Mongabay.co.id

Tata Liman, Ketika Gajah Sumatera Dipindahkan ke Way Kambas

 

 

Baca sebelumnya: Masa Depan Gajah Sumatera di Lampung: Permanenkan Tanggul Batas TNWK

**

 

Suasana siang di Desa Braja Asri, Way Jepara, Lampung, tahun 1984, mendadak riuh. Suara kentongan dari bambu bertalu.

Ahmad Suyuti [58], ketika itu masih 18 tahun, bersama puluhan warga bergegas mencari  sumber suara itu. Keriuhan berasal dari ratusan orang yang sedang menggiring sekelompok gajah liar. Dugaan Suyuti, jumlah gajah sekitar 70-an.

Rombongan pengiring berasal dari pasukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Departemen Kehutanan [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK], dan tim lain. Mereka menabuh kentongan supaya gajah terus bergerak ke Way Kambas.

“Gajah-gajah itu berasal dari Gunung Madu, Lampung Tengah,” kata Suyuti kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Maret 2023.

Suyuti dan warga hanya bisa melihat dari jarak sekitar 100 meter.

“Pengamanan memang ketat. Tim operasi memperingatkan agar masyarakat tidak mendekat.”

Suyuti yang kini menjabat Ketua Harian Forum Rembuk Desa Penyangga [FRDP] Way Kambas menjelaskan, rombongan pengiring gajah merupakan pelaksana Program Tata Liman, yaitu bagian dari Operasi Ganesha.

 

Seekor gajah sumatera bersama sang mahout di Taman Nasional Way Kambas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kisah Operasi Ganesha pertama dan paling terkenal, yaitu ketika November hingga Desember 1982. Saat itu sekelompok gajah masuk permukiman penduduk transmigran di Air Sugihan, Sumatera Selatan. Lahan yang dijadikan permukiman adalah habitat gajah. Air Sugihan merupakan jalur perjalanan kelompok gajah menuju pantai timur Sumatera yang menjadi sumber air garam bagi mereka.

Guna menanggulangi permasalahan tersebut, Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Prof Emil Salim melapor permasalahan itu ke Presiden Soeharto. Lalu Presiden mengontak Pangdam II/Sriwijaya, Brigjen Try Sutrisno untuk mengembalikan ratusan gajah itu ke habitatnya.

Kemudian diadakanlah Operasi Ganesha, sebuah operasi penggiringan 242 gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam, Ogan Komering Ilir, yang berjarak sekitar 70 kilometer. Sebanyak 400 prajurit, 150 diantaranya personel Batalyon Zeni Tempur Kodam Sriwijaya dan 2.000 kepala keluarga transmigran ikut dikerahkan dalam operasi. Mereka berada dalam komando IGK Manila.

Operasi Ganesha bertujuan meniadakan konflik gajah dan manusia bagi masyarakat transmigran, dalam pokok persoalan alih fungsi lahan. Keberhasilan operasi ini menginspirasi pemindahan gajah yang ada di Gunung Madu, Lampung Tengah, pada 1984.

Operasi ini untuk membebaskan kebun tebu milik PT. Gunung Madu Plantations dari interaksi negatif dengan gajah liar. Program ini bertujuan menata kembali populasi gajah yang terpecah sebagai akibat pembangunan, dengan cara mentranslokasikannya ke areal kawasan yang disediakan untuk gajah.

 

Terlihat seekor anak gajah sumatera bersama sang induk di TNWK. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Jalan panjang mengiring gajah

Nazarudin [58], anggota Tim Operasi Ganesha, khususnya program Tata Liman di Lampung mengakui sepanjang jalan menggiring gajah dari berbagai wilayah seperti Gunung Madu, Gunung Betung, Padang Cermin, Mesuji, Gedung Aji, hingga Tulang Bawang menuju Way Kambas, selalu menjadi perhatian warga.

Dia ingat betul, Pada hari-hari bersama hewan besar tersebut, ia merasakan kedekatan emosional dan belajar nilai-nilai kehidupan dari gajah.

“Gajah seakan merasakan siapa yang tak suka dan siapa yang cinta dengannya. Ketika diperlakukan dengan cinta, ia tidak mengancam apalagi melukai,” katanya.

Gajah juga hewan yang kompak, setia kawan dan penuh kasih sayang. Ini terlihat ketika rombongan gajah harus melintasi Sungai Way Seputih, para induk berbaris paling depan, diikuti gajah-gajah jantan. Sementara bayi gajah berdiri di atas panggung para induk. Mereka berjuang dan berjalan bersama tanpa meninggalkan satu sama lain.

“Gajah-gajah itu selamat menyeberangi sungai dengan saling menolong setiap anggota kelompok.”

Setelah jalan panjang, akhir Agustus 1984, gajah-gajah itu tiba sampai di Way Kambas.

 

Kotoran gajah di tanggul pembatas TNWK dan perkebunan warga di sekitar Way Kambas. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Kuswandono, pada Februari 2023 lalu, ketika masih menjabat Kepala Balai TNWK menceritakan Operasi Ganesha dengan program Tata Liman tak hanya satu kali di Lampung. Setelah sukses tahun 1984, lalu dilanjutkan 1986 di Gunung Betung, Pesawaran, lanjut tahun 1991 di Padang Cermin, Pesawaran.

Setahun kemudian, tepatnya 1992, program ini dilakukan di daerah transmigrasi, wilayah Mesuji. Lanjut 1993 di Gedung Aji [tambak udang Dipasena], Lampung Tengah. Di tahun yang sama, translokasi gajah juga dilakukan dari pabrik gula Bunga Mayang, Kota Bumi, Lampung Utara.

“Tahun 1994 pemindahan gajah dari PT. Indo Lampung di Tulang Bawang. Tahun 1997 pemindahan gajah dari Lampung Barat, sekarang di Way Kanan,” terangnya.

Namun jauh sebelum ada program Tata Liman, interaksi negatif manusia dan gajah di Lampung sudah terjadi di beberapa wilayah. Penyebabnya adalah kegiatan pertanian dan permukiman [program transmigrasi] di sekitar Way Kambas.

Permukiman transmigrasi dimulai tahun 1953 di Kecamatan Purbolinggo dan Way Bungur. Di dua kecamatan ini, dilakukan penambahan permukiman pada 1954 dan 1959.

Tahun 1957-1958, transmigrasi dilakukan di Kecamatan Way Jepara, lalu 1959-1960 di Kecamatan Braja Selebah. Tahun 1963-1965 ada pemekaran di Kecamatan Labuhan Meringgai, tahun 1985-1998 pemekaran di Kecamatan Labuhan Ratu, serta 1961-1996 pemekaran di Kecamatan Sukadana.

Tahun 1964-1979 terjadi pemekaran di Kecamatan Rumbia. Pada 1975 transmigrasi dilakukan di Kecamatan Bandar Surabaya, lalu 1979-1992 pemekaran di Kecamatan Sepututih Surabaya dan Bandar Surabaya.

Pada 1985-1990, terjadi pembukaan hutan untuk kebun tebu yang saat ini menjadi tiga perusahaan besar, yaitu Gunung Madu, Bunga Mayang, dan Indo Lampung. Ada juga alih fungsi hutan menjadi tambak udang Dipasena serta alih fungsi lahan menjadi areal transmigrasi di Mesuji.

 

Ahmad Suyuti [58], bersama puluhan warga lain melihat langsung pemindahan gajah tahun 1984. Ketika itu dia masih berumur 18 tahun. Foto: Dok. Ahmad Suyuti

 

Dari penelitian M. Bastar Wirapari, berjudul “Pengembangan Pusat Latihan Gajah Way Kambas Sebagai Penunjang Kepariwisataan Lampung” dijelaskan bahwa interaksi negatif masyarakat sekitar hutan di wilayah Lampung, khususnya masyarakat transmigrasi, sekitar tahun 1985-1990 sering terjadi. Bahkan, menyebabkan 21 orang meninggal dunia dan 4 orang luka parah, serta rusaknya tanaman budidaya penduduk yang berbatasan dengan habitat gajah.

Operasi Ganesha pun dilakukan dengan tiga program, pertama, Tata Liman. Program ini merupakan kegiatan untuk menata kembali habitat gajah. Kedua, Bina Liman, yaitu kegiatan pembinaan terhadap gajah agar bermanfaat dan hidup berdampingan dengan manusia. Upaya Bina Liman ini melalui penjinakan dan pelatihan di Pusat Latihan Gajah [PLG].

Ketiga, Guna Liman, yaitu kegiatan memanfaatkan gajah untuk berbagai kepentingan atau kegunaan sebagai hasil dari penjinakan dan pelatihan di PLG.

 

Patroli jalur sungai dilakukan untuk mencegah kehadiran gajah liar memasuki permukiman warga di sekitar Taman Nasional Way Kambas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tantangan menjaga Way Kambas

Taman Nasional Way Kambas [TNWK] merupakan kawasan konservasi di Provinsi Lampung. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 670/Kpts-II/1999 tanggal 26 Agustus 1999, luasnya 125,631.31 hektar.

Nama Way Kambas berkaitan erat dengan gajah. Way dalam Bahasa Lampung berarti sungai, sedangkan Kambas adalah sejenis rumput yang paling disukai gajah.

Sugiyo [38], pegiat lingkungan yang aktif di Wildlife Conservation Society [WCS], menjelaskan dengan pemindahan gajah sumatera di Lampung ke TNWK melalui program Tata Liman, tentu membuat wilayah konservasi Way Kambas berpotensi terjadi peningkatan interaksi antara gajah dan manusia. Apalagi, TNWK berbatasan langsung dengan 37 desa penyangga.

“Keberadaan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, tentu mempengaruhi kejadian di dalam wilayah konservasi,” kata Sugiyo.

Kerusakan yang terjadi di TNWK misalnya, mulai pencurian kayu, pembakaran hutan, hingga perburuan satwa.

Dari catatan WCS, kebakaran hutan menjadi masalah besar. Pada tahun 1997, 2007 dan 2011 kebakaran hampir menghanguskan sebagian wilayah TNWK. Peristiwa ini diduga disebabkan oleh aktivitas manusia dengan tujuan mendapatkan pakan ternak [penggembalaan liar], perburuan liar dan aktivitas ilegal lainnya di dalam hutan.

Upaya menyadarkan masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian alam sangat penting, juga pemberdayaan masyarakat desa penyangga.

Balai TNWK, Pemkab Lampung Timur bersama mitra, termasuk WCS telah menyusun roadmap penanganan interaksi negatif manusia dengan gajah. Sebut saja perbaikan kanal dan pembangunan tanggul di perbatasan TNWK serta pembangunan saung atau gubuk pantau.

Selanjutnya, pemberdayaan masyarakat melalui sekolah lapang tentang pencegahan hama dan penyakit tanaman.

“Program Tata Liman membuat gajah semakin banyak di Way Kambas. Jika tidak diurus dengan serius, tidak dibuat kanal pembatas permanen misalnya, maka konflik akan terus terjadi,” paparnya.

 

Exit mobile version