Mongabay.co.id

Laporan Ungkap di Balik Rentetan Kasus Kriminalisasi Suku O’Hongana Manyawa

 

 

 

 

 

Tiga deretan peristiwa pembunuhan di hutan Halmahera yang melibatkan masyarakat adat O’Hongana Manyawa atau Tobelo Dalam dalam satu dekade terakhir menyisakan banyak kejanggalan. Penjaga hutan terakhir ini dinilai jadi korban kriminalisasi aparat negara. Peristiwa-peristiwa  ini terjadi sistematis berkaitan kepentingan eksploitasi di ruang hidup Tobelo Dalam untuk jadi industri nikel.

Masyarakat pemburu peramu ini mendapat stigma sebagai suku primitif, terbelakang, hingga tuna budaya. Stigma itu makin menguat melalui upaya kriminalisasi dan pengabaian hak-hak mereka di hutan. Begitu  antara lain laporan investigasi terbaru Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti tiga kasus pembunuhan di Halmahera yang jerat pelaku kepada Orang Tobelo Dalam.

Pertama, kasus yang menimpa Alen Baikole dan Samuel Gebe, yang vonis bersalah atas kasus pembunuhan berencana dengan hukuman 20 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara pada 15 September lalu.

Kemudian, kasus kriminalisasi Bokum dan Nuhu, O’Hongana Manyawa di Hutan Akejira, Halmahera Tengah, yang dipenjara pada 2014 selama 15 tahun. Keduanya, dituding terlibat pembunuhan warga di hutan Desa Waci, Maba Selatan, Halmahera Timur.

Kemudian, kasus enam O’Hongana Manyawa, yakni, Hambiki, Hago, Rinto, Toduba, Awo, serta Saptu, juga dikriminalisasi atas dugaan terlibat ‘pembunuhan berencana’ dan vonis masing-masing antara seumur hidup dan 20 tahun.

Andy Muhammad Rezaldy, divisi hukum KontraS mengatakan, ada dua pola pelanggaran dalam kasus ini, yakni, pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM. Pertama, ada dugaan penuntutan ilegal (malicious prosecution) dan dugaan penjatuhan hukuman kepada orang yang tidak bersalah atau pembuktian sesat (wrongful conviction).

Kedua, pelanggaran HAM, meliputi peradilan tidak adil (unfair trial) karena tindak penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang, penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) oleh aparat kepolisian, hingga diskriminasi hukum kepada Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa.

 

Dokumen: Laporan Kontras soal Tobelo Dalam

Orang Tobelo Dalam yang saat ini menjalani hukuman karena dituduh dalam pembunuhan (Foto: PPMAN Maluku Utara)

 

Berdasarkan tiga rentetan peristiwa terhadap Masyarakat O’Hongana Manyawa ini, KontraS menyimpulkan, terjadi dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa kriminalisasi terhadap Alen Baikole dan Samuel Gebe serta dua persitiwa lain.

Kesimpulan itu, katanya,  mengacu pada kejanggalan mulai dari kasus kriminalisasi yang menimpa Alen dan Samuel, Bokum dan Nuhu, termasuk Hambiki cs.

Dalam perkara Alen dan Samuel, kata Andy selama proses penangkapan sampai penetapan tersangka, keduanya tidak mendapatkan akses pengacara yang mendampingi mereka, terutama dalam pemeriksaan penyidikan.

Setelah penetapan tersangka, mereka baru mendapatkan akses pengacara yang didampingi Perhimpinan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi, serta Pandecta. Mereka tergabung dalam Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam.

Kemudian, kejanggalan terlihat saat pendamping hukum mengajukan pra-peradilan atas dugaan mal-prosedur terhadap proses penangkapan Alen dan Samuel. Majelis Hakim PN Soasio menolak gugatan praperadilan dalam putusannya.

Kalau melihat detail urut keterlibatan kedua terdakwa, Alen, misal, disebut tidak berada di lokasi saat peristiwa pembunuhan Talib Muid, di hutan Gotowasi, Maba Selatan, Halmahera Timur. Juga, ada dugaan tindak kekerasan selama proses penangkapan.

Ketiga, ada putusan janggal oleh Majelis Hakim PN Soasio, antara lain, pertimbangan yang tidak berdasarkan kepada fakta persitiwa, barang bukti tidak sesuai apa yang digunakan Masyarakat adat O’Hongana Manyawa.

 

Baca juga: Was-was Stigma Pembunuh, Warga Adat Tobelo Dalam di Dogada Protes Tindakan Polisi

Nohu (kiri) dan Bokum (kanan), dua Orang Tobelo Dalam, yang vonis membunuh. Foto: AMAN Malut

 

Merujuk pada putusan PN Soasio, kasus Alen dan Samuel tidak berdasarkan bukti langsung namun bukti tidak langsung, antara lain, para saksi yang dihadirkan tidak melihat pembunuhan itu.

“Para saksi tidak melihat langsung pembunuhan karena lokasi di tengah hutan, tidak mungkin ada yang lihat kecuali Allah SWT dan malaikat Raqib dan Atid,” bunyi satu pertimbangan hakim dalam kedua perkara yang diputuskan PN Soasio baru-baru ini.

Kejanggalan lain juga pada kasus kriminalisasi terhadap Bokum dan Nuhu. Tim investigasi menemukan, beberapa poin penting.

Pertama, ada dugaan penyiksaan oleh Polres Halmahera Tengah kepada kedua O’Hongana Manyawa itu, terutama untuk mendapatkan pengakuan kalau mereka memang pelaku pembunuhan.

Kedua, Bokum dan Nuhu tidak mendapatkan penerjemah yang berkompeten dan memiliki wawasan cukup tentang bahasa Tobelo Dalam saat proses persidangan.

Ketiga, cara pembunuhan korban yang dituduhkan ke Bokum dan Nuhu sangat bertolak belakang dengan cara pembunuhan di Masyarakat O’Hongana Manyawa.

Tim investigasi KontraS juga menemukan, praktik kriminalisasi kepada enam Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa pada 2020-2023. Secara ringkas, mereka menyimpulkan, ada indikasi penyiksaan dan intimidasi dengan senjata api oleh aparat Polres Halmahera Timur terhadap Hakimi cs.

Mereka juga tidak disediakan akses juru bahasa–beberapa tidak mahir berbahasa Indonesia. Ada juga dugaan majelis hakim pengesampingan keterangan dari saksi yang meringankan.

Menurut Syaiful Madjid, antropolog di Unversitas Muhammadiyah Maluku Utara, deretan kasus pembunuhan yang melibatkan masyarakat adat O’Hongana Manyawa terjadi sistematis.

Dia bilang, O’Hongana Manyawa bukan pelaku pembunuhan. Mereka adalah komunitas penjaga hutan Halmahera yang paling jujur dalam setiap peristiwa yang mereka lakukan.

“O’Hongana Manyawa adalah orang paling jujur. Kalau mereka membunuh, mereka mengatakan membunuh. Kalau mereka tidak membunuh, pasti mereka katakan tidak membunuh,” kata Syaiful.

 

Baca juga: Nestapa Orang Tobelo Dalam di tengah Ruang Hidup yang Terus Terancam

Orang Tobelo pesisir maupun Tobelo Dalam, protes hutan rusak karena tambang, September 2022. Foto: Christ belseran/ Mongabay Indonesia

 

Perampasan ruang hidup

Masyarakat adat di Halmahera mengalami ancaman perampasan ruang hidup karena eksploitasi sumber daya alam di tanah mereka, terutama oleh pertambangan nikel.

Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, ada dua perusahaan yang mengkapling wilayah adat Tobelo Dalam khusus di Dodaga, Halmahera Timur, saja. Perusahaan itu, PT Indo Bumi Nikel, dan PT Roda Nusantara.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat satu perusahaan terbesar di Halmahera Timur ialah PT Aneka Tambang (Antam), yang beroperasi sejak 1990. Persebarannya antara lain di sekitar Mabapura, Buli, Moronopo, dan Maba.

Sedangkan di Halmahera Tengah, ada 66 izin usaha pertambangan, baik dalam eksplorasi maupun operasi produksi dengan luas konsesi sebesar 142.964,79 hektar.Sekitar 60% luas wilayah Halmahera Tengah menjadi industri tambang.

Salah satu perusahaan tambang yang cukup dominan, yaitu , PT Weda Bay Nickel (WBN), di sekitar konsesi WBN, ada hutan Akejira, tempat Tobelo Dalam tinggal.

“Jadi, ada ancaman terhadap ruang hidup O’Hongana Manyawa, khusus hutan-hutan yang dileluhurkan masyarakat adat alami penggusuran, dan pembabatan hutan dari pertambangan di Halmahera,” katanya.

Aktivitas pertambangan di dua wilayah itu, menciptakan ancaman nyata bagi keberadaan dan ruang hidup masyarakat O’Hongana Manyawa.

Di Halmahera Tengah, misal, masyarakat adat di Ake Jira terancam kehilangan hutan tempat mereka tinggal karena ekspansi pertambangan nikel makin besar.

Di Dogaga, Halmahera Timur, perusahaan pertambangan disebut mematok lahan di lokasi Masyarakat O’Hongana Manyawa, baik yang menetap di Desa Dodaga, maupun yang pindah dari Halmahera Tengah ke Halmahera Timur.

 

Baca juga: Orang Tobelo Dalam,  Hutan Tergerus Hidup dalam Stigma Buruk

*****

 

Exit mobile version