Mongabay.co.id

Komunitas Wayang Sampah, Sebarkan Pesan Lingkungan Lewat Budaya

 

Kelompok Wayang Sampah (Wangsa) menggelar karya seni pertunjukan “Opera-Si Plastik” di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, Oktober lalu. Wangsa merupakan kelompok seni pertunjukkan asal Surakarta yang peduli terhadap isu lingkungan dan budaya. 

Pertunjukkan “Opera-Si Plastik” ini menceritakan tentang bagaimana mencintai diri sendiri (self-love) dan menjaga lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Permasalahan kerusakan lingkungan, sampah plastik dan fenomena egoisme dari setiap individu menjadi fokus utama yang diangkat Wangsa. 

“Wayang itu kan budaya yang populer di masyarakat Jawa. Jadi, mungkin bisa dipakai untuk kampanye tentang peduli lingkungan,” ujar Muhammad Sulthoni Sastrowijoyo, pendiri Wangsa saat ditemui Mongabay di sela-sela latihan pementasan, akhir Oktober lalu. 

Komunitas ini lahir dari keresahan para seniman akan permasalahan sampah di Surakarta, Jawa Tengah. Lalu, mereka mendaur ulang sampah plastik kresek untuk jadi busana wayang golek. Bentuknya masih sama seperti wayang golek pada umumnya, yang berbeda adalah pakaiannya. Jika biasanya menggunakan kain, busana wayang Wangsa menggunakan plastik kresek. Pilihan warna-warna yang mencolok membuat karakter yang dibangun semakin menarik. Pertunjukan ini juga dipadukan dengan Overhead Projector (OHP) sebagai latar cerita. 

Muhammad Sulthoni Sastrowijoyo atau Tony Konde, salah satu pendiri Komunitas Wayang Sampah (Wangsa). Foto: Dokumentasi Komunitas Wangsa

Tak hanya wayang golek, pementasan ini juga diiringi alat musik gamelan dari limbah rumah tangga dan barang-barang bekas. Misal, kendang, gong geser hingga sulit terbuat dari pipa dan bonang dari tabung gas bekas.  Ada juga alat musik gender, saron, gong, slenthem, siter, rebab yang terbuat dari kaca, kaleng, dan galon bekas.

“Awalnya, saya coba-coba, kalo wayang dari daur ulang itu apa ya. Saya kepikiran plastik. Saya otak-atik sampah plastik akhirnya jadi,” ujar Tony Konde, panggilan akrab Sulthoni Sastrowijoyo.

Sampah plastik jadi media, kata Tony, karena masih menimbulkan masalah dan mudah didapatkan. Wangsa juga mau mengubah narasi bahwa hal-hal yang tidak bermanfaat (sampah) bisa sesuatu yang indah dan bernilai seni. 

Keresahan Tony berawal dari melihat masalah klasik sampah yang tidak diurus serius. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2022,  Jawa Tengah penghasil timbulan sampah terbanyak di Indonesia, sebesar 5,76 juta ton. Sedang Kota Surakarta  produksi sampah 299 ton per hari.

“Kita punya pesan agar masyarakat bisa bersikap bijaksana terhadap lingkungan, terhadap sampah plastik,” cerita Tony. 

Setiap pertunjukan, Wangsa juga jadi media menyampaikan pesan-pesan betapa penting mengelola sampah dan menjaga lingkungan. Mereka juga berkomitmen, tidak menghasilkan sampah sia-sia. 

Komunitas Wayang Sampah (Wangsa) lahir karena keresahan para seniman akan permasalahan sampah. Mereka saling berkolaborasi dalam setiap pementasan. Foto: Dokumentasi Komunitas Wangsa.

Kolaborasi Lintas Seniman

Awalnya, Tony mengumpulkan para seniman lain yang peduli lingkungan untuk mendirikan Komunitas Wangsa. Inspirasi ini  lahir dari Romo Lawu Warta, seniman dari Bengkel Teater. Mereka berdua bertemu di organisasi peduli lingkungan bernama Anak Gunung Lawu. Sejak itu, Tony mulai mengeksplorasi karakter dan pertunjukan Wangsa.

Komunitas yang lahir pada 14 Juni 2014 ini, punya anggota seniman di berbagai daerah di Indonesia, seperti Sumatera dan Kalimantan maupun mancanegara. Salah satunya, Sean Hayward, seniman asal Amerika Serikat.

Kolaborasi lintas seniman ini yang memperkaya pertunjukan Wangsa. Tak hanya wayang golek sebagai aktor, juga seniman lain  ada yang menyumbang lagu sampai alat musik. 

Seno, panggilan akrab Sean mengatakan, tertarik dengan visi misi Komunitas Wangsa. “Saya bergabung karena saya suka musik, terutama musik tradisional Indonesia,” ucap Seno.

Tak hanya di Indonesia, Wangsa juga menggelar pertunjukan, workshop, serta pameran di beberapa negara seperti, Taiwan, Kroasia, Jepang, Thailand, dan Filipina. 

Pertunjukkan Komunitas Wayang Sampah (Wangsa) dengan judul Opera-Si Plastik pada Oktober 2023 di Yogyakarta. Foto: Dokumentasi Komunitas Wangsa.

Mahoca Arkalita, penonton asal Solo terhibur dengan pertunjukkan Opera-Si Sampah.

 “Wayang sampah ini cukup unik, bukan hanya cerita tentang pembelajaran lingkungan, sudah menjadi aktor untuk menangani permasalahan sampah itu sendiri,” katanya.

Tony masih punya cita-cita menampilkan seni tari Raksasa Buto Sampah, sebagai wujud keprihatinan masyarakat atas lingkungannya. Dia  ingin berkarya memanfaatkan sampah untuk jadi karya seni lain  tak hanya berhenti di Komunitas Wangsa. 

“Mari kita sama-sama berbudaya jaga lingkungan.” 

 

***

Yusuf Tegar S. Parrrangan adalah mahasiswa magang dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dia memiliki ketertarikan pada komunikasi massa dan digital.

Exit mobile version