Mongabay.co.id

Bayi Tabung, Sentuhan Teknologi untuk Pelestarian Badak Sumatera di Kalimantan

 

 

Para pegiat konservasi di Indonesia mengumumkan keberhasilan pengambilan sel telur dari seekor badak sumatera betina. Ini sebuah langkah penting dalam upaya membiakkan spesies terancam punah di penangkaran dan meningkatkan gennya.

Dalam sebuah pernyataan pada 31 Oktober 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan bahwa tim ahli konservasi mengekstraksi folikel ovarium, yang berisi sel telur, serta sampel jaringan lain dari badak di SRS Kelian di Kalimantan Timur, Kalimantan. Badak yang diberi nama Pahu ini ditangkap dari alam liar dan ditempatkan di SRS Kelian tahun 2018.

Pahu adalah spesies badak sumatera di Kalimantan [Dicerorhinus sumatrensis] yang penangkapannya diharapkan dapat menambah keragaman genetik pada populasi penangkaran kecil yang dipelihara di SRS Way Kambas di Pulau Sumatera. Namun, ia kemudian dianggap terlalu kecil dan terlalu tua untuk dikawinkan dengan pejantan mana pun di Way Kambas.

Memanen telur-telurnya untuk digunakan dalam fertilisasi in-vitro [IVF/in-vitro fertilization] dipandang sebagai hal yang penting dalam program penangkaran, yang sejak tahun 2012 telah menghasilkan tiga individu badak yang dilahirkan di penangkaran di Way Kambas.

“Kami berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga keberlangsungan hidup badak sumatera di Kalimantan, salah satunya dengan teknologi reproduksi berbantuan seperti fertilisasi in-vitro dengan sperma badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas, sel induk, dan kloning,” terang Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup, dalam keterangan tertulis kepada media.

 

Pahu, badak sumatera betina yang berada di penangkaran di SRS Kelian, Kalimantan Timur. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Sampel yang diekstraksi dari Pahu telah dikirim ke laboratorium Institut Pertanian Bogor [IPB], yaitu sel telur, atau oosit, akan melalui proses pematangan sebelum dilakukan upaya pembuahan. Para pegiat konservasi melakukan hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan embrio yang dapat dipindahkan ke rahim salah satu badak betina di Way Kambas untuk melahirkan.

Muhammad Agil, Kepala Dokter Hewan Program Teknologi Reproduksi Berbantuan [ART] IPB, mengatakan proses ekstraksi dilakukan sesuai dengan penilaian etika dan prosedur konservasi yang diberlakukan IUCN, otoritas konservasi satwa liar global.

“Ini adalah bukti bahwa apa yang kami upayakan adalah baik dan kami dapat memperoleh hasil seperti yang kami harapkan,” katanya kepada Mongabay pada 7 November 2023. Dia menambahkan bahwa timnya tahun lalu telah mengumpulkan sampel sperma badak jantan di Way Kambas.

Populasi badak di Sumatera, D. s. sumatrensis, dan Kalimantan, D. s. harrissoni, adalah subspesies yang telah terpisah secara genetik selama ratusan ribu tahun. Pencampuran keduanya akan memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan pada kumpulan gen suatu spesies yang sudah sangat berkurang – diperkirakan hanya tersisa 80 individu di Bumi – sehingga perkawinan sedarah merupakan risiko yang nyata.

 

Sebagai badak sumatera di Kalimantan, sel telur Pahu akan sangat memperkaya gen spesies tersebut. Foto: KLHK

 

Gagasan untuk mencampurkan garis keturunan Sumatera dan Kalimantan pada awalnya mendapat penolakan dari para pelestari lingkungan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ada urgensi yang semakin besar di kalangan para ilmuwan bahwa situasinya sangat buruk sehingga lebih baik fokus pada pelestarian spesies ini dengan segala cara ketimbang mencoba mempertahankan dua subspesies yang terpisah. Indonesia saat ini membiakkan delapan individu badak di Way Kambas dan satu di Kelian.

Upaya global sebelumnya untuk membiakkan badak sumatera di penangkaran, yang diluncurkan tahun 1980-an, gagal dalam satu dekade kemudian setelah lebih dari separuh badak tersebut mati tanpa ada satu pun anak badak yang dilahirkan.

Namun, serangkaian keberhasilan penangkaran di Kebun Binatang Cincinnati dan kemudian Way Kambas, serta konsensus yang berkembang bahwa spesies ini akan punah tanpa campur tangan manusia, telah meletakkan dasar bagi upaya penangkaran terkini.

 

Teknologi bayi tabung dilakukan untuk menambah populasi badak sumatera yang jumlahnya sangat sedikit. Foto: KLHK

 

Jika embrio yang layak dapat dihasilkan dari telur Pahu, perjalanan kedepannya masih tidak mudah. Agil mengatakan, calon induk pengganti kemungkinan besar adalah betina yang pernah melahirkan sebelumnya, sehingga mempersempit pilihan hanya pada dua betina di Way Kambas. Itupun ada risiko keguguran, seperti yang pernah terjadi di Way Kambas sebelumnya, ujarnya.

“Jadi penting bagi kita untuk memiliki embrio yang banyak, sehingga jika upaya tersebut gagal barulah kita bisa melakukan perbaikan, misalnya dengan memberikan penunjang hormonal,” kata Agil.

Dia menambahkan bahwa sampel biologis lain yang diambil dari Pahu dikumpulkan sebagai bagian dari upaya mendirikan biobank, atau penyimpanan sumber daya genetik, bekerja sama dengan Leibniz Institute for Zoo and Wildlife Research [Leibniz-IZW] di Jerman.

Dia mengatakan, tujuan jangka panjangnya adalah melakukan penelitian lanjutan untuk membuat embrio dari sel telur dan sel sperma yang dihasilkan dari sel induk setelah teknologi memungkinkan hal tersebut.

 

Peran teknologi diharapkan dapat membantu pelestarian badak sumatera di Kalimantan. Foto: KLHK

 

Pahu adalah satu dari tiga badak sumatera yang teridentifikasi di Kalimantan, yang subpopulasi spesies tersebut diyakini telah punah karena penggundulan hutan, perburuan liar selama beberapa dekade, dan yang terbaru, rendahnya angka kelahiran. Satu individu yang lain, Pari, juga seekor badak betina yang diidentifikasi pada 2020.

Menurut Agil, rencana untuk penangkarannya sedang direncanakan karena SRS Kelian sedang diperluas untuk menampung lebih banyak individu badak. Upaya sebelumnya untuk menangkap badak di Kalimantan, pada 2016, berakhir tragedi ketika satwa langka tersebut, seekor badak betina bernama Najaq, mati beberapa minggu kemudian karena luka yang terinfeksi, yang menurut para pejabat pemerintah kemungkinan besar disebabkan oleh jerat pemburu liar.

Hutan Kelian seluas 4.561 hektar [11.270 acre], tempat Najaq ditemukan, merupakan reklamasi konsesi pertambangan emas yang sebelumnya dikelola oleh anak perusahaan raksasa pertambangan Rio Tinto. Pertambangan industri dan operasi sawit di kawasan ini telah berdampak buruk pada satwa liar asli, termasuk orangutan dan beruang madu, mendorong para pegiat konservasi dan pemerintah meluncurkan proyek untuk menangkap badak di wilayah tersebut [dianggap sebagai populasi yang “terancam” karena rendahnya prospek perkembangbiakan mereka di alam liar] dan memindahkan mereka ke wilayah yang lebih aman.

 

Pahu ditangkap dari hutan di Kalimantan Timur sebagai bagian dari upaya melindungi spesies yang hampir punah ini. Foto: Sugeng Hendratmo/ Sumatran Rhino Rescue

 

Rencana sebelumnya, untuk mengirimkan sampel sperma badak dari Indonesia ke Malaysia gagal setelah Pemerintah Indonesia menolak keras permintaan Malaysia agar upaya inseminasi buatan dilakukan di Malaysia.

Pada Agustus 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan kedua negara telah menyetujui kemitraan baru yang akan mengirimkan sel telur dari Malaysia untuk upaya IVF di Indonesia. Namun, dokumen untuk menyelesaikan kesepakatan tersebut tidak pernah selesai, sementara badak di Malaysia punah di alam liar dan di penangkaran pada akhir tahun itu.

“Mengingat populasi badak yang tersisa, kita harus melakukan segala upaya untuk menyelamatkan badak yang masih berada di alam karena jika mereka mati, kita tidak akan punya apa-apa. Kita tidak bisa menyelamatkan apapun dari mereka,” terang Agil.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Boost for Sumatran rhino IVF plan as eggs extracted from Bornean specimen. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Exit mobile version