untuk set band dengan alat musik lengkap, lainnya panggung akustik. Jarak hanya beberapa langkah. Semua musisi yang terlibat dalam Sonic/Panic tampil bergantian di dua panggung ini. Ada juga workshop dan pemutaran film tentang lingkungan oleh komunitas.

Monkey Forest yang dikelola Desa Adat Padang Tegal adalah obyek wisata populer di Ubud, dihuni ribuan monyet ekor panjang di satu-satunya hutan pusat Ubud. Desa ini hasilkan puluhan miliar per tahun dari pelestarian hutan yang dihuni monyet ini. Desa ini juga membuat rumah kompos yang berhasil mengolah limbah organik warga.

Pupuk kompos mereka distribusikan di hutan Monkey Forest yang disucikan karena bagian dari kawasan pura.

 

Made Mawut, menyanyikan lagu Climate Blues dalam Festival Iklim di Ubud. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Gede Roby, vokalis band Navicula dan salah satu inisiator album ini sebelumnya mengadakan workshop pengayaan untuk musisi. Menurut dia,  Sonic berarti suara, Panic merujuk panik. Jadi, Sonic/Panic ini semacam suara-suara kepanikan karena berbagai masalah lingkungan yang mempercepat perubahan iklim global.

Acara ini juga jadi ruang kampanye. Ada penonton membawa kain berisi seruan menyelamatkan Karimun Jawa dari tambak udang. Salah satu masalah yang pernah digali dari film dokumenter, tambak udang ini ada yang produksi limbah dan dibuang ke laut. Ada juga penonton yang gunakan baju Wadas Melawan.

Sedangkan lagu Plastic Tree dari Endah N Rhesa mendendangkan perubahan bumi yang kian nyata. Tak ada burung dan pohon lagi, karena hutan hilang, berganti pohon plastik. “The story of humanity, just memories.”

Penggunaan wadah makanan dan minuman pengganti sekali pakai bukan hal baru. Namun sejauh ini lebih sering dilakukan di acara skala komunitas. Belum dalam konser dengan ribuan penonton. Salah satu event itu adalah Festival Plastic Detox.

Dari catatan Plastic Detox, dalam setahun, anggota Plastik Detox yang berpartisipasi dalam survei ini berhasil mencegah 46.641 setara satu ton sampah plastik sekali pakai (PSP). Kontribusi ini terdiri dari pencegahan 15.176 sampah kantong plastik, 13.812 sedotan plastik, dan 10.839 styrofoam. Juga, berhasil mencegah 6.634 botol air minum dalam kemasan menjadi sampah.

Bali sudah memiliki Peraturan Gubernur (Pergub) No. 97/2018 tentang pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai,  namun belum terimplementasi sesuai aturan tertulis. Jumlah pedagang besar dan pengguna PSP sangat mudah ditemukan.

Lima tahun setelah disahkan, situasi masih sama. Tiga jenis PSP dilarang, yakni kantong plastik bergagang, styrofoam wadah makanan dan dekorasi, serta pipet plastik.

Hal ini berdampak saat TPA terbesar, TPA Suwung terbakar beberapa minggu. Truk-truk sampah antre, TPS sering kelebihan muatan.

Dari catatan pemerintah, sedikitnya ada 4.300 ton sampah per hari. Kalau satu truk berisi dua ton sampah, produksi sampah warga Bali termasuk turis lebih 2.000 truk per hari. Masalahnya,  pengurangan baru 15% dan 50% masih ke TPA Suwung.

 

 

*******

 

Exit mobile version