Mongabay.co.id

Dua Dekade RSPO: Perusahaan Sawit Masih Banyak Persoalan

 

 

 

 

 

 

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), tempat berkumpulnya para pihak memasuki usia 20 tahun. Meski begitu, perbaikan dalam tata kelola sawit ke arah berkelanjutan masih jauh panggang dari api. Sertifikasi sukarela ini dinilai seakan kehilangan marwah, bahkan cenderung untuk kepentingan pasar saja.

Setidaknya begitu penilaian kalangan organisasi masyarakat sipil, dalam media briefing bertajuk “20 tahun RSPO: 25 grup anggota RSPO menanam sawit di dalam kawasan hutan dan membakar hutan, serta penyelesaian aduan yang disangsikan di Jakarta, Selasa (21/11/23).

RSPO justru dinilai jadi legitimasi industri sawit untuk merusak lingkungan, melecehkan hak asasi manusia maupun merampas lahan.

“RSPO gagal memenuhi misinya untuk jadikan industri sawit berkelanjutan. Justru melakukan praktik yang berkebalikan,” kata Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia.

Dalam paparan, Linda menyebut, empat empat  penilaian terhadap RSPO. Pertama, RSPO dinilai tak bisa lagi selesaikan kasus yang diadukan masyarakat.

Contoh, kasus Masyarakat Adat Dayak Hibun di Sanggau, Kalimantan Barat berkonflik dengan PT Mitra Austral Sejahtera (MAS). Dia mengadukan perolehan hak guna usaha (HGU) yang dianggap bermasalah ke RSPO. Apa daya, pengaduan digantung selama 11 tahun dan berujung penolakan.

“Bukan menindak  lahan, RSPO malah membiarkan dan abaikan bukti yang dibawa masyarakat,” kata Linda.

Kedua, RSPO masih mengabaikan kewajiban plasma. Padahal, ini wajib dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 tahun 2007.

Dalam poin ini, Linda mengacu pada kasus masyarakat Desa Biru Maju, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, yang berkonflik dengan PT Buana Artha Sejahtera (BAS), anak perusahaan Sinar Mas Group. Sudah lebih 18 tahun perusahaan beroperasi tetapi tidak membangun plasma bagi masyarakat.

“Lagi-lagi, RSPO abaikan hal ini,” kata Linda.

Ketiga, RSPO dinilai tidak memberikan perhatian khusus terhadap legalitas lahan anggota mereka. Padahal, legalitas lahan merupakan syarat utama untuk sertifikasi RSPO.

Keempat, TuK menilai fakta-fakta itu menunjukkan kalau RSPO tak lagi relevan jadi acuan praktik berkelanjutan dan menjawab konflik sosial-ekologis yang berkaitan operasi perkebunan sawit.

Pengaduan masyarakat terdampak perusahaan perkebunan sawit  anggota RSPO mengecewakan.

Redatus Musa dari masyarakat Dayak Hibun menyebut,  RSPO tidak hanya mengantung mereka selama 11 tahun, juga membuat tafsir keliru terhadap adat mereka.

RSPO, katanya,  menafasirkan ‘derasa’ sebagai bukti peralihan tanah dari masyarakat kepada perusahaan.

Padahal, derasa merupakan dokumen adat sebelum pelaksanaan sebuah kegiatan. Dalam aduan masyarakat, derasa jadi bukti tanah yang dipakai perusahaan merupakan pinjam pakai, bukan peralihan hak.

“Atas tafsir sepihak ini, kami tentu merasa dirugikan,” kata Musa.

Masyarakat adat Hibun, katanya,  akan menuntut RSPO dengan hukum adat.

“Mereka (RSPO) masih membiarkan anggotanya membeli CPO dari PT MAS. Jadi dalam hal ini kami adalah korban dari praktik RSPO, bukan perusahaan,” katanya.

 

Syahrul Ramadhan Tanjung Sinaro, Panghulu Basa, Pimpinan Adat Nagari Simpang Tigo Kotobaru, (safari coklat paling tepi), melaporkan kasus mereka ke pengaduan RSPO.

 

Sebelumnya, keluhan atas pengaduan terhadap RSPO pun datang dari Nagari Simpang Tigo Kotobaru, Sumatera Barat. Masyarakat Adat Luhak Saparamapek Nagari Simpang Tigo Kotobaru bersengketa dengan perusahaan sawit, PT Primatama Mulia Jaya, Wilmar Group.

Pada 16 April 2018, Syahrul Ramadhan Tanjung Sinaro, Panghulu Basa, Pimpinan Adat Nagari Simpang Tigo Kotobaru, melaporkan kasus mereka ke pengaduan RSPO.

“RSPO sama sekali tidak memberikan perhatian kepada laporan yang kami sampaikan dalam pengaduan dan tidak memberi sanksi apapun atas pelanggaran hukum dan perampasan hak-hak kami atas tanah ulayat,” kata Syahrul dalam temu media di Jakarta, Minggu (19/11/23).

Sengketa masyarakat dengan perusahaan sawit ini berlarut-larut sejak 1996. Pada 2017, pecah konflik sampai Syahrul, masuk penjara pada 2018.

“Yang tidak masuk akal itu, karena beliau (Syahrul) dalam penjara lalu komplain ditutup dengan alasan tak bisa berkomunikasi dengan pengomplen,” kata Zulkifli, pendamping warga dari Yayasan Ulayat Nagari Indonesia.

Kala itu, Syahrul sedang berada dalam penjara.

Padahal, katanya, komplain itu dikirim antara lain bersama YUNI sebagai kuasa masyarakat. Kontak pendamping tertera tetapi tidak ada komunikasi sama sekali, tahu-tahu sudah ada putusan penutupan komplain.

Masyarakat pun mempertanyakan, komitmen RSPO dalam perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal dan para pengguna lahan yang kehilangan tanah dan hutan karena berkonflik dengan perusahaan.  Pemerintah dan aparat keamanan pun tak berpihak pada masyarakat.

“Kami mempertanyakan kesungguhan RSPO menegakkan prinsip dan kriteria mereka. Kami tahu, semua perusahaan anggota RSPO wajib mematuhi peraturan perundangan dan kebijakan negara sebagai salah satu prinsip utama,” kata Syahrul.

Masyarakat terdampak perkebunan sawit menjadikan mekanisme yang disediakan pasar, yaitu melalui pengaduan RSPO, harapan penyelesaian konflik tetapi kenyataan sebaliknya.

Irasan, Batin Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau berharap,  mekanisme ini dapat memberikan harapan keadilan kalau ditangani dengan jelas dan pasti.

“Masyarakat berharap sistem pengaduan RSPO memiliki kepastian waktu dan kejelasan prosedur penanganan pengaduan keluhan, hingga proses penyelesaian menjadi jelas” katanya, dalam rilis kepada media.

 

Tutupan hutan di Pulau Mendol, yang masuk izin PT TUM. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Hutan dan gambut

RSPO memberikan persyaratan ketat bagi anggota untuk tidak menanam di kawasan hutan. Fakta di lapangan, justru menunjukkan hal lain.

Berdasarkan catatan Greenpeace Indonesia, ada sekitar 283.000 hektar sawit ditanam dalam kawasan hutan dan memiliki sertifikasi RSPO.

Sekitar 100 perusahaan disebut memiliki lebih dari 100 hektar sawit di kawasan hutan dan delapan perusahaan punya lebih 10.000 hektar sawit dalam kawasan hutan.

“Saat proses sertifikasi itu bagaimana. Kok tidak bisa melihat kawasan yang ditanam adalah kawasan hutan?” ucap Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Sertifikasi yang terkesan asal-asalan ini pun menimbulkan pertanyaan atas kredibilitas RSPO. Menurut Syahrul, mustahil RSPO tak mengetahui pelanggaran anggotanya ini.

“Karena data kami solid sejak 2015. Kami juga teruskan temuan ini ke RSPO.”

Sayangnya, tidak ada mekanisme pencopotan keanggotaan RSPO terhadap anggota yang melanggar. Yang terbaru, kasus korupsi ekspor CPO yang melibatkan tiga grup besar industri sawit, Wilmar, Musim Mas dan Permata Hijau,  pun tidak ada tindakan RSPO.

Kalau RSPO mau melakukan pembenahan, mereka harusnya bisa mengeluarkan anggota bermasalah. Namun, katanya, metode pembenahan dan sanksi akan sulit dilakukan karena RSPO terkesan takut kehilangan sumber pemasukan mereka.

“Berarti kan lagi-lagi mereka hanya sektor bisnis saja yang dikedepankan,” katanya.

Pantau Gambut menemukan, sekitar 47 konsesi badan usaha anggota RSPO yang melakukan aktivitas penanaman sawit dalam kawasan hutan yang memiliki fungsi lindung ekosistem gambut.

“Jadi, 47 ini merupakan bagian dari 278 konsesi yang beraktivitas pada 407.264,537 hektar sawit ilegal di KHG,” kata Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut.

 

20 Tahun RSPO – 1

 

Perusahaan ini pun masuk dalam skema pemutihan kawasan sawit berdasarkan Pasal 110A dan 110B Undang-undang Cipta Kerja.

Hal ini, sebut Wahyu, menyalahi aturan karena RSPO yang melarang anggota menanam di area gambut setelah 2018.

“Banyak yang lakukan penanaman setelah 2018 dan mereka membuat itu menjadi legal karena menggunakan skema pemutihan omnibus law.”

Pada akhirnya, kata Wahyu, skema principles and criteria RSPO tahun 2018 jadi tidak jalan oleh anggotanya sendiri. Lebih parah, setidaknya ada dua anggota RSPO yang masuk dalam 32 perusahaan yang disegel KLHK karena kebakaran hutan dan lahan pada 2023, yaitu PT Sampoerna Agro dan PT Perkebunan Nusantara VII.

Sepanjang 2015-2020, Pantau Gambut mencatat, ada 16.193,6 hektar konsesi sawit dalam kawasan hutan di area KHG yang terbakar.

“Skema P&C ini saja tidak dijalankan, maka saya kira sertifikasi ini tidak lebih dari skema greenwashing,” terang Wahyu.

Linda Rosalina mengatakan, lembaga jasa keuangan (LJK) kerap sertifikasi sebagai pendorong mudahnya mereka memberikan suntikan dana pada perusahaan sawit.

“Mereka tidak melakukan tindak lanjut terhadap praktik yang dilakukan perusahaan. Sekadar syarat administrasi,” katanya.

Dalam catatan TuK, aliran kredit yang para perusahaan sawit bervariasi antara US$5 miliar hingga US$9 miliar. Puncaknya sampai US$15 miliar atau Rp215,17 triliun pada 2021.

LJK pemberi kredit pun didominasi Bank BUMN. Dengan Bank Mandiri menggelontorkan dana hingga US$4,5 miliar, BRI US$4,3 miliar, Bank BCA US$4 miliar dan Bank BNI US$2,6 miliar.

“Pendanaan ini harus disetop. Kalau yang diberikan dana ini adalah mereka-mereka saja yang melakukan praktik tidak baik, jangan harap ada perbaikan tata kelola,” kata Linda.

 

Kebun sawit. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

****

 

Exit mobile version