Mongabay.co.id

Kala Pemerintah Keluarkan Izin kepada Perusahaan di Hutan Sipora, Para Tokoh Adat Menolak

 

 

 

 

 

Masyarakat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,  hidup bergantung hutan dan alam.  Sejak dulu, hutan di Mentawai, , terus menjadi incaran investor. Silih berganti pebisnis pemakai lahan skala besar ingin masuk menguasai ruang hidup Orang Mentawai ini. Belum lama ini, Masyarakat Mentawai kembali dikejutkan dengan kabar izin perusahaan kayu baru di Pulau Sipora,  Kabupaten Kepulauan Mentawai. Masyarakat adat menolak.

Konsesi bersebelahan dengan wilayah adat Saureinu. Para tokoh adat rapat di Uma Saureinu,  sejak Juli lalu. Rimata-rimata atau orang-orang yang dipercaya suku-suku di lokasi itu berkumpul. Mereka bersepakat menolak perusahaan kayu masuk.

Sejak dulu,  perusahaan sering masuk di banyak titik, kesejahteraan yang dijanjikan buat rakyat tak pernah ada. Malah, datang kerusakan hutan dan sumber air.

Nama perusahaan yang akan masuk itu,  PT Sumber Permata Sipora. Perusahaan ini memperoleh izin di kawasan hutan seluas 20.706 hektar di pulau yang jadi pusat pemerintahan Mentawai ini dengan perizinan berusaha pemanfaatan hasil hutan (PBHP).

Izin ini keluar lewat Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor 28032311111309002, tertanggal 23 Maret 2023.

Uma Saureinu, terdiri dari beberapa rimata atau kepala suku di berkumpul dan sepakat menolak izin perusahaan. Mereka was-was kalau perusahaan masuk bakal berisiko mengganggu hutan adat. Begitu juga sungai sumber kehidupan mereka pun khawatir terganggu karena penebangan kayu terjadi di hulu sungai.

Pulau Sipora,  masuk kategori pulau-pulau kecil kalau berdasarkan UU Nomor 7/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,  berubah jadi UU No 1/2014.

Dalam peraturan ini yang termasuk pulau-pulau kecil adalah wilayah yang memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km.2

Dalam catatan Kepulauan Mentawai dalam Angka 2022,  dari rencana kerja pemerintah daerah 2023,  Pulau Sipora terdiri dari Spora Selatan dan Utara. Masing-masing seluas 268,47 km persegi dan Sipora Utara 383,08 km2. Total luasan 651,55 km2 atau 65.155 hektar. Sipora termasuk kategori pulau kecil.

 

Belum lama ini, Masyarakat Mentawai kembali dikejutkan dengan kabar izin perusahaan kayu baru di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Masyarakat adat menolak. Konsesi bersebelahan dengan wilayah adat Saureinu. Para tokoh adat rapat di Uma Saureinu, sejak Juli lalu. Rimata-rimata atau orang-orang yang dipercaya suku-suku di lokasi itu berkumpul. Mereka bersepakat menolak perusahaan kayu masuk. Foto: YCMM

 

Nulker Sababalat, Tetua Adat Saureinu atau Sikamuri Uma Saureinu mengatakan, sumber mata air warga bisa terganggu ketika ada aktivitas perusahaan kayu.

“Ada banyak sungai besar masuk dalam kawasan yang direncanakan. Antara lain, Sungai Saureinu, Marah dan Monga, yang menghubungkan Tuapeijat dan Mapadegat,” katanya.

Dari diskusi para tetua adat, katanya,  mereka berniat menyurati pemerintah daerah.

Ada sekitar 5.739 hektar hutan adat dari 13 suku di Saureinu terancam.

“Mestinya ketuk pintu ke masyarakat, siapa yang datang, tujuannya apa? Ini sifatnya hanya sepihak. Mereka memberi izin pihak ketiga yang mau investasi. Ketika alat berat masuk nanti masyarakat adat kaget, tidak terima, di sana terjadi konflik.”

Intan Sakerebau, Rimata Usut Ngaik Desa Matobe mengatakan,  yang akan masuk izin perusahaan adalah peladangan masyarakat.

“Sebelumnya, perusahaan kayu masuk tanpa kami tahu ambil kayu, lalu pergi begitu saja,” katanya.

Bolver T Oinan, Rimata Suku Gosoinan mengatakan, mereka sudah menghadapi perusahaan berulang kali.

Dia cerita, pernah ikut halangi perusahaan ambil kayu. Masyarakat, katanya, melarang ladang mereka untuk jalan kayu. “Jadi, terkurung, kayu-kayunya di hutan atas nama yang punya lahan,” katanya.

Kini,  mereka harus menghadapi perusahaan kayu lagi. Desas-desus perizinan akan menyenggol hutan adat dan masuk ke kebun masyarakat membuat mereka berkumpul.

Dari pantauannya, ada beberapa pembukaan lahan atau penebangan kayu terjadi di hulu sungai. Air keruh dan banjir lebih besar pada 14 Juli lalu.

“Kalau dulu habis banjir sebentar saja jernih airnya. Sekarang, sudah empat atau lima hari baru jernih air,” kata Bolver.

 

Peta yang memperlihatkan begitu banyak aliran sungai di Pulau Sipora. Sumber: YCMM

 

Yosep Sarogdok, Ketua DPRD Kepulauan Mentawai mengatakan, seharusnya pemerintah provinsi paham kalau Sipora termasuk pulau-pulau kecil.

“Kalaulah itu kewenangan kita, langsung tutup itu, tidak boleh. Cuma ini kan jadi perhatian provinsi, jangan dibikin teraniaya Mentawai, itu harapan kita. Ini kan daerah kepulauan, mau diapakan Mentawai ini?”

Hutan Mentawai merupakan lahan adat sekaligus sabuk pengaman wilayah hingga harus dilindungi.

“Saya tak tahu dimana titiknya tapi untuk pulai ini juga sudah dipetakan jadi tanah adat. Itu jangan sampai bentrok, nanti masyarakat adat ribut lagi. Itu yang harus kita antisipasi supaya tidak terjadi konflik antara masyarakat dan pengusaha,”katanya.

Memajukan Mentawai, katanya, tak harus memasukkan izin perusahaan. Pengalaman lama saja, perusahaan kayu tak menguntungkan masyarakat. Bahkan, pembukaan hutan yang lalu menyebabkan kini Sipora mudah alami bencana banjir.

“Pengalaman dulu masuk izin perusahaan kayu, izin perkebunan. Setelah kayu habis, perkebunannya mana? Tidak ada. Hanya modus land clearing ambil kayu lalu keluar,” katanya.

Dia berharap.  pemerintah memberikan perhatian serius pada keberatan masyarakat.

“Apa ndak kasihan dengan masyarakat? Lebih banyak kerugian diderita masyarakat daripada keuntungannya.”

Yosep menilai,  tanaman masyarakat biasa tergenang hingga gagal panen dan rugi.

Dia curiga izin baru keluar jelang perhelatan politik. Yosep ingatkan, jangan sampai ada oknum-oknum yang memanfaatkan beri izin untuk pendanaan partai politik.

“Kalau bukan karena itu, kenapa tidak dilakukan dari dulu? Kok baru tahun politik ini?”

 

Sumber: YCMM

 

Proses izin

Apa kata perusahaan? Daud Sababalat, kuasa Direktur PT Sumber Permata Sipora mengatakan,  dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) perusahaan sedang proses penyelesaian tahapan.

Dia juga klaim tak ada masalah dengan  hutan adat. “Kita nggak ada masalah dengan itu. Kita dari SPS nggak ganggu itu hutan adat. Kita nggak mungkin berani ganggu hutan adat. SPS itu mengelola hutan produksi atau HPH bukan APL,” katanya.

Dia mengatakan,  perizinan-perizinan masih menunggu proses administrasi. “Sekarang sedang diurus sama konsultan kita,” katanya.

Dari data Ditjen AHU per 6 Oktober 2023, SPS beralamat di Gedung The  City Tower,  Jalan MH Thamrin, Menteng, Jakarta Pusat.

Ada dua pemegang saham. Pertama, PT Sumber Potensi Semesta, dengan tanggal SK 25 Mei 2012 dengan jumlah saham 625.000 lembar, senilai Rp625 juta.

Kedua, PT Sumber Potensi Sejahtera SK 15 Juli 2008 dengan alamat dan saham yang sama dengan pemegang pertama.

Dokumen itu menyebut nama Nurchayo, Haji Bakhrial dan Sugianto Gunawan selaku direktur utama, direktur dan komisaris.

Dalam dokumen itu menyebutkan, maksud dan tujuan antara lain, untuk pemanfaatan kayu hutan tanaman pada hutan produksi, pemanfaatan kayu hutan hasil rehabilitasi, pemanfaatan kayu hutan alam,  sampai jasa penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan.

 

 

 

Pemerintah, setop rusak Mentawai

Izin perusahaan kayu dulu pernah ada di hutan Sipora. Dampaknya masih masyarakat rasakan hingga kini, yakni, kekeringan dan kekurangan air terlebih saat kemarau.

“Kekeringan ini pasti berkaitan. Karena ekologi tidak semudah itu pulihnya. Apalagi diserahkan pada pemulihan alamiah tanpa disertai intervensi manusia,” kata Rifai Lubis,  Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, organisasi nirlaba yang fokus pada isu-isu masyarakat adat di Mentawai.

Pemerintah, katanya,  harus berhenti jadi aktor perampas lahan dan hutan adat masyarakat Mentawai.

“Berhenti gunakan tameng kesejahteraan masyarakat untuk kepentingan ekonomi politik pemerintah yang mengorbankan sumber daya alam dan masyarakat Mentawai.”

Dia nilai, pemerintah kuno kalau punya prinsip untuk dapat uang dengan mengeruk sumber daya alam.

“Terbukti, term-term soal kesejahteraan itu tidak pernah berhasil dalam sejarah eksploitasi di Mentawai. Karena itu,  pemerintah bertobatlah, jangan lagi perlakukan Mentawai seperti cara bar-bar pemerintah sejak 1970-an sampai sekarang,” katanya.

 

Hutan Mentawai yang masih bagus dengan air sungai mengalir jernih. Akankah sumber hidup warga ini bakal hilang dengan masuknya beragam investasi? Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

•••••••••

Exit mobile version